32. Pilihan

86 12 11
                                    

Rumah Jeffrey memang tidak beda jauh besarnya dengan rumah milik Elva. Hanya saja, Elva yang baru melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah itu, sudah dapat menilai kalau interior rumah ini terasa mewah.

"Kau sendirian?" tanya Elva, menatap sekitar rumah Jeffrey dengan kagum.

"Tidak, tapi ayahku sedang diluar."

Elva mengangguk. "Jadi ada apa dengan pita yang kau pegang itu?"

Elva kembali sadar dengan tujuan utamanya datang lebih awal ke rumah Jeffrey.

"Apakah kita bisa duduk?" tanya Elva.

"Tentu saja bisa, kau ini." Jeffrey terkekeh. "Kau mau duduk di ruang tamu atau dikamarku?"

"Untuk apa ke kamarmu kalau aku hanya ingin duduk." Elva menatap sinis Jeffrey.

"Jangan berpikiran aneh-aneh, aku hanya menawarkan karena kamarku mungkin lebih nyaman bagimu," jelas Jeffrey.

"Disini saja," ucap Elva lalu mendaratkan pantatnya pada sofa yang terletak di ruang tamu.

"Jadi, ada apa?"

"Ini." Elva menunjukkan pita yang ia bawa tadi. "Kau sendiri yang mengatakan jika aku memakai ikat rambut, akan lebih baik."

Jeffrey mengangguk- tapi merasa sedikit bingung. "Lalu?"

"Calvin."

"Langsung saja jelaskan, aku tidak mengerti apa yang ingin kau bicarakan," ucap Jeffrey yang mulai gemas.

"Saat aku pindah kesini, dihari pertama saat aku dan keluargaku mengatur barang, dia datang. Aku sedang marah padanya, jadi aku hanya mengabaikannya saja."

Elva menatap pita yang ia pegang sebentar, lalu melanjutkan ucapannya. "Tentu saja aku juga berusaha untuk mengusirnya dan itu berhasil. Tapi, ada yang aneh," Elva berhenti sebentar.

"Sebelum dia pergi, dia mengatakan kalau dia menyukai aku memakai pita ini alih-alih memakai ikat rambut."

"Apanya yang aneh?"

"Beberapa hari yang lalu, dia memberiku ikat rambut, sambil mengatakan kalau dia lebih suka aku memakai ikat rambut dan merasa aneh melihatku memakai pita sebagai ikat rambut."

"Bukankah itu hal yang wajar?"

Elva memejamkan matanya dan menyandarkan diri pada sofa empuk itu. Entah kenapa, pikirannya sedang kacau.

Mungkin ia belum mengatakan hal ini, tapi dirinya masih yakin bahwa Galvan hidup. Mayat itu, entah bagaimana menjelaskannya.

Elva membuka matanya perlahan, melihat Jeffrey yang sedang menatapnya penuh arti.

"Apa?"

"Tidak apa-apa, hanya saja yang Calvin bilang padaku sepertinya benar."

Elva menaikkan satu alisnya. "Maksudmu?"

"Kau cantik."

Elva berdecih dan kembali memejamkan matanya. "Kau ini kenapa sih," gumam Elva namun masih bisa didengar Jeffrey.

"Kau mirip ibuku."

Elva membuka satu matanya- matanya yang disebelah kiri. Kemudian menatap Jeffrey yang sedang menunduk sambil tersenyum.

"Terkadang aku berpikir, kenapa aku harus lahir dikeluarga ini? Smith, sekumpulan orang tidak waras."

Elva kembali membuka kedua matanya. "Kau ini kenapa?" tanya Elva lagi.

"Ti-tidak apa-apa, aku hanya merindukan ibuku," suara Jeffrey terdengar lebih parau dari biasanya.

Hal itu membuat Elva mendekatinya. "Kau baik-baik saja?" tanya Elva.

"Ibumu memangnya kemana? Perlu kutelepon?"

Jeffrey menggeleng. "Percuma, dia sudah meninggal."

Elva dengan ragu mengusap punggung Jeffrey pelan, berusaha menenangkan pemuda bermarga Smith itu.

Mungkin setelah ini image Jeffrey yang selama ini terlihat cool akan rusak didepan Elva, tapi Jeffrey tidak peduli.

"It's okay to cry," ucap Elva.

Jeffrey beberapa kali mengusap wajahnya, baru pertama kali Elva menyaksikan Jeffrey dengan keadaan seperti ini.

"Apa kau menyuruhku datang untuk ini? Kau kesepian?"

Jeffrey tidak menjawab.

"Elva," sahut Jeffrey.

"Iya?"

"Pegang ini."

Elva kaget, baru saja Jeffrey memintanya untuk memegang benda tajam itu, sebuah pisau.

"Jeffrey, kau baik-baik saja?"

"Pegang."

Perlahan tangan Elva yang penuh ragu memegang benda tajam itu, Jeffrey juga ikut memegangnya dengan menggunakan kedua tangannya.

Jeffrey mengangkat kepalanya, menatap Elva. Kedua pemuda dengan mata merah itu saling menatap.

"Aku mencintaimu," ucap Jeffrey tanpa suara.

Daritadi Elva berkata didalam hatinya, berharap apa yang ia lihat dalam mimpinya tidak terjadi.

Ia harap kalimat yang ia dengar dalam mimpinya tidak terucap-

"Kuberi kau pilihan." Jeffrey mengeratkan pegangannya. "Kau tancapkan itu padaku atau aku yang menancapkannya padamu."

Kali ini, Elva tidak tau bagaimana cara menghindari pertanyaan ini. Ia pikir mimpinya tidak akan menjadi kenyataan kembali.

Elva menggeleng. "Jeffrey, ini bukan satu-satunya cara untuk bertemu dengan ibumu."

"Kuanggap kau ingin membuatku menjadi anggota keluarga Smith dengan resmi."

Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang