08. Aku Pergi

151 27 2
                                    

"Elva!"

"Elva!"

Elva perlahan membuka matanya yang terasa lengket. "Kak Galvan... dimana?"

Wanita di hadapannya mengerutkan dahinya. "Kau ini kenapa? Elva, Galvan sudah meninggal. Daripada membahas dia, kau sedang apa? Tidur? 2 menit lagi kita berangkat."

Elva menatap sekitarnya. Ia ternyata tertidur di kasurnya. Jadi... tadi hanya sekedar mimpi?

Padahal Elva sudah sangat rindu pada pria itu. Eh, sebentar. Elva baru menyadari perkataan Ibunya. Galvan sudah meninggal. Sejak kapan?

"Ma!" teriak Elva.

"Apa lagi, cepat kemas barangmu, Va." Ibunya datang kembali ke kamar sang anak.

"Siapa yang bilang Kak Galvan sudah meninggal? Kak Galvan masih hidup!"

Ibunya berdecak. "Calvin tak memberi tahumu di hari pertama dia bertemu denganmu setelah kabar Galvan meninggal?" tanya Ibunya kembali, "ngomong-ngomong Calvin sudah tidak pernah berkunjung lagi. Dimana dia, Va?"

Tunggu. Setelah Galvan menghilang, Calvin datang menemuinya. Ini tambah membuat Elva sungkan untuk meninggal kota ini. Elva butuh Calvin menepati untuk janjinya.

"Elva, mana mamamu- rupanya kalian disini. Cepatlah bawa barang kalian ke mobil. Kita akan terlambat 5 menit kalau kalian menetap disitu," ujar Ayahnya setelah memasuki kamar anak tunggalnya itu.

"Ayah! Aku ingin bertemu dengan Kak Calvin sebentar! Bisakah kita menunggu beberapa menit lagi?" mohon Elva dengan puppy eyes-nya.

Ayahnya melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya sebentar lalu menghela nafas. "Baiklah, ayah tunggu di mobil selama 3 menit. Ayo ma, kita duluan saja."

Ibu Elva mengangguk dan meninggalkan gadisnya sendirian di kamar. Elva yang tadinya menyerah menghubungi Calvin, kini kembali menghubunginya.

Rasa penasarannya semakin membesar usai perkataan Ibunya. Apa benar selama ini Galvan sudah pergi? Lalu bagaimana dengan orang yang biasa mengunjunginya di malam hari.

Ini semua membuat bulu kuduk Elva seketika merinding. Di kamar yang senyap ini, terdengar jelas suara deringan telepon.

Namun berkali-kali Elva menekan tombol dial tetap saja tidak ada jawaban dari orang yang dihubunginya. Mungkin mengirim pesan kepada temannya akan membantu.

Baru saja Elva membuka LINE tapi pesan yang tadi ia kirim tidak ada. Jangan bilang itu mimpi juga. Elva kemudian beralih ke log panggilan. Selama ini Calvin-teman Calvin-tidak pernah mengangkat teleponnya.

Semuanya mimpi? Kalau begini, bukankah satu satunya jalan hanya menunggu Calvin membalas pesannya. Sebenarnya bukan jalan keluar, karena sama saja Elva harus pergi dari kota yang sudah ia tinggali selama bertahun-tahun.

Elva menghela nafasnya pelan. Pasrah. Mungkin belum takdirnya.

Elva berjalan keluar dari kamarnya, melewati ruang keluarga dimana ada sofa tempat dimana Galvan terakhir kali mengatakan selamat tinggal kepada Elva dan first kiss-nya dengan Calvin.

Kenapa juga Elva harus berurusan dengan dua lelaki yang penuh komplikasi ini. Yang membuat Elva untuk pertama kalinya mencintai dua lelaki- ralat, haruskah Elva mengatakan satu laki-laki?

Entahlah, Elva butuh sebuah kepastian.

Elva harus bergegas sebelum Ayahnya marah besar. Sudah hampir 3 menit Elva di dalam rumah itu menunggu kabar Calvin.

Elva menutup pintu utama rumahnya. Ada kebun. Ini bukan tempat yang baik untuk mengingat masa lalu, tapi tempat ini memiliki banyak kenangan yang indah dan sayang untuk ditinggalkan.

Tak lama Elva mendengar suara klakson dari mobil Ayahnya. Mungkin sudah terlewat 3 menit. Elva berusaha menenangkan diri, melangkah menjauh dari teras rumahnya.

Selamat tinggal rumah, kebun, sofa, Kak Galvan, dan Kak Calvin. Aku akan merindukan kalian.

Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang