03. Rahasia

249 46 2
                                    

"Beritahu Kak Calvin atau tidak ya." Elva sedari tadi berjalan mondar-mandir.

Kejadian Galvan-datang-ke-rumah-Elva-di-tengah-malam membuatnya bingung harus memberitahukan perihal itu kepada Calvin atau tidak.

Tapi bagaimanapun, Calvin bersahabat dengan Galvan. Hal seperti itu, harusnya Calvin sudah mengetahuinya kan?

Tapi, ah, mungkin banyak tapi-tapian, tetapi ini penting. Kalau memang Calvin sudah tahu, seharusnya Calvin memberitahukan kabar Galvan sudah kembali dari kepergian dalam jangka waktu yang lamanya itu.

"Elva! Calvin ada di depan!" teriak Ibunya.

Entah hanya perasaan Elva, tapi semenjak Calvin yang berkunjung Ibu selalu senang. Bahkan mengurus Calvin dengan sangat baik.

Berbeda saat Galvan yang datang. Yang ada Ibunya malah mencampakkan Galvan terang-terangan.

"Tunggu, aku akan segera ke depan!"

Mungkin sebaiknya Elva mengatakannya. Dirinya tak ingin terbawa pusing, mana tahukan Galvan memang sudah kembali.






ribbon







Kamar Elva kini dipenuhi dengan suara tawa pria dihadapannya- ralat, bahkan sekarang sudah tertawa sambil terbaring di tempat tidur miliknya.

"Kakkkk! Apa yang lucu sih??" tanya Elva gemas.

Memangnya apa yang salah dengan ceritaku tentang Kak Galvan yang datang berkunjung di tengah malam? pikir Elva.

"Sepertinya kau benar-benar merindukannya?" Calvin mengusap air yang keluar dari matanya sebab tertawa terlalu keras. "Aku dengar, bangsa vampir yang terlalu merindukan seseorang, orang itu akan terbawa ke mimpinya."

Tak.

Elva memukul lengan Calvin. "Omong kosong apa itu? Huh?!"

"Hey! Kau itu benar-benar bangsa vampir atau tidak sih? Bahkan fakta soal vampir itu kau tidak mengetahuinya?"

Wajah Elva jelas menunjukkan wajah bingung.

"HAHAHA- eh, kau tidak mengetahui soal itu?" tanya Calvin.

Elva mengangguk. "Ternyata banyak hal yang orang tuamu sembunyikan tentang fakta vampir," lanjut Calvin.

"Eh?"

"Ah, tidak. Lupakan saja. Bukan aku yang berhak memberitahumu, biarkan orang tuamu saja nanti," ucap Calvin lalu mengambil handphonenya dan memainkannya.

Awalnya Elva tidak memerdulikan sifat Calvin yang selalu sibuk dengan handphonenya. Tapi ayolah, bukannya dia berkunjung ke rumah Elva setiap hari untuk menemani Elva yang kesepian karena kepergian Galvan.

Tak lama setelah menatap lama Calvin yang sibuk dengan benda adiktif itu, sebuah ide cemerlang muncul dikepala Elva.

"Beritahu soal itu... atau...."

Calvin mendongak. "Atau apa?"

Dengan gerakan cepat, Elva mengambil handphone milik pria dihapadannya ini.

"Hey!" Calvin berusaha mengambil hpnya dari tangan Elva.

"Ada apa sih dengan handphone Kak Calvin? Kakak terlihat sangat sibuk memainkan handphone kalau datang ke rumah ku."

Elva menatap layar handphone-yang untungnya tak terkunci-itu dengan susah payah karena perlu terus mengangkat benda itu agar tidak dicapai oleh pemiliknya.

"Berikan padaku!"

Setelah membaca sekilas layar handphone Calvin, tubuh Elva otomatis menjadi lemas. Kalian pasti tau apa yang terjadi selanjutnya.

Posisi mereka kini sangatlah canggung. Dengan Calvin diatas Elva yang tertidur di kasur.

Elva menatap Calvin kosong. Elva tertawa hambar awalnya, tak lama air matanya perlahan keluar.

Melihat Elva menangis, Calvin bangkit dari posisi canggung itu. "Kau... kenapa menangis?"

Tangan Calvin meraih puncuk kepala Elva tapi Elva segera menghindarkan kepalanya dari tangan Calvin.

"Elva... kau kenapa?"

Elva memukul bahu Calvin terus-menerus sambil terisak. Tapi belum ada sepotong katapun keluar dari mulutnya.

"Elva...." Calvin terus memanggil Elva walaupun Elva terus memukul bahunya.

"Kak Calvin b-bohong, hiks."

Calvin menghela nafasnya pelan.

"Kenapa Kak Calvin me-mengurung Kak G-galvan? Hah? Hiks."

Walau wajah Calvin terlihat bingung, mau tidak mau rahasia itu akan terbongkar tanpa kemauan siapapun.

Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang