28. [Special Chapter] Loving Can Hurt

102 15 2
                                    

Bacanya pelan-pelan dan sambil dengar lagu Ed Sheeran - Photograph ya? Bisa dengar lewat mulmed juga!















"Kau ingin permen kapas itu?"

Elva mengangguk lemah.

"Kenapa kau murung seperti itu? Akan kubelikan jika kau bicara," ujar Galvan.

"Tapi kan, tidak bisa..."

Galvan tersenyum, memasukkan jari-jarinya di sela-sela jari tangan Elva. Menariknya menuju gerobak penjual permen kapas itu.

"Permen kapasnya satu kak," ucap Galvan pada gadis yang menjual permen kapasnya itu.

Sudah satu bulan terlewatkan semenjak Calvin meninggalkan Elva. Kepergiannya tidak meninggalkan ucapan selamat tinggal kepada Elva.

Kabar Calvin pergipun yang memberi tahu adalah Galvan. Cerita bagaimana mereka menjadi akrab lumayan panjang, akan diceritakan nanti.

"Nih." Galvan menyodorkan permen kapas itu pada Elva.

Kemudian Galvan memberikan penjual itu uang untuk membayar permen kapas yang dibelinya, tidak lupa mengucapkan terima kasih.

Elva menatap kosong permen kapasnya, dia tidak bisa melakukan apa-apa dengan makanan manis didepannya itu.

Galvan menarik satu gumpalan kecil dari permen itu lalu menaruhnya pada hidung Elva.

Galvan tertawa puas, eye smile itu muncul tentunya. Perlahan senyuman Elva mengembang begitu melihat eye smile milik Galvan.

"Oh! Kau tersenyum!" Galvan menunjuk mulut Elva yang tersenyum. "Kau tak harus memakannya, bersenang-senang dengan permen ini juga bisa."

"Kak Galvan mirip siapa? Ayah atau Ibu?"

"Pertanyaanmu random sekali," ucap Galvan, "Aku lebih mirip dengan Ibuku."

"Apa dia memiliki mata kecil sepertimu?"

Galvan menambahkan permen kapas itu pada hidung Elva. "Hmmm, mungkin?"

"Ih jangan ditambah terus dong Kak! Hidungku jadi gatal!" Elva kemudian memindahkan permen kapas itu pada hidung Galvan.

"Nakal juga Elva kecil ini!"

Galvan mengambil lagi segumpal permen kapas lalu menaruhnya pada rambut Elva.

"Kak Galvan!" Elva memegang kepalanya. "Tuh kan, rambutku jadi lengket!"

Galvan menjulurkan lidahnya. "Elva pendek, kau tidak akan menggapai puncak kepalaku."

Elva kesal, berjalan sedikit lebih cepat daripada Galvan.

Galvan menahan pergelangan tangan Elva. "Mau cepat bagaimanapun kau berjalan, aku akan mendapatmu."

"Kak Galvan ngeselin!" ucap Elva.

Galvan terkekeh.

"Aku lebih suka Kak Calvin!"

Eye smile itu tak lama memudar. "Ah, maaf. Mungkin aku tidak sebaik Calvin," ucap Galvan dengan senyuman yang terlihat terpaksa.

Elva mengangkat kepalanya, sadar dirinya mengatakan kalimat yang salah.

"B-bukan begitu, kak."

Galvan tersenyum. "Tidak apa-apa, aku yakin kau merindukannya kan."

Elva menunduk. Menggelengkan kepalanya. "Tidak usah berbohong, kau ini masih kecil sudah pandai berbohong."

Galvan menggelengkan kepalanya. "Sudah, jangan menangis," ucapnya sambil menarik Elva ke dalam pelukannya.

Don't leave me in all this pain
Don't leave me out in the rain
Come back and bring back my smile
Come and take these tears away
I need your arms to hold me now
The nights are so unkind
Bring back those nights when I held you beside me

Seorang penyanyi di taman itu dengan lancar menyanyikan lagu milik Toni Braxton dengan akustik.

Galvan menoleh ke arah penyanyi itu, sambil menepuk punggung Elva untuk menenangkannya.

"Kau ingin berfoto?" tanya Galvan.

Un-break my heart
Say you'll love me again
Undo this hurt you caused
When you walked out the door
And walked out of my life
Un-cry these tears
I cried so many nights
Un-break my heart
My heart

Elva menggeleng. "Mukaku pasti bengkak, nanti jelek."

Galvan terkekeh. "Tetap cantik kok."

Mereka melepaskan pelukannya, Galvan mengambil kamera polaroid dari tas punggung kecilnya.

"Ayo bergaya El," ujar Galvan.

"Eung, jelekkk."

"Sudahku katakan, kau ini cantik."

"Satu... dua..." Galvan dan Elva membuat v-sign.

"Tiga."

"Fotonya dibuang saja nanti, aku jelek banget itu kak."

Galvan mengangguk mengiyakan. Tidak ada niat sama sekali untuk membuang foto itu.

Matanya tidak bisa lepas dari foto itu. "Jangan diliat terusss," ujar Elva.

























"Besok Kak Galvan kesini lagi ya!" sahutnya.

Aku tersenyum, mengangguk dan melambaikan tanganku padanya.

Sebelum benar-benar pergi dari rumahnya, aku menatap foto yang kuambil bersamanya 12 tahun yang lalu.

Aku tidak tahu, itu adalah hari terakhirku untuk melihatnya, entah dengan wajah yang tersenyum atau apapun itu.



























Aku tidak tahu, itu adalah hari terakhirku untuk melihatnya, entah dengan wajah yang tersenyum atau apapun itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

I never imagine that I'll never get to meet you again.
( © on the photo // tanggalnya diabaikan saja ya hehe, bukan teori kok hehe )


a/n : part akhir yang udah ngga pakai italic itu, udah ganti jadi sudut pandangnya Galvan beberapa tahun sebelum dia pergi.

Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang