02. Jendela Kamar

354 45 2
                                    

"Kak Calvin, masih belum ada kabar dari Kak Galvan?"

Pertanyaan yang terlontarkan dari mulut Elva membuktikan, sampai sekarang Calvin belum memberitahukan Elva perihal surat kabar itu.

Daripada Elva curiga karena Calvin menjawabnya dalam waktu yang lama, lebih baik Calvin jawab seadanya walaupun berbohong.

"Iya, dia tak pernah menghubungiku akhir-akhir ini."

Elva mengangguk pasrah. Calvin sebenarnya cukup muak dengan pertanyaan dan ekspresi Elva setiap mendengar jawaban Calvin.

"Kapan kau akan menanyakan kabarku?" gumam Calvin.

"Ha? Bilang apa tadi kak?"

Calvin menggeleng dan tersenyum lalu melanjutkan aktivitas tanam-menanamnya bersama Elva.

"Elva dan Calvin ayo masuk, kalian tidak lelah?"

Elva segera berjalan memasuki rumah begitu mendengar Ibunya memanggil mereka untuk meminum minuman 'merah' itu.

"Kak Calvin ayo masuk!" ajak Elva yang memunculkan kepalanya dari dalam rumah.

Calvin terkekeh. "Iya aku akan masuk."

Kedua remaja itu duduk di ruang tamu setelah meminum secangkir darah.

"Kak, aku heran deh. Buat apa coba kita tanam sayuran padahal kita sendiri tidak akan memakan sayuran yang kita tanam? It's useless."

Calvin terkekeh mendengar pertanyaan bodoh Elva. "Kau bahkan tidak tahu benih apa yang kau tanam dan sekarang kau protes tentang itu? Apa kau tau apa yang kau tanam tadi?"

"Uh...." Elva tampak berpikir sebentar. "Sepertinya... tidak, hehehe."

Mendengar jawaban Elva itu, tangan Calvin otomatis mengacak-acak rambut perempuan di hadapannya itu.

Tubuh Elva tegang begitu tangan Calvin menyentuh kepalanya, perlakuan ini mirip sekali dengan Galvan yang lakukan padanya.

"Kakak ini benar-benar sahabatnya Kak Galvan? Bukan Kak Galvan yang akan menyamar menjadi orang lain kan? Aku dengar bangsa serigala bisa merubah dirinya menjadi orang yang sudah mati-"

"Kau pernah ciuman dengannya tidak?" potong Calvin tiba-tiba.

"Ha?"

"Aku tanya, kau pernah ciuman dengannya atau tidak?"

Elva tertawa hambar mendengar pertanyaan yang tidak masuk akal itu.

"Hahaha, apa yang kakak maksud? Haha, tidak mung-"

Tunggu sebentar. Apa yang baru saja terjadi? Sepertinya bibir kedua remaja itu baru saja bertemu.

"Setelah apa yang kulakukan barusan, apa kau masih berpikir kalau aku adalah Galvan yang menyamar menjadi orang lain yang sudah mati berpuluh-puluhan tahun yang lalu?"

Oke, Elva akui Galvan tidak pernah seberani itu. Sentuhan fisik yang pernah Galvan lakukan hanyalah mengusap puncak kepalanya, memeluknya dan memegang tangannya. Tidak pernah lebih, seperti Calvin lakukan tadi.

Calvin kemudian mendekatkan posisi duduknya dengan Elva, bahkan jarak antara tubuh mereka sekarang mungkin cuma terhitung 5 jengkal.

"Dengar Elva, jika aku adalah Galvan yang sangat kau rindukan itu, untuk apa tadi aku meminum minuman itu? Tidak ada yang terjadi padaku setelah meminumnya."

Calvin mendekatkan wajahnya pada Elva. Elva hanya bisa menutup matanya takut.

"Buka matamu," ujar Calvin.

Elva perlahan membuka matanya. "Warna apa yang kau lihat pada mataku? Merah kan?" tanya Calvin.

Elva hanya mengangguk sebagai jawaban. Posisi ini sangat... membuatnya tidak nyaman. Atau lebih tepatnya, ini mungkin akan menjadi salah satu bukti kalau di hari esok mereka akan menjadi canggung.

Perlahan Calvin memundurkan wajahnya sambil tersenyum. Seperti senyum penuh kemenangan? Tapi menang akan hal apa? Entahlah.

Calvin menengok pada pergelangan tangan kanannya yang memiliki jam tangan mengitarinya. "Ini sudah pukul 5 sore, aku akan pulang. Sampai bertemu besok."

Calvin kemudian beridiri dari tempatnya sambil melambaikan tangannya pada Elva. "Oh iya, tanaman yang kau tanam bersamaku itu bukan sayuran. Itu buah-buahan untuk hewan peliharaan keluargamu. Kalian punya kelelawar kan?"

Sepertinya malam ini, Elva bukan lagi merindukan Galvan. Tapi memikirkan soal peristiwa Calvin-yang-mendadak-mencium-Elva.

Ah, Sial! Bahkan sekarang pikiran Elva sudah kemana-mana.

"Apa yang kau lakukan disitu? Bersihkan dirimu, bau tanah sudah menjalar ke seluruh rumah," ucap Ibu Elva.

"Iya iya, aku akan membersihkan diri," jawab Elva dan berjalan menuju kamar mandi.



ribbon




Benar firasat Elva. Pasti dirinya tidak akan tidur malam ini.

Tok tok tok.

Elva menoleh ke sumber suara, jendela kamarnya. Elva menatap jam dinding di kamarnya.

"Siapa yang akan berkunjung kesini jam 11?" gumam Elva.

Elva harus melawan rasa takutnya, dirinya juga seorang vampir bukan manusia lemah. Untuk apa dirinya takut.

Klek.

Jendela kamar itu terbuka. Menampakkan wajah yang beberapa hari ini ia pikirkan.

"Kak Galvan?"

Pria dihadapannya hanya tersenyum.

Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang