Knock knock knock.
"Ya? Masuklah," sahut Elva dari dalam kamarnya.
"Eum, Elva kan?"
Elva menoleh ke arah pintu, lalu memperbaiki posisinya yang tadinya sedang berbaring sekarang menjadi duduk. "Oh Ed? Ada apa?"
"Hanya ingin bertemu denganmu, mungkin... untuk menjadi lebih dekat?" Ed kemudian masuk ke dalam kamar Elva dan duduk di pinggir kasur Elva.
"Seperti itu," gumam Elva lalu mengangguk paham.
"Oh! Pak Cal- ekhm, maksudku a-ayah dan ibu akan keluar kota besok pagi."
"Benarkah?" tanya Elva walaupun masih memainkan ponselnya.
"Ekhm." Ed kembali berdehem- berusaha mengambil perhatian Elva dari benda adiktif itu.
Elva mendongak. "Ya?"
Ed menunjuk handphone Elva. Elva mengangkat handphonenya seolah-olah bertanya ada apa dengan handphoneku?
"Kau tahu...." Ed menggoyangkan tangannya, sulit menjelaskan. "Aku ingin berbicara."
"Bicara saja." Elva menatapnya.
Ed menggeleng. "Maksudku, seperti mengenalmu lebih banyak dan kurasa benda itu menghalangiku untuk mengenalmu lebih dalam."
Elva sempat merasa bingung dengan perkataan Ed, namun beberapa detik kemudian dia mengerti.
"Ah- Maaf."
Elva kemudian menyimpan handphonenya di nakas samping tempat tidur miliknya.
"Apa perlu ku panggil kakak?" Elva memulai pengenalan mereka.
Ed menggerakkan tangannya membentuk menyilang. "Tidak perlu, aku merasa tidak enak."
"Ey, tidak perlu? Ini bukan apa-apa, kak."
Ed sedikit meringis mendengar dirinya dipanggil kak, mungkin nanti dirinya akan terbiasa.
"Kak, aku punya pertanyaan."
"Tanyakan saja."
"Kakak... tidak punya orang tua?" Elva sedikit menunduk. "Jika konteks ini terlalu sensitif bagimu, tak perlu diceritakan."
"Ah, tidak tidak. Tidak apa-apa, ini tidak bersifat begitu pribadi bagiku."
Ed tampak berpikir sejenak. "Harusku mulai darimana ya...." gumamnya.
"Ceritakan saja dari masa kak Ed masih kecil," ucap Elva yang kemudian sedikit antusias. Juga membayangkan bagaimana paras Ed sewaktu ia kecil.
"Saat aku lahir, aku masih memiliki mereka- orang tuaku. Semuanya tampak baik-baik saja- atau entah memang sudah menjadi buruk karena aku masih belum paham tentang lingkungan sekitarku, karena umurku tepat 4 tahun."
"Tidak ada pertengkaran atau suara besar yang membuatku menangis, tidak ada sama sekali. Hanya saja suatu hari, mereka pergi sebentar entah untuk apa saat aku tertidur. Aku tahu itu karena saat aku terbangun, rumahku kosong."
"Lalu lalu lalu?"
Ed terkekeh sejenak melihat tingkah Elva. "Kau seperti anak bayi saja, lucu sekali."
Sementara Elva hanya terkekeh dan meminta Ed melanjutkan ceritanya menggunakan ekspresi wajah.
"Jujur saja waktu itu aku merasa takut walaupun saat itu masih siang hari, jadi aku duduk di sofa yang berada di ruang keluarga dan menonton tv."
Ed menjeda ceritanya sejenak lalu tersenyum. "Tak lama kemudian aku mendengar suara pagar yang terbuka- yang kuyakini pula itu mereka. Aku bergegas berlari menuju pintu untuk membukakan mereka pintu, namun di pertengahan lariku ada suara yang terdengar begitu nyaring ditelingaku."
Ed menatap sebentar Elva yang sedang memperhatikannya dengan serius. Kalau seperti ini, siapa yang tidak akan terlewat pemikiran jahilnya?
"Dor!" Ed mengagetkan Elva dengan suaranya yang tiba-tiba membesar.
Elva mundur kebelakang sedikit, tanda kejahilan Ed berhasil. "Ah! Kau mengagetkanku kak!"
Ed terkekeh lagi. "Wajahmu terlalu serius."
"Tapi itu lah suara yang kudengar," ucap Ed.
"Hah?"
"Suara pelatuk sebuah pistol ditarik."
Kalimat itu mampu membuat mulut Elva menjadi bungkam. Cerita yang diceritakan oleh Ed terdengar sangat tragis.
"Saat itu, dapat kurasakan kedua kakiku yang terasa lemah, tidak kuat lagi berjalan. Aku duduk di lantai sebentar, tidak berani keluar. Khawatir korban dari suara itu adalah mereka." Mata Ed mulai berkaca-kaca. "Setelah mempunyai niat yang kuat, aku mulai berjalan lemas menuju pintu. Walaupun pintu itu belum kubuka, aku mendengar ibuku yang menangis dan berteriak meminta tolong."
Air mata itu jatuh dari wajah sempurna Ed. "Gagang pintu sudah ku pegang, tapi suara pelatuk pistol itu terdengar lagi. Suara tangisan ibuku juga sekejap menghilang."
"Kakak tidak apa-apa?" Elva menunduk. "Maaf."
Ed menyeka air matanya. "Tidak perlu meminta maaf. Kau tahu? Beruntung saat itu aku refleks mengunci pintu rumahku."
Elva masih menundukkan kepalanya, tak lama terdengar isakan. "Hey, tidak perlu menangis. Toh, itu hanya masa laluku."
Ed mengangkat kepala Elva sekaligus menyeka air mata adik angkatnya itu. Ed menarik Elva ke dalam dekapannya, mengusap-usap punggung Elva.
"Sudah, jangan menangis. Nanti tambah jelek loh," canda Ed.
"Ber-arti sekarang E-Elva sudah jelek?" tanyanya di sela tangisannya.
Ed terkekeh. "Bukan seperti itu maksudku."
Setelah Ed mengusap-usap punggung Elva beberapa menit, Elva merasa tenang lalu menyahutkan nama kakak angkatnya.
"Kak Ed...."
Walaupun Elva masih dalam dekapan Ed, Elva dapat merasakan Ed yang mencoba menoleh walau tidak bisa. "Apakah kau sudah menemukan...nya?"
Ed perlahan melepas Elva dari dekapannya.
"Maksudmu, pembunuhnya?" tanya Ed- Elva mengangguk.
"Tentu saja."
"Benarkah?" Ed tersenyum- mengiyakan pertanyaan Elva. "Jika boleh, siapa?"
"Berkat ayahmu aku bisa mengetahuinya, setelah mengetahuinya aku sempat membenci ayahmu dan bangsanya."
"Kenapa seperti itu?"
"Pembunuh keluargaku adalah keluarga Smith."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ribbon ✓
Fantasy❝Don't trust anyone. Just, don't.❞ Pita sebuah benda yang disukainya. Bukan benda utama, tapi menjadi benda petunjuk dari segalanya. yesoryves, january 2019.