06. Sepeda

170 23 0
                                    

"Kau tunggu disini. Aku akan ke rumah terlebih dahulu untuk mengambil kotak P3K." Anak laki-laki itu bersuara kemudian lari menuju rumahnya.

Sedangkan yang perempuan hanya mengangguk. Walaupun luka di kakinya terasa sedikit perih.

Semua berawal dari Elva yang meminta tolong kepada tetangga sekaligus sahabatnya itu untuk mengajarkannya bagaimana cara mengendarai sepeda.

Ya, pada awalnya Elva memang bisa. Tapi tidak lama ada mobil yang lewat sehingga mengharuskan Elva untuk rem mendadak dan terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan sepedanya.

"H-hai," sapa anak laki-laki itu kepada Elva.

Elva mendongak, mengira itu Calvin. "Kau tidak apa-apa?" tanya anak laki-laki itu.

Elva enggan untuk menjawab pertanyaan dari orang 'asing' itu dan lebih memilih memalingkan wajahnya.

"Aku bukan orang jahat," ucap anak itu seolah bisa membaca pikiran Elva.

"Kau temannya Calvin kan?" Elva kembali menatap anak itu karena menyebut nama Calvin.

Kalau dilihat-lihat, dia anak yang baik. Elva mengangguk pelan.

"Mau ku obati lukamu?" tanya anak itu, "ah, sebelum itu. Perkenalkan, namaku Galvan."

"E-elva," balas Elva menunduk.

"Elva, mau ku obati lukanya tidak?"

Elva menganggukkan kepalanya.

Perlahan tangan Galvan meraih lutut Elva yang terluka, Elva sempat berpikir Galvan ini hanya bercanda.

Tapi tak lama Galvan mengeluarkan plester dari kantongnya dan menempelkannya pada luka Elva.

"Nah! Sini, aku bantu kau berdiri." Galvan mengulurkan tangannya.

Perlahan Elva menerima uluran tangan Galvan. "Um, terima kasih Kak G-alvan."

Galvan membalasnya dengan senyuman. "Iya, sama-sama."

"Elva bagaimana- siapa... dia?" tanya Calvin setelah kembali dari rumahnya membawa kotak P3K.

Refleks Calvin menyembunyikan Elva dibalik tubuhnya.

"Oh, hai Calvin," sapa Galvan dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

"Tau darimana namaku?" tanya Calvin dengan nada ketus.

Calvin menatap anak laki-laki di depannya itu dengan tatapan tidak suka.

Galvan terkekeh. "Kita sekelas, bodoh."

"Kau bukan dari bangsa kita."

"Lalu? Apa peduliku?" ucap Galvan sedikit menunjukkan senyum miringnya, "serigala tidak seburuk apa yang kau pikirkan. Cerita legendaris yang mengatakan serigala memakan vampir hidup-hidup itu semua tidak benar."

Calvin mengambil pergelangan tangan Elva kemudian menariknya menjauh dari tempat itu.

"Kita pulang saja."

"Dadah gadis kecil," ucap Galvan dan membuat lekungan kecil di bibirnya juga matanya yang menyipit.

"Aku suka dia." Kini Elva bersuara. "Aku suka senyumannya."

"Elva-"

"Lihat. Dia menyukaiku. Kau tidak akan bisa menghindarkan dia dariku," ucap Galvan untuk terakhir kalinya sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.

"Kak Calvin, aku ingin bertemu dengannya lagi nanti."

"Kau kekurangan darah. Ayo kita segera pulang," ucap Calvin.

Calvin membawakan sepeda Elva dengan Elva yang duduk di bangkunya sedangkan Calvin yang mendorongnya.

Langit perlahan berubah warna menjadi jingga. "Kak, dia sangat imut. Aku sangat suka senyumannya."

"Berhenti membahas tentang dia, Va. Dia musuh bebuyutan kita."

"Tapi dia baik."

Calvin menghela nafasnya kasar-lebih terdengar mencoba untuk menahan emosinya. Calvin tidak membalas Elva lagi.

"Aku ingin satu sekolah dengan Kak Calvin."

"Umurmu belum cukup untuk bersekolah di sekolahku."

"Vampir hidup beratus-ratusan tahun. Untuk apa mencocokkan umur dan sekolah kita," ujar Elva.

"Baiklah, kali ini kau menang."

"Assa!" seru Elva, "bayar aku kalau begitu kak."

"Hey! Tidak semua kemenangan diberi hadiah dengan uang! Kau betul-betul harus belajar dengan baik."

Elva cemberut. "Eung, baiklah baiklah."

Calvin mencubit pipi Elva. "Jangan cemberut seperti itu. Aku tidak suka."

"Ish! Kak Calvin banyak maunya!"

Calvin hanya terkekeh melihat Elva yang mulai kesal dengan dirinya.

Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang