23. Pembunuh Berantai

87 12 10
                                    

"Ada apa?"

"Kemarin kau belum menjawab, ingin membantuku atau tidak?"

"Sudah kunyatakan di perkenalan, aku tidak suka berhubungan dengan bangsamu."

Ya, itu adalah Alex.

"Kau tidak peduli dengan temanmu? Maksudku, dengan bangsamu sendiri?"

"Itu hanya membuang-buang waktuku."

Alex pergi meninggalkan Elva diatap sekolah itu seorang diri. "Meminta bantuan padanya, tidak akan membantumu sama sekali."

Elva menoleh kesamping dan belakangnya- mencari keberadaan suara itu.

"Aku disini," ucapnya tepat di hadapan Elva.

"Calvin? Kupikir kau tidak datang?" tanya Elva, kaget dengan orang- ralat, vampir dihadapannya ini.

Calvin menarik benda yang mengikat rambut Elva. "Kenapa pakai pita? Pakai ikat rambut El kalau mau ikat rambut," ucap Calvin yang kemudian memberikannya ikat rambut dari pergelangan tangannya.

Elva terdiam saat ikat rambut itu sudah diberikan tepat di telapak tangannya. "Bukankah kau menyukai... ini?"

"Menyukai apa?" tanya Calvin, "Kau menggunakan pita sebagai ikat rambut? Kapan aku mengatakannya?"

"Aku suka ikat rambutmu."

Elva mengingat jelas momen itu. Sebulan yang lalu saat keluarganya baru saja pindah ke kota ini.

Calvin mengatakan itu padanya sebelum dirinya menghilang- Calvin mengatakan bahwa ia suka pada ikat rambut milik Elva yang jelas-jelas itu adalah pita.

"B-bukankah..." Calvin menunggu perkataan Elva, tapi berakhir Elva berkata, "Ah tidak, lupakan saja.

"Kupikir kau tidak akan datang lagi?" ucap Elva penuh dengan sarkasme.

"Aku tidak datang ke rumahmu, bukan tidak datang ke sekolah bodoh," ucap Calvin, "Juga, maafkan perkataanku kemarin malam, aku tidak bermaksud membuatmu.. Err, tersinggung?"

"Hah? O-oh, tidak apa-apa."

"Kau sedang memikirkan sesuatu?"

Elva menggeleng. "Ah sepertinya bel masuk sebentar lagi berbunyi, aku duluan."

Elva berjalan menjauh. Bohong jika Elva tidak sedang memikirkan sesuatu, dia memikirkan perihal-

"Jangan lupa ikat rambutmu, aku yang kepanasan melihatnya terurai," sahut Calvin.

Ya, memikirkan pita dan ikat rambut itu. Itu Calvin, jelas jelas Calvin yang datang saat itu.






ribbon.






"Benar-benar tidak ingin membantuku?" bisik Elva pada teman dihadapannya.

Sedaritadi Elva sudah berbicara dengan Alex saat jam pelajaran dimulai, namun tidak di gubris sama sekali oleh Alex.

"Kumohon, Al, bantu aku se-"

"Bisakah kau tidak mengangguku mencatat?"

Refleks semua mata kepala teman sekelas Elva menoleh mengarah mereka berdua- termasuk Jeffrey. Tidak lupa dengan guru mereka yang sedang mengajar sekarang.

"Elva, Alex, apa yang kalian bicarakan di kelasku?"

Kini umpatan tidak berhenti keluar dari dalam hati Elva, kenapa berbicara dengan suara yang besar sih??

"Jika tidak tertarik dengan mata pelajaran yang sedang ku ajarkan, kalian bisa keluar."

"Tidak Bu, Elva terus mengusikku sedari tadi, jadi aku menegurnya," ujar Alex dengan santai.

Elva melongo mendengar jawaban Alex, dia benar benar membenci bangsa vampir? sebegitu bencinya?

Kini guru itu menatap Elva tajam, "Apakah benar kau mengganggu Alex sedari tadi?" tanya guru itu kepada Elva.

Elva menutup matanya dalam, berpikir sejenak, "Iya-"

"Ah maaf Bu, aku lah yang menyuruhnya untuk menganggu Alex."

Kini semua mata memandang Jeffrey. Ya, Jeffrey lah yang mengatakan kalimat tadi.

Mata Bu Harley sekarang menatap mereka bertiga secara bergantian, "Sudahlah, kalian bertiga keluar sekarang, jangan masuk jam pelajaran saya untuk hari ini!"

Elva kemudian menatap Jeffrey yang terlihat biasa saja, kemudian menatap Alex yang sedikit membanting barangnya dan keluar dari kelas.

Elva merasa tidak enak karena sudah mengeluarkan dua orang tidak bersalah itu di jam pelajaran.

Saat sudah keluar dari kelas, Elva berlari mengejar Alex, namun pergelangannya ditahan.

"Mau kemana?"

"Mau kemana?"

Elva mengernyitkan dahinya, heran dengan kenapa ada dua suara berat yang di dengarkannya.

Elva menoleh, berpikir hanya ada Jeffrey disitu, namun ternyata ada Calvin juga. Dalam hati Elva hanya memohon mereka berdua untuk tidak bertengkar seperti pertama kalinya bertemu.

Setelah menatap mereka berdua, Elva membalikkan badannya. "Kau kenapa bisa ada disini?" tanya Elva kepada Calvin.

Dapat Elva lihat diujung matanya, Jeffrey sedang tersenyum meremehkan.

Calvin yang mendengarkan suara meremehkan Jeffrey, menoleh kearah Jeffrey.

"Kau yang sedang apa disini?" Calvin menatap sinis Jeffrey. "Bersama pembunuh ini?"

Elva seketika menginjak kaki Calvin dengan keras dan melotot kepadanya.

"Cih, dengar ya Tuan Calvin, walaupun keluargaku dicap pembunuh, aku tidak pernah membunuh orang," ujar Jeffrey, "Atau perlu kubunuh kau malam ini? Lumayan, setidaknya aku akan dianggap sebagai keluarga Smith secara resmi."

"Maaf Tuan Pembunuh, tapi aku sibuk malam ini," balas Calvin, "Tapi coba saja datang, aku tidak melarangmu."

Elva menatap mereka berdua bergantian. "Bilang saja kau takut padaku, kan?" ucap Jeffrey.

"Apa aku salah dengar? Untuk apa aku takut dengan seorang pecundang?"

Oh ini dia, mereka akan adu mulut. Dengan cara Elva melerai mereka tidak akan mampu membuat mereka berhenti.

"Huh, daripada melihat kalian bertengkar, aku pergi dulu!"

Elva kemudian berlari menjauh dari kedua laki-laki sebangsanya itu.

"Elva kau ingin kemana?" sahut Calvin.

Tapi tidak dihiraukan oleh Elva yang berlari untuk mencari Alex. Entah sudah berapa jauh Elva berlari, tapi dirinya belum menemukan keberadaan Alex.

"Mencariku?"

Elva menoleh ke kanannya, akhirnya dapat juga batin Elva.

Tapi melihat Alex tidak sendirian membuat satu alis Elva terangkat.

Elva mendongak, mencari nama ruangan yang dimasuki kedua orang itu.

Perpustakaan.

"Sebegitu inginnya kau mencari temanmu?" tanya Alex, memegang satu buku tebal.

Elva sedikit menyipitkan matanya untuk membaca judul dari buku tersebut, Vampire Serial Killer.




















"Kau tau? Aku sedikit khawatir perihal temanku dan temanmu itu," ucap Alex tersenyum namun masih membaca buku itu.

Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang