09. Sekarang Sudah Berakhir?

145 28 5
                                    

Jadi ini yang dikatakan mabuk mobil? ujar Elva pada dirinya sendiri.

"Ma... Mual...." Elva yang baru saja bangun dari tidur nyenyaknya langsung diserang dengan mual.

Elva rasanya benci perjalanan jauh.

"Di tasmu ada botol, minumlah." Elva mengangguk dan merogoh tas ranselnya.

Momen dimana Elva mengambil botol yang penuh cairan merah kental itu, Elva merasakan getaran pada tasnya.

Elva mencari benda yang bergetar dalam tasnya itu. Niatnya yang ingin menghilangkan rasa mual terurungkan.

Benda yang berbentuk persegi panjang itu menampilkan 10 notifikasi dari aplikasi LINE. Dengan nama yang sama, nama yang ia ingin temui beberapa hari terakhir.

Elva membuka pesan itu.

Kak Cal
elva
aku ada di dpn rumahmu
elva?
kau pergi? rumahmu tampak kosong
elva?
kau pindah?
elva?
elva
elva, angkat teleponku
elva, maafkan aku

Elva
darimana saja..

aku menunggu, tapi tdk ada kabar
tak apa kan kalau kukatakan,
aku benci kak calvin?

Jangan cengeng, ujar Elva pada dirinya sendiri.

Ingin rasanya Elva melempar handphonenya, tapi ada orang tuanya.

"Sudah merasa baikan?" tanya Ibunya sedikit mengagetkan Elva.

Elva berdehem, "Ini aku baru saja ingin meminumnya."

Elva mengambil botol itu, meminumnya. Walau rasa mabuk akan perjalanannya sudah hilang, setidaknya cairan merah itu bisa menenangkan dirinya sedikit.

"Mau tidur semalam dulu di motel? Siapa tau keadaanmu masih pusing sedikit El." Kini Ayahnya yang bercakap.

"Tidak usah yah. Nanti ayah dimarahi oleh bos ayah lagi kalau waktunya diundurkan semalam," ucap Elva.

"Kau yakin?"

Elva hanya mengangguk sebagai balasan. Toh memang sekarang dia merasa baik-baik saja-tidak begitu baik juga sih.

Mungkin sedikit tidur bisa membuatnya lebih baik lagi dan melupakan soal Calvin itu.


ribbon


"Elva, ayo bangun. Sudah sampai."

Ibu Elva menepuk pipi Elva pelan, untuk membangunkannya dari tidurnya yang tampak sangat nyenyak. Yang pipinya ditepuk pelan, hanya bisa mengerang.

Elva rasanya tidak rela bangun dari tidurnya. Terlalu nyenyak sampai Elva sendiri tidak memimpikan apapun dalam tidurnya.

Perlahan Elva membuka matanya. Daripada tidur di mobil, sebaiknya ia segara membuka matanya dan turun dari mobilnya.

"Ini handphonemu, tadi terjatuh," kata Ibunya menyerahkan handphone Elva. "Sepertinya ada yang mencoba untuk menghubungimu sedari tadi, tidak sempat bilang selamat tinggal kan?"

Eh?

"MAMA JANGAN SUKA BUKA PRIVASI ELVA DONG!! HUAAA." Rengek Elva- yang sebenarnya lebih ke malu.

"Memangnya kenapa? Mama juga bukan orang asing kan. Itu kasian Kak Cal-mu sedaritadi minta maaf." Tunjuk Ibunya pada handphone Elva.

"Kalian habis bertengkar? Jadi tidak bertemu-temu?"

"Apaan sih ma, Elva mau turun."

Elva mengambil barang-barang pribadinya yang ada di samping kursi yang ia duduki- tas ranselnya.

Ucapan Ibunya sendiri membuatnya ingin menyalakan layar handphonenya, tapi sudah terlanjur kesal. Tapi penasaran juga.

Ah sudahlah. Lebih baik Elva membawa barang-barangnya masuk ke rumahnya yang baru ini.

Tapi handphonenya terus bergetar. Membuat dirinya terusik dan gemas untuk mengecek notifikasinya itu.

Kali ini getarannya bertahan lama, tandanya ada panggilan masuk. Mungkin penting, pikir Elva.

Elva meraih handphonenya itu dan menjawab panggilannya tanpa melihat nama pemanggil dan kembali mengangkat barang-barangnya.

"Halo?" ucap Elva setelah tidak mendengar adanya suara dari pemanggil.

"Oh halo? Diangkat juga, sesibuk apa sampai tidak ingin mengangangkat teleponku?"

Oh sial, umpat Elva dalam hati.

"Aku sibuk, akanku matikan-"

"Elva...."

Lelaki itu hanya menyebut namanya dan membuat diri Elva jadi bungkam.

"Dengarkan aku dulu, El."

"Apa yang perlu didengarkan lagi? Sekarang sudah tidak ada yang perlu dibicarakan-"

"Aku ada di samping kolam ikan depan rumahmu."

"Haha, yang benar saja. Tidak ada kolam ik-" ucapan Elva terputus begitu melihat kolam ikan di depan matanya dan ada seorang laki-laki yang berdiri di samping kolam itu.

"Aku sibuk."

"Aku akan membantumu."

Sosok itu memutuskan telepon itu sepihak dan mulai berjalan menuju tempat Elva berdiri. Elva berbalik dan melanjutkan kegiatannya.

"Elva, tidak rindu?" tanya pria itu.

Elva tertawa dengan nada sarkas. "Untuk apa aku merindukan orang sepertimu? Huh, yang benar saja."

"Tapi aku bisa meramal. Ramalanku selalu benar, kau tahu?" Elva hanya memutar bola matanya kesal. "Mana sopan santunmu, kenapa tidak ada kata Kak lagi di depan namaku?" tanya Calvin saat menyadari Elva memanggilnya tanpa awalan kak lagi.

"Pulanglah, Kak Calvin," ucap Elva dengan menekan kata kak di kalimatnya itu.

"Kau berubah, El."

"Berubah? Aku? Aku berubah?" Tawa sarkas itu kembali terdengar di telinga Calvin. "Mana janji sialanmu itu."

Calvin mengangkat satu alisnya. "Languange."

Elva menghiraukan Calvin dan fokus kembali mengangkat barangnya.

"Nona, dengarkan aku. Aku lebih tua darimu."

"Oh? Jadi kalau kau lebih tua dariku, aku harus selalu hormat padamu?" sarkas Elva sebelum benar-benar masuk dalam rumahnya untuk membawa masuk barangnya.

Calvin berdiri mematung di luar rumah Elva. Menatap pintu masuk rumah Elva itu. Menunggu Elva kembali keluar dari rumah barunya.

"Sedang apa sih? Kenapa tidak pulang saja?" gerutu Elva begitu keluar dan melihat Calvin masih menunggunya, "nanti orang tuaku melihatmu, itu akan merepotkan."

Calvin memberikan senyumannya pada Elva- senyuman yang sangat ikhlas namun penuh arti. "Aku suka dengan ikat rambutmu."

Elva beralih memegang ikat rambutnya. Ini pita bodoh, ucap Elva dalam hati.

Kemudian memutar bola matanya sinis dan kembali membuka mulutnya. "Kenapa? Ingin diamb- eh?"

Calvin sudah hilang dari hadapannya. "Ah masa bodoh. Mari memulai kehidupan baru, melupakan mereka berdua mungkin akan menjadi lebih baik."

tbc.

Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang