Saat menuju rooftop, Elva bertemu dengan Rachella— mari panggil dia dengan sebutan Cela mulai sekarang. Kejadian kemarin pun terulang lagi, ada satu pria itu lagi yang sedang berbincang pada Cela.
“Kayaknya tempat Rachel kalau sudah jam istirahat, disini ya?” ucap Elva.
“Eh, kau tidak mengatakan kalau ingin datang kesini,” ucap Cela yang membuat laki-laki itu menghilang lagi, “Keponya disimpan nanti dulu ya, El.”
Seperti bisa membaca pikiran Elva perihal pria itu, dengan santai kalimat itu keluar dari mulut Cela.
“Eh? Padahal aku tidak kepo juga Chel, hahaha,” bohong Elva.
Cela menganggukkan kepalanya. “Aku pikir kau penasaran hehe.”
“Ada apa sampai datang kesini?” tanya Cela. “Anyway, I'm fine with Cela.”
“Mau cerita, Cel.” Elva berjalan mendekat menuju Cela. “Teman aku, saat aku masih tinggal di kota sebelumnya, datang kesini. Sekolah disini.”
“Loh? Kalau begitu kan bagus?” ujar Cela, “Kau tidak akan merasa kesepian lagi kalau begitu.”
“Tidak. Ini masalah bagiku.” Elva menghela nafasnya. “Aku... merasa tidak nyaman didekatnya, maksudku... dia pria yang menyukaiku.”
Elva menunduk. “Tapi aku tidak tega kalau harus cuek dengannya, dia teman kecilku.”
Cela hanya diam, mendengarkan curahan hati Elva perihal her childhood friend. Kemudian senyumnya mengembang.
“Tetaplah berteman dengannya, bagaimanapun dia salah satu daftar orang yang kau percaya di sekolah ini.”
Salah satu daftar orang yang kupercaya? Apa dia masih pantas untuk kuberi kepercayaanku? tanya Elva pada dirinya sendiri.
“Jangan terlalu dibawa pikiran, dia pasti tau batas. Kutau itu,” Cela mengusap-usap punggung Elva.
“Cel, kau cenayang ya?”
“Eh? Tidak, aku bukan cenayang sama sekali haha.”
“Oh iya, aku punya teman baru Cel,” ucap Elva antusias, “Dia juga vampir, teman sekelasku!”
“Benarkah?” Cela ikut antusias mendengarnya, “Siapa namanya?”
“Jeffrey. Jeffrey Valentine Smith.”
“Smith? Keluarga Smith?” tanya Cela memastikan.
Elva mengangguk sebagai jawaban, “Memangnya ada yang salah berteman dengan keluarga Smith?”
“Kau tau sendiri kan, El....”
“Aku rasa dia orang yang baik-baik.” Elva menyandarkan punggungnya pada tembok dibelakangnya, “Dia juga perhatian.”
Selesainya mereka bercerita— lebih tepatnya Elva yang bercerita, terdengar bel masuk sekolah yang membuat mereka bergegas menuju kelasnya masing-masing.
Elva sendiri berlari kencang dari Cela, seperti ada yang ia harus lakukan. Syukur dia sampai di kelasnya sebelum guru mata pelajaran yang masuk dan mengabsen nama.
Elva kemudian duduk di bangkunya, sambil mengatur nafas. Melihat bangku depannya kosong, Elva mengambil sticky note dan menuliskan satu kalimat di sticky note itu.
Sticky note itu tertempel pada meja bangku depannya, pemilik bangku pula sudah datang setelah Elva menempelkan kertas berwarna kuning itu.
Orang entah bernama siapa itu membaca isi sticky note tersebut dan membalikkan badannya. “Kau yang menempelkannya?” tanya orang itu.
Elva mengangguk.
“Datanglah di atap sekolah nanti, kutunggu. Tertanda Elva,” ujar orang itu membaca kembali isi sticky notenya.
“Untuk apa?” tanya orang itu kembali.
“Guru sudah datang,” Elva tersenyum sambil menunjuk guru yang masuk dari pintu kelas depannya.
ribbon.
“Ada perlu apa denganku?” tanya orang itu dengan gaya coolnya, “Tunggu, apa aku mengenalmu?”
“Kau tidak takut padaku?” Elva mengabaikan pertanyaan pria dihadapannya.
“Aku takut padamu?” Elva mengangguk, sedangkan pria dihadapannya tertawa dengan puas, “Untuk apa aku takut dengan seorang perempuan, omong kosong.”
“Kau werewolf kan?“
Tawa pria dihadapannya seketika berhenti tertawa. “Kenapa berhenti tertawa?” tanya Elva.
Pria dihadapannya tampak berdehem, seolah-olah membersihkan tenggorokannya.
“Kata siapa aku werewolf,” tanya pria itu masih dengan gaya yang sama, “Werewolf hanya mitos, kau tahu itu kan?”
“Tidak usah berpura-pura, menggunakan lensa berwarna natural pun tidak akan menghilangkan aura serigala darimu,” jelas Elva, padahal aura serigala pria didepannya ini tidak akan dia rasakan sebelum Jeffrey yang memberi tahunya.
“Kalau begitu, kau seorang vampir kan?” Elva mengangguk, “Mau membunuhku?”
“Tidak, tidak. Aku tidak mempunyai maksud seperti itu, sama sekali tidak.” Elva melipatkan tangannya depan dada. “Aku ingin meminta tolong padamu.”
“Meminta tolong padaku?” pria itu menunjuk dirinya sendiri, seolah bertanya kenapa aku?
Elva sekali lagi menganggukkan kepalanya. “Tapi pertama-tama, bagaimana dengan perkenalkan dirimu dulu padaku.”
“Ah....” pria itu berdehem. “Aku Alex, Alexander Christian. Bangsa serigala yang tidak suka mencari masalah dengan seorang vampir.”
Elva membuat sebuah garis lengkung pada wajahnya yang membuat kedua ujung bibirnya terangkat naik, “Elva, Elvarette Cordelia. Bangsa vampir yang sedang mencari teman serigalanya.”
Pria itu— tidak, Alex menaikkan satu alisnya. “Menarik.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ribbon ✓
Fantasy❝Don't trust anyone. Just, don't.❞ Pita sebuah benda yang disukainya. Bukan benda utama, tapi menjadi benda petunjuk dari segalanya. yesoryves, january 2019.