"C'mon guys, kalau kalian terus-terusan seperti ini, kapan Elva akan ditemukan?"
Pada akhirnya, Calvin juga turun tangan untuk membantu membuat tim ini kembali. Rencananya dengan Galvan juga sudah ditengah jalan, ada baiknya mereka bekerja sama lagi.
"Bagaimana? Kalian masih tidak ingin saling bertatap muka seperti ini? Mungkin kalian tidak tahu, tapi bisa saja Elva sedang dalam bahaya sekarang!" bentak Cela.
Ed menaikkan kepalanya dan berkata, "Dia baik-baik saja. Aku yakin itu."
Semua mata bertuju kepada Ed, terutama Galvan yang menatapnya penuh dengan rasa curiga.
"Kau bertemu dengannya?" tanya Calvin.
"Aku tidak mengatakan bahwa aku melihatnya. Aku hanya mengatakan, Elva baik-baik saja."
"Matamu tidak mengatakan yang sejujurnya. Hahahaha, kau beruntung aku tidak bisa membaca pikiranmu," ujar Galvan.
"Jangan, jangan! Tolong jangan bertengkar lagi, kalian tahu betapa sulitnya membuat kalian berkumpul seperti ini?!" tegas Cela.
"Aku sudah memaafkan mereka, karena aku ada urusan aku pergi."
"Kalau itu urusan berhubungan dengan Elva, sebaiknya kau berbagi daripada mengerjakannya sendiri," ucap Sora yang akhirnya buka mulut saat ujung matanya melihat Galvan memegang gagang pintu.
"Ini tidak ada hubungannya dengan Elva, sama sekali tidak ada."
Sora berjalan menghampiri Galvan, tangannya meraih tangan Galvan- tetapi Galvan lebih dahulu mundur.
"Kalau kau ingin melihatnya, kau harus membayar terlebih dahulu, oke nona?" bisik Galvan lalu keluar dari ruangan.
"Oke kalian disana jangan bertengkar. Aku anggap sekarang kita menjadi akur, jadi kumohon tidak ada masalah seperti ini lagi ya?" bujuk Cela.
Semuanya mengangguk dan persatu-satu keluar dari ruangan- kecuali Calvin yang menyisakan ia berdua dengan Cela dalam ruangan.
"Apa sekarang kau akan membayarku?" tanya Calvin.
Cela menonjok lengan kekar Calvin, "Memangnya aku punya hutang apa padamu?"
"Jadi kau akan bermain seperti ini?"
"Kau kenapa sih?"
"Aku sudah membantumu membuat tim ini kembali tapi kau tidak ingin membayarku? Sepersenpun?" ujar Calvin dengan nada menggoda.
"Aku merasa geli tau. Sudah kau jauh-jauh sana!"
"Lihat bocah ini, huh? Dia jual mahal kepadaku wah wah wah."
"Maaf tuan, sekarang aku sudah tidak tertarik dengan laki-laki yang suka mencium orang dengan sembarangan." Cela kemudian melangkahkan kakinya keluar dari ruangan.
"Oh, jadi kau mengirim kode padaku?" goda Calvin mengikuti langkahan kaki Cela.
Cela menutup telinganya dan mengeluarkan suara aneh dari mulutnya sambil menutup mata.
"Kau hampir tertabrak nona," ucap Calvin dengan telepatinya dan sekaligus memegang dahi Cela yang sedikit lagi tertabrak oleh pinggiran pintu.
Cela membuka matanya dan melihat wajah Calvin yang begitu dekat dihadapannya. Refleks tangannya mendorong tubuh Calvin karena kaget dan mengakibatkan Calvin tertabrak oleh tembok.
"Aduh!" Calvin mengusap-usap lengannya yang tertabrak begitu keras dengan tembok.
"Tidak usah sok merasakan sakit. Aku ini vampir, aku tahu vampir tidak bisa merasakan sakit."
Cela kemudian meninggalkan Calvin yang berakting merasakan sakit saat terdorong.
"Bocah ini, kenapa tiba-tiba menjadi jual mahal seperti ini?"
"Aku mendengarmu! Cepat keluar dari sana!" teriak Cela.
Sementara Calvin hanya melongo dan menggeleng-gelengkan kepalanya berjalan keluar.
ribbon.
Makan malam keluarga di rumah Galvan terjadi setelah sekian lama. Walau ayahnya sedang tidak ada ikut serta duduk di meja makan, tapi suasana di meja makan ini tampah bahagia- terutama untuk Ibu Galvan.
Ibunya menatap anaknya makan dengan lahap. "Makan yang banyak ya Nak."
Galvan tidak menghiraukan ucapan Ibunya, namun tidak dapat dipungkiri cara makan Galvan sekarang seperti tidak makan dalam setahun.
"Pelan pelan makannya, duh."
Galvan melirik Ibunya yang menatapnya dengan senang. Makanan yang ada di mulutnya ia telan, tangannya berhenti untuk menyuapkan dirinya sesendok makanan.
"Ada apa? Apa kau sudah kenyang?"
Galvan menggeleng.
"Lalu ada apa?"
Galvan meminum dua tegukan air mineral disamping pirinya lalu mengusap mulutnya menggunakan tisu.
"Ibu, apakah aku boleh bertanya?" tanya Galvan.
"Tentu saja boleh! Kau ini seperti berbicara dengan orang asing saja." Tangan Ibunya mengusap rambut Galvan dan tersenyum.
"Eumm...." Galvan kemudian berpikir dua kali untuk membahas gumaman yang ia dengar tempo hari saat mengambil data keluarganya.
Ibunya senantiasa menunggu sambil menatap Galvan dengan senyuman indahnya- senyuman yang mirip dengannya.
"Anu, eum, apakah... bagaimana aku harus mengatakannya... begini Ibu, aku bertemu dengan seseorang dijalan... kurasa dia mirip denganku dan tiba-tiba sebuah pikiran terbesit di kepalaku," ucap Galvan- sedikit basa-basi.
Sementara itu, senyuman di wajah Ibunya menghilang, tergantikan dengan dahinya yang mengerut- menjadi heran dengan ucapan Galvan yang sedikit terbelit-belit.
"Mungkin ini sedikit terdengar aneh dan... mustahil?" Galvan memainkan sendok makannya dan melanjutkan perkataannya, "apakah aku mempunyai seorang kakak?"
Kerutan di dahi Ibunya hilang digantikan dengan wajah datarnya. "Apa yang kau bicarakan, Nak?"
"Mata Ibu mengatakan semuanya. Ibu menyembunyikan sesuatu dariku... kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ribbon ✓
Fantasy❝Don't trust anyone. Just, don't.❞ Pita sebuah benda yang disukainya. Bukan benda utama, tapi menjadi benda petunjuk dari segalanya. yesoryves, january 2019.