Bagian Tiga Puluh Enam : Puncak Amarah II

2.3K 224 5
                                    

Keputusan Ali yang bersikap seolah tak menunjukkan keinginan untuk memaafkan membuat Nichol ikut bangkit bersamanya.

Tak ingin permintaan maafnya berakhir sia-sia, Nichol maju satu langkah dalam hal ucapan.

Dia berkata, "Kalau alasan lo jauhin Prilly dari gue supaya gue terpuruk dan merasa kehilangan, gue ucapkan selamat. Karena lo udah berhasil mencapai tujuan lo."

Bagai tersambar petir di siang bolong, perkataan Nichol berhasil menyentil bagian terlemah dalam diri Ali. Namun, sebisa mungkin Ali menutupi kelemahannya.

"Apa untungnya buat gue jauhin lo dari Prilly?" dia menarik alisnha naik, lalu menggeleng kuat, "Gak ada." dilanjutkan dengan senyum miring tercetak.

Tanpa harus melihat jelas wajah yang sedang Ali tampilkan, Nichol sudah bisa memastikan mimik meremehkan bercampur ketegangan yang mendominasi air mukanya saat ini. Walau berusaha sekeras apapun untuk menunjukkan auranya agar terlihat santai, tak pelak kecerdasan Nichol lebih gencar untuk mendeskripsikan perasaan Ali.

"Buat gue merasakan apa yang lo rasakan."

Singkat dan padat, ucapan Nichol lagi-lagi dibenarkan secara diam-duam oleh Ali. Hampir saja pertahanannya melorot jatuh kalau saja urat tangannya yang mengepal kuat tak membantunya untuk bertahan dari goncangan alam.

Tak mau kalah, Ali memasang wajah angkuh seraya menatap Nichol nyalang.

"Tau apa lo tentang gue." mata Nichol langsung bertumpu pada sorot mata elang milik Ali yang seketika itu membalikkan tubuh tanpa menilik dahulu, "Sedikit pun lo gak tahu apapun tentang kehidupan gue." Lalu, secara spontan kakinya terpaku di tempat saat Ali menyusut jarak diantara mereka berdua, "Seandainya Prilly emang menjauh dari lo, itu bukan karena gue. Prilly manusia, dia bisa ngomong nggak buat nolak dan bisa bilang iya buat nerima. Bukan robot yang hidup karena remot kontrol."

Untuk yang satu itu Ali merutuki perkataannya sendiri. Secara tidak langsung dia menyadari kalimat mana saja yang telah dia dustakan dan ucapan yang terakhir itu yang paling dia anggap sebagai dusta.

"Sesil,"

Setelah nama ibunya berdengung dalam gendang telinganya, tanpa persiapan, Nichol membuat tubuhnya menegang hebat.

"Lydia,"

Ali mengerapkan mata, bersiap untuk menerima serangan dari Nichol dalam bentuk ucapan.

"Pendonor."  wajah Nichol menatap tanpa gentar, setelah meloloskan tiga kata yang dia bentuk menjadi sebuah kalimat, diapun mengulas senyum miring di tengah pertahanan Ali yang perlahan luntur.

Perlahan kepalan tangannya itu melanggar, tanpa harus diminta Ali mengekspresikan wajah sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan Nichol. Pucat pasi telah mengambil alih pahatan wajahnya yang tegas dan bibirnya yang ranum. Hal yang beberapa minggu ini dia rahasiakan ternyata telah di ketahui oleh orang lain selain dirinya. Dan Nichol seseorang yang dia targetkan.

"Lo bisa aja menyangkal semuanya, tapi usaha lo jauhin Prilly dari gue udah menyebar karena tindakan bodoh lo sendiri," tak seharusnya Nichol seberani ini menatap Ali tanpa berkedip, mengingat bagaimana brutalnya Ali, Nichol justru mengesampingkan hal tersebut, lalu mencondongkan wajahnya kehadapan Ali yang sedang berusaha keras untuk tidak terlukai di atas lapangan semen.

"Pengecut."

Satu kata yang membuat Ali menggertakkan gigi setelah rahangnya mengeras beberapa saat, dia mengambil langkah maju untuk terlihat kuat.

"Kalaupun ada yang harus disebut pengecut, lo adalah orang yang lebih pantes untuk itu." senyum miring tercetak jelas, itu menjadi poin tambahan untuk persentase penyerangannya.

Someone In The World Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang