Setelah memberi sedikit asupan air mineral pada Nichol, kesadaran cowok itupun berangsur membaik, tak lagi meracau dan menggeram tak jelas, Ali lega melihatnya.
Saat ini, Ali memutuskan untuk berdamai dengan takdir yang telah tertulis untuknya. Penyebab kematian Sesil adalah sebuah suratan takdir dari Tuhan yang di buat skenario dalam bentuk kecelakaan, dan Lydia hanya bagian dari skenario tersebut. Sesil akan tetap tinggal di bumi dengan paru-paru yang dia titipkan pada Lydia. Ali sadar, bahwa ibunya hanya tidak ingin meninggalkan Ali secara total, mendonorkan salah satu organ tubuhnya adalah salah satu cara untuk dia tetap menemani Ali di dunia.
Di temani matahari yang mulai tergelincir menuju peraduannya, Ali menatap fenomena alam itu dengan penuh makna. Warna jingga yang mulai mendominasi setiap sudut langit yang tidak memiliki ujung, membuat Ali mengulas sebuah senyuman tulus tanpa kepalsuan.
Ali tak lagi menatap keindahan alam itu dengan tatapan terluka sebagaimana sebelumnya, Ali telah mengikrarkan tujuannya untuk berdamai dengan takdirnya sendiri. Sebab hal yang penting saat ini adalah masa depan dan luka hanya akan dia ziarahi beberapa kali untuk sekedar mengenang jasanya yang telah menjadikan Ali pria tangguh dalam menuju kedewasaan.
Terhitung sejak Nichol kembali sadar, mereka membungkam mulut masing-masing cukup lama. Sampai akhirnya Nichol memilih menjadi orang pertama yang membuka percakapan diantara mereka bedua.
"Hubungan lo sama Prilly?" Nichol membukanya dengan sebuah pertanyaan setelah mengusap lembut sudut bibirnya yang masih terasa perih dia memandang Ali penuh rasa penasaran.
"Paman sama keponakan. Masih belum jelas juga?" jawab Ali penuh penekanan, lalu memandang Nichol yang juga sedang memandangnya dengan tatapan menyelidik atas dasar ketidakpercayaan.
Lantas Nichol mengeluarkan cengiran yang dibuat-buat, "Dari pada hubungan keluarga, cara lo mandang dia persis kayak pandangan protektif seorang pacar." cecarnya seraya memandang langit jingga.
Tak banyak yang tahu kalau saat Nichol berucap, Ali membenarkan ucapannya selain Tuhan dan hatinya sendiri yang merasakan.
Untuk menepus tuduhan Nichol barusan, Ali pun ikut tertawa renyah seperti cengiran kuda yang di buat-buat pula.
"Wajar, sih kalau lo diam-diam suka sama dia," setelah menilik keberadaan Ali di tempatnya, Nichol mendapati air wajah Ali yang seketika berubah pucat seperti seorang maling tertangkap basah saat sedang melakukan operasi rahasia. "Ternyata ada yang lebih pengecut daripada gue." tuntasnya, meremehkan.
"Alasan gue jadi pengecut buat hal itu udah tercatat jelas."
"Hubungan satu darah kalian?"
Ali mengangguk untuk membenarkan ucapan Nichol saat cowok itu menarik alis matanya meminta jawaban.
"Lagu lama," Nichol mengibaskan tangan. "Emang lo tahu dari mana asal muasal kalian punya hubungan darah?"
Untuk pertanyaan itu, diam menjadi tindakan yang Ali ambil dan diamlah hal yang menurutnya paling tepat untuk di lakukan. Selain malas menjelaskan, sejujurnya Ali sendiri gak tahu asal muasal terjadinya hubungan darah antara dirinya dan keluarga Prilly.
Hanya dari sepucuk sudah, Ali mempercayai bahwa dia terlahir untuk menjadi bagian dari keluarga besar Danu dan Talita.
Malam itu setelah kejadian naas yang menimpa keluarganya terjadi, Rizal berkata sebelum menemui penghujung ajalnya. Mengatakan bahwa dia telah menyiapkan kejutan terindah untuknya di masa depan.
Dengan tangan bergetar Rizal menunjuk sebuah kertas polos dan meminta Ali mengambilkan kertas tersebut juga sebatang bolpoin hitam sebagai tambahannya.
Menjadi sebuah mukjizat hakiki sewaktu Rizal berhasil menulis beberapa kalimat di lembar kertas kosong tersebut. Tulisan yang saat itu membuat Ali mengernyitkan dahi yang berbalut perban putih di pangkal dahi dan plester transparan di pangkal hidung.
Tangannya masih di tungka oleh perban yang di lilitkan kebahu melingkar hingga menyentuh tengkuk, sedangkan satu dari tangannya yang lain hanya nampak sedikit memar. Tangan itulah yang dia gunakan untuk menyentuh lengan atas milik Rizal dan memintanya untuk berhenti menulis karena alasan kondisi Rizal akan semakin melemah jika dia banyak melakukan gerakan, sekalipun hanya menggerakan tangan untuk menulis sebuah kalimat.
"Pah, udah." lirihnya sambil menggeleng keras. Namun bukannya di patuhi perintah putra sematawayangnya itu justru dikesampingkan oleh Rizal. Mungkin menurutnya menulis lebih menyenangkan daripada menyudahinya.
Beberapa paragrap model tulisan seadanya telah tergores dalam keras tersebut, disusul dengan tangan Rizal yang melemah juga detak jantungnya yang mulai naik turun. Tanda darurat untuk Ali sesegera mungkin menekan tombol panggilan pada dokter jaga.
Dokter pun datang dalam kurun waktu yang sangat kilat dengan menggandeng beberapa suster dibelakangnya, siap melakukan praktek yang terbaik untuk menjaga agar Rizal tetap selamat.
Sebisa mungkin Ali menjejali ruang kosong untuk bisa melihat perkembangan Rizal yang sedang mereka tangani. Namun dua orang suster sudah mengapit dan menariknya menjauh dengan cekalan tangan yang amat kuat, hingga tak bisa terlepas walau sekeras apapun Ali mencoba memberontak.
Kemudian selembar kertas yang baru saja diisi oleh tulisan Rizal meluncur halus menemui lantai dingin saling bersahutan dengan tubuh Ali yang juga melorot jatuh menyentuh dinding putih. Seolah mengerti, kertas tersebut berakhir menepi menanggalkan ubin di samping Ali sebagai pelabuhan terakhir setelah tiupan angin.
Temui Danu di jalan Cempaka Putih perumahan Nusa Jaya no 13. Hiduplah damai tanpa seorang orang tua dan mereka akan menjadi keluarga.
Ali terpejam luar biasa saat dokter menutup wajah rizal menggunakan sebuah kain panjang berwarna putih bersih tanpa noda, dan seorang suster sudah mencatat kapan terakhir kali Rizal menghembuskan napas untuk bertahan hidup.
Tak kalah terpuruknya dengan kematian Sesil beberapa bulan yang lalu, kematian Rizal pun membuatnya menangis meraung-raung. Setelahnya Ali harus menjalani hidup sebagai sebatang kara selama Sesil berada di rumah sakit dan Danu tak kunjung di temukan.
"Woy!"
Dan seruan Nichol telah berhasil membuat Ali membuka matanya, ternyata masa lalu baru saja mengajaknya bernostalgia.
"Lima menit gue diem, gue kira lo lagi mikir. Ternyata gue cuma nunggu orang ngelamun." ucapnya setengah memprotes.
"Gue juga bingung kenapa bisa saudaraan sama Prilly." sahut Ali sambil menerawang jauh.
Seperti seorang peramal, Nichol bahkan sudah tahu apa yang akan diucapkan Ali. Oleh sebab itu dia tetap terlihat tenang untuk ukuran berita yang mengejutkan seperti sekarang ini.
"Terus setelah lo bisa buktiin kalau gue bukan saudara Prilly, lo mau anggap gue sebagai saingan lo?" tuduh Ali dengan kepercayaan diri tingkat tinggi terlihat dari simbol penarikan alis yang juga sama tinggi.
"Bisa iya. Bisa nggak." jawaban Nichol yang terdengar ambigu menjadi alasan Ali memangnya lebuh lamat, wajahnya haus akan jawaban lebih detail lagi.
Waktu langit benar-benar sudah menghitam, Nichol memutar posisi duduknya menjadi berhadapan. Tubuhnya condong kedepan, cenderung membungkuk selayaknya orang yang ingin menatap sesuatu lebih jelas.
Secara hati-hati Nichol mulai mengutarakan maksud dari perubahan ekspresinya yang sudah membuat Ali diselimuti rasa penasaran.
"Kasih dia ke gue, Li. Kalau lo gak sanggup bahagiain dia, gue siap gantiin posisi lo."
Demi langit yang sudah menghitam, Ali merasa ada yang menarik-ulur emosinya secara paksa. Sesuatu sedang berlomba-lomba ingin membuncah, menuntaskan angin ribut yang sempat surut dan sekarang kembali tersulut.
Yang seketika padam setelah sesuatu melingkar di bahunya hingga hatinya menghangat.
"Bahagiain dia, Li. Gue cuma ngasih lo sedikit peluang buat lo bahagia, tapi bukan berarti lo bisa lebih bahagia dari gue."
Sebuah anggukan mengakhiri perdebatan mereka hari ini.
***
27, Oktober 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone In The World
Fanfiction[Complited] #183 in fanfaction (1-11-2018) #171 in fanfaction (2-11-2018) #79 in fanfaction (3-11-2018) Sebuah perjalanan tentang kisah klasik, tentang mereka yang terluka. Namun, memiliki tujuan untuk bahagia.