25. Aku mencintainya

93 13 24
                                    

"Caramu mengetesku itu sangat buruk," Elva meneguk minuman berwarna merah itu, "Karena seburuk itu, aku hampir percaya sepenuhnya."

Sora melirik Alex yang masih tenang mendengar ocehan Elva.



"Berkhianat seperti apa?" tanya Elva dengan ragu.

"Elva! Jangan dengarkan dia!"

"Yang beresiko untuk menghilangkan nyawamu?" ucap Alex, "Seperti, menjadi pengikutku- atau lebih tepatnya bangsaku?"

Elva berpikir sejenak, resiko ini sangat besar. Selain beresiko membuat dirinya mati total, bisa saja dia akan diasingkan oleh keluarganya.

Tapi Galvan. Ya, Elva bisa bertemu Galvan.

"Kuterima keinginanmu," ucap Elva.

"Elva!" tegur Sora.

Alex bertepuk tangan dan tersenyum, "Sebegitu inginnya kau bertemu dengan dia?"

Elva mengangguk. "Baiklah, kau akan kubantu."

Sora menatap tajam Alex.

"Dan soal berkhianat itu, jangan kau pikirkan. Aku hanya mengetesmu."

Elva yang tadinya menunduk, mendongak kaget.

"Kau.." Elva terdiam, "Kenapa bisa kau begitu kejam? Tes? Kau bilang itu tes?"

Alex hanya tersenyum dan Sora masih saja menatap Alex dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.


Sora berbisik pada Alex, "Kau tidak benar-benar akan melakukannya kan?"

Alex melirik pada Sora, mengangkat kedua bahunya.

"Lihat saja nanti, Sor."




ribbon.





"Kau tidak merindukanku?"

Elva mengangkat satu alisnya. "Kita baru saja bertemu tadi malam?"

"Tapi aku merindukanmu setiap hari," ujar Calvin, entah itu gombalan atau candaan.

Elva memutar bola matanya. "Bagaimana pertemuanmu dengannya?"

Calvin bertanya pada Elva yang membaca buku pelajarannya- pelajaran yang tadi dikeluarkan oleh guru mata pelajaran itu sendiri.

"Dengan siapa?"

"Teman Galvan."

Elva melirik Calvin dari ujung matanya. "Dia bukan teman Galvan."

"Tidakkah kau mengerti?" Elva menoleh pada Calvin. "Kau- Ah, bagaimana aku tau namanya Elvampire, maksudku, aku tidak mengetahui namanya," ucap Calvin cukup kesal.

"Tak akan kuberi tahu," Calvin melongo- kesal, "Aku mencurigaimu untuk sementara waktu."

"W-wah, liat anak ini," Calvin memperhatikan Elva yang fokus pada bukunya. "Dengan alasan apa kau mulai mencurigaiku?"

"Banyak."

"Kau tidak mempercayaiku?" tanya Calvin yang tidak percaya dengan ucapan Elva.

Elva mengangguk.

"Bahkan setelah aku mengatakan aku akan membantumu mencarinya?"

"Calvin, berisik."

"Elva, aku juga mencarinya, kenapa kau tidak percaya padaku?"

"Karena fotonya yang kau punya saat itu," ucap Elva.

"Foto apa? Elva... aku tidak pernah bertemu dengannya bertahun-tahun."

"Ah, sudahlah, kau menganggu konsentrasiku."

Elva berdiri dari bangku taman sekolahnya itu. "Tunggu sebentar!" Calvin menahan tangan Elva.

"Kau duduk du-"

"Hey Elva!"

Calvin dan Elva menoleh ke sumber suara.

"Cela!"

"Rachella?"

Kini Calvin dan Elva saling bertatapan. "Kau mengenalnya?" tanya Elva.

"Teman kelasku."

"Aku mencarimu dikel- eh, Calvin?" ucap Cela saat sadar dengan keberadaan Calvin.

Cela menatap lengan Elva yang dipegang Calvin. "Kalian... berpacaran ya?" goda Cela.

"Tidak!"

"Iya."

"Jaga omonganmu ya Tuan Anderson!" bentak Elva.

"Baiklah Nona Anderson," ucap Calvin sambil mengedipkan satu matanya.

Sebuah tinjuan mendarat di lengan Calvin. "Aduh! Pukulanmu kuat juga Nona Anderson," ucapnya kemudian berlari menjauh sebelum Elva menyerangnya kembali.

Elva menatap kepergian Calvin. "Awas saja dia."

Cela yang sedari tadi bingung dengan keadaan sekitarnya bertanya, "Kalian ada hubungan apa?"

"Hubungan antara orang waras dan orang tidak waras," jawab Elva masih dengan emosi yang meluap.

Cela terkekeh mendengar jawaban Elva.

"Ada perlu apa sampai kau mencariku, Cel?" tanya Elva yang kini mulai tenang.

"Tidak ada apa-apa, hanya ingin bertemu denganmu," ujar Cela dengan senyum. "Ah El, kamu dekat dengan Calvin kan?" tanya Cela.

Elva mengangguk. "Kenapa?"

Cela menarik Elva mendekat, lalu membisikkan satu kalimat di telinganya, "Aku suka dia."

Elva menoleh ke arah Cela, "Dia? Calvin?"

Cela menganggukkan kepalanya dengan penuh antusias. "Suka padanya?"

Cela terkekeh dan tersenyum malu-malu.

"A-ah, begitu...." Elva tersenyum kikuk. "Akan k-kubantu."

Cela tersenyum bahagia. "Benarkah?" tanya Cela antusias.

Cela memeluk Elva dengan erat. Elva juga tidak tau dirinya harus merasa bahagia karena teman kecilnya akan mempunyai pacar atau merasa sedih, dengan alasan yang dirinya sendiri ia tidak ketahui.

Cela melepaskan pelukannya dan mengucapkan terima kasih pada Elva, yang dibalas dengan senyuman tentunya.

"Bagaimana dengan kau, El? Apa kau sedang menyukai orang di sekolah kita? Aku hampir mengenal semua orang di sekolah ini, jadi aku bisa membantumu!"

"Hah? O-oh, tidak, aku sedang tidak menyukai seseorang."

"Baiklah, tapi nanti jika menyukai seseorang dari sekolah ini, bilang ke aku ya!" ujar Cela dengan semangat.


































"Apa semua berjalan sesuai rencana?" tanya laki-laki dengan badan yang bugar itu.

Asistennya mengangguk. "Semuanya sudah ku urus dengan baik."

"Make them suffer tonight, shall we?"

Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang