31. Kenapa?

78 11 0
                                    

"Apa kau akan datang?" tanya Jeffrey diseberang telepon.

"Sekarang?" tanya Elva.

"Tidak, sesuai yang kukatakan, jam 8 malam. Aku hanya memastikan."

Elva mengangguk paham. "Iya aku akan datang. Iya, iya."

Sambungan telepon itu diputuskan oleh Elva sendiri.

"Apa kau akan pergi berkencan?" rayu Ed yang menyender di pintu kamar Elva.

Elva berbalik. "Kak Ed mengagetkanku."

"Ekspresi apa itu, kau benar-benar kaget atau hanya pura-pura?"

Elva mengangkat kedua bahunya. "Keduanya?"

"Aku penasaran." Ed masuk ke kamar Elva.

Elva duduk di meja belajarnya, membuka buku teorinya. "Perihal apa Kak?"

"Vampir tidak punya organ tubuh yang aktif kan." Ed duduk di ujung tempat tidur Elva. "Tapi bagaimana bisa memiliki perasaan? Seperti kau dan pacarmu."

Elva memutar kursinya menghadap Ed. "Pertama dia bukan pacarku Kak."

"Tidak usah malu-malu mengatakannya padaku," ujar Ed.

"Aku serius!" bentak Elva.

"Hm iya, baiklah, lanjutkan." Ed melipat tangannya.

"Kedua, bangsa vampir saja bisa memiliki nafsu untuk makan, kenapa tidak dengan menanamkan perasaan pada dirinya sendiri? Aku tidak bisa menjelaskannya seperti dokter, tapi itulah kesimpulan yang setidaknya aku sendiri bisa memahaminya."

Ed mengangguk. "Itu sepertinya kalimat terpanjang yang kau katakan padaku."

Elva kembali menghadap pada bukunya, sesekali menatap jam dinding yang jarum pendeknya masih menunjukkan angka 5.

"Kenapa kau tidak ingin ayah dan aku membantu pacarmu itu?"

"Kak, dia bukan pacarku," ucap Elva, masih berhadapan dengan buku dihadapannya.

"Aku tidak tahu namanya, jadi kupanggil dia pacarmu, itu saja."

"Namanya Calvin." Ed terdiam. "Dia membunuh temanku," lanjut Elva.

Ed menatap Elva dari belakang yang sedang fokus. "Kau sedang melakukan apa?"

"Apa mungkin seseorang menyukai satu benda hari kemarin, tapi esok hari dia tidak menyukainya?"

"Selera orang sering berubah," ucap Ed, "Tapi dalam waktu sesingkat itu, aku sendiri tidak yakin, El."

Elva menatap secarik pita merah yang ada di dekat buku pelajarannya.

"Kenapa kau menanyakan itu?" tanya Ed.

Elva kemudian berdiri dari kursi belajarnya, mencari jaket dalam lemari pakaiannya. Kemudian mendekati Ed, mengecup dahi kakaknya itu.

"Terima kasih Kak Ed, tolong beritahu ibu dan ayah, aku ke rumah temanku yang disebelah," Elva bergegas menuju rumah Jeffrey.

Ed menggelengkan kepalanya, kemudian berjalan mendekati meja belajar Elva. Menatap sebentar buku yang sedari tadi Elva coreti.

"Percuma melakukannya."







ribbon.








Tidak membutuhkan waktu yang lama, Elva sudah tiba di depan gerbang kediaman keluarga Smith.

"Oh, Elva? Kau tinggal di daerah sini?"

Elva menoleh. "Oh! Kak... Galvan?"

Orang itu terkekeh. "Kenapa kau terus menyebutkan nama orang yang tidak kukenal? Namaku Galvin, bukan Calvin ataupun Galvan."

"Ah maaf kak, nama Kak Galvin mirip dengan nama temanku yang satu lagi," Elva meringis- merasa malu.

"Apa aku juga mirip?" gurau Galvin.

Elva terkekeh. "Entahlah, tapi wajah Kak Galvin mirip dengan seseorang yang kukenal, entah siapa."

Galvin mengangguk paham. "Kau tinggal di daerah sini?"

Elva mengangguk.

"Rumahmu yang mana? Ini?" tanya Galvin sambil memunjuk rumah Jeffrey.

Elva menggeleng, kemudian menunjuk rumahnya. "Itu rumahku, kalau yang ini rumah teman sekolahku, Kak."

"Seperti itu ya...." Galvin kembali menganggukkan kepalanya. "Ya sudah, aku pergi dulu ya, El. Sampai jumpa nanti!"

Galvin melambai tangannya seraya menjauh dari tempat berdiri Elva, akhir-akhir ini dirinya sering bertemu Galvin.

Elva akui Galvin adalah orang yang ramah dan sangat baik. Sudah dua kali dirinya menabrak Galvin, tapi Galvin tak pernah marah.

Oke, back to the business.

Elva merogoh kantung celananya, mencari keberadaan handphone miliknya. Begitu mendapat handphonenya, Elva mengambilnya dan mendial nomor Jeffrey.

"Halo, Jeff."

"Iya Elva?"

"Uh, aku sudah berada di depan gerbang."

"Hm? Kau merindukanku? Sekarang masih pukul-"

Elva mengakhiri sambungan teleponnya dengan Jeffrey. "Kau tidak ada bedanya dengan Galvin," gumam Elva.

Tak lama setelah itu, terlihat Jeffrey berlari menghampiri Elva- tentunya dengan membuka gerbang rumahnya terlebih dahulu.

"Kau 3 jam lebih cepat," ucap Jeffrey.

"Ya ya, aku tahu itu."

"Ada apa? Kau merin-"

Elva menatap tajam Jeffrey sebelum Jeffrey melanjutkan kalimatnya. Jeffrey terkekeh.

"Ada yang ingin ku bicarakan."

Jeffrey mengangkat satu alisnya. "Apa itu?"

"Soal ini." Elva menunjukkan pita berwarna merah yang biasa ia gunakan sebagai ikat rambutnya.

Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang