Hening. Tidak ada yang membuka suara untuk berbicara. Kedua tangan Elva ia tautkan, walaupun telah mengenakan jaket tebal ini, suhu dingin masih dapat ia rasakan.
Elva merasa ada yang aneh pada dirinya. Dalam seminggu ini, beberapa mimpinya menjadi kenyataan. Seperti tadi, dirinya berciuman dengan Calvin. Tapi untungnya berhasil ia tolak, kejadian itu hanya terjadi dalam mimpinya.
Calvin menggelengkan kepalanya dan memasangkan mantelnya kepada Elva. "Sudah tahu sekarang musim dingin, masih saja pakai jaket tipis," ucap Calvin tepat dihadapan wajah Elva.
Elva diam ditempat. "Hei, aku tahu sekarang itu dingin. Tapi jangan sampai membeku juga," lanjut Calvin.
Elva menatap manik mata merah milik Calvin. "Darimana saja, hm? Kenapa tidak menghubungiku selama 3 bulan?"
Elva masih saja diam ditempatnya.
Udara yang sangat dingin itu berubah menjadi hangat. Calvin yang perlahan mendekatkan dirinya kepada Elva. Elva menarik punggung Calvin untuk memeluknya.
"Aku merindukanmu, El. Sangat," ucap Calvin dengan nada suara yang rendah, "tapi aku tahu, kau menghubungiku bukan karena aku, kan?"
"Ingin mendengarkan yang sebenarnya atau yang sebaliknya?"
Suasana menjadi hening. Tangan Calvin semakin ia eratkan untuk memeluk Elva. "Berbohonglah, aku ingin mendengarmu berbohong padaku."
Elva tersenyum dibalik pelukan itu. "Pertama, aku tidak merindukanmu. Itu hal yang mustahil. Kedua, tidak. Aku menghubungimu bukan karena sesuatu."
Calvin perlahan melepaskan pelukan mereka berdua. Tertawa miris.
"Galvan, kan?"
Sampai disitu, Elva tidak menjawab pertanyaan Calvin. Dirinya hanya berjalan menuju bangku taman, mencari kehangatan dibalik udara yang dingin.
"Calvin," sahut Elva, "apa kau masih bersama Galvan?"
"Tidak."
"Jangan bohong."
"Apa aku memiliki tampang seperti orang yang sedang berbohong?" tanya Calvin menatap Elva yang sedang menunduk.
Elva menatap balik manik mata merah itu. "Sepertinya begitu."
"Ku akui, aku pernah membohongimu. Tapi percayalah, aku sedang jujur sekarang," ucap Calvin dengan tulus, "coba hubungi dia, mungkin akan dibalas."
Calvin terus mengecek handphonenya tanpa benar-benar menggunakannya dengan benar. Hanya mematikan dan menyalakan layarnya terus-menerus.
"Handphoneku tertinggal dirumah."
Calvin mengangguk. "Menggunakan handphoneku juga tidak akan berguna, hubungi saja kalau sudah sampai rumah."
Kini giliran Elva yang mengangguk paham. Seperti orang asing baru bertemu, mungkin itu definisi keadaan dari mereka berdua sekarang.
"Bagaimana sekolah?"
"Baik-baik saja," jawab Elva, "ah, aku sudah punya teman. Perempuan, dia juga vampir. Aku baru tau sekarang bangsa vampir sudah ada dimana-mana."
"Terus kan, katanya Rachel temanku itu, ada bangsa serigala juga disekolah itu. Tau tidak? Aku sangat penasaran dan ingin bertemu dengannya."
Calvin terkekeh betapa lancarnya Elva bercerita hanya dengan satu pertanyaan. "Ingin tau satu hal?"
"Apa itu?"
"Kau tidak pernah berubah." Calvin mencubit gemas pipi berisi Elva.
"A-aduwh! Lwepast!" Elva memukul tangan Calvin yang mencubit pipinya.
"Cih, hobi banget cubitin pipi orang."
"Orang? Cuma orang kamu yang suka aku cubit pipinya."
Elva memutar bola matanya malas.
"Cal," panggil Elva.
"Hm?"
"Balik sini dong."
"Mau apa?"
"Balik aja apa susahnya sih!"
"Ya susahlah, udah posisi ba-"
Elva menangkup wajah Calvin lalu memaksanya untuk berbalik ke arah Elva. Berbeda dengan Calvin, yang melepas tangkupan tangan Elva secara lembut dari wajahnya.
"Nih, aku sudah berbalik kan."
Elva memberinya jempol. You know guys, Elva is such a weirdo.
"Terus mau apa ini?" tanya Calvin.
Elva menelusuri wajah Calvin yang kecil itu. "Kenapa kau menatap muka ku? Ganteng ya? Tau kok, aku ganteng kan."
Elva mengetuk keras kepala Calvin yang terlewat percaya diri. "Kalau percaya diri, dikasih batasan juga lah."
"Aduh sakit," ucap Calvin dengan nada suara yang dibuat-buat.
Elva tampak kesal dengan kelakuan Calvin.
"Makin gemes."
"Apa sih."
Calvin menatap jam tangannya. Sudah setengah jam waktu yang berlalu mereka habiskan bersama.
"Waktunya pulang, Elvampire."
"Stop calling me with that name.."
"Iya iya." Calvin berdiri dari tempat duduknya. "Sini, aku antarkan kau pulang."
Calvin meraih tangan Elva dan menggenggamnya. "Tanganmu sangat dingin, El."
"Kan udaranya dingin."
"Masukkan kesini." Calvin memasukkan genggaman tangan mereka berdua kedalam kantung mantel miliknya yang Elva pakai.
"Kalau butuh bantuan hubungi saja aku." Calvin menatap langit yang berwarna navy itu. "Jika kau masih mencari Galvan, aku akan berusaha membantumu. Tapi informasi terakhir keberadaan Galvan masih tidak bisa aku ungkapkan, maaf."
"Tidak apa-apa." Elva tersenyum. "Aku hanya merindukan eyesmile miliknya."
Elva melihat ekspresi Calvin yang agak murung setelah mendengar kata rindu itu bukan untuknya. Hal itu membuatnya terkekeh.
"Tenang saja, aku juga rindu padamu. Makasih sudah ingin membantu, tapi ku usahakan untuk tidak menjadi Elva yang suka merepotkan orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ribbon ✓
Fantasy❝Don't trust anyone. Just, don't.❞ Pita sebuah benda yang disukainya. Bukan benda utama, tapi menjadi benda petunjuk dari segalanya. yesoryves, january 2019.