33. Shadowhunter

84 12 0
                                    

“Elva.”

“Elva?”

“Elva!”

Elva membuka kedua matanya.

“Kau baik-baik saja?”

Itu Jeffrey. Elva yang tadinya berbaring, refleks terbangun dan menatap Jeffrey.

“Kau... Sebentar, ini dimana?” tanya Elva.

“Kamarku. Maaf, kupikir kau lelah dan tidurmu sangat lelap, jadi kubawa kau ke kamarku.”

“Sekarang sudah pukul berapa?” tanya Elva lagi.

“Pukul 8 malam,” jawab Jeffrey, “Sorry, I can’t offer you a drink.”

Elva mengangguk paham. Walau sama-sama bangsa vampir, tapi Elva tau darah yang diminum oleh keluarga Smith berbeda dengan bangsa yang lain.

“Tadi aku tidur jam berapa, Jeff?”

“Entahlah, setelah membahas tentang pita tidak jelas itu, kau memejamkan mata dan tidak lama kemudian, ya tidur dengan pulas.”

Elva mengangkat satu alisnya— heran sekaligus bingung. Bagaimana dengan kejadian yang ia mimpikan itu?

“Kau... tidak melakukan apa-apa kan.”

Jeffrey tertawa. “Kau ini ada-ada saja, El.”

“Kau tidak bergegas pulang?” tanya Jeffrey setelah puas tertawa.

“Ah iya.”

Baru saja Elva ingin beranjak dari tempat tidur Jeffrey, ia mengingat sesuatu. “Jeff, kau tidak ingin mengatakan sesuatu? Kan kau yang mengundangku untuk datang kerumahmu?”

“Lain kali saja, aku khawatir jika orang tuamu mencari.”

“Apakah kau ingin berbicara soal ibumu?” tanya Elva dengan ragu-ragu— atau bisa juga untuk memastikan.

Jeffrey yang baru saja ingin keluar dari kamarnya, menoleh begitu mendengar pertanyaan Elva.

“Tahu darimana?”

Dapat disimpulkan, mungkin lebih baik Elva pulang atau kejadian di mimpi dalam mimpinya terjadi.

“Kau vampir kan, El?” tanya Jeffrey, menatap Elva dengan curiga.

“Tentu saja aku vampir! Kau kira aku ini apa?”

Shadowhunter.”






ribbon.





“Kau darimana saja?”

Baru saja Elva memutar kenop pintunya, sang kakak angkat bertanya.

“Sudah ku katakan, aku mendatangi rumah temanku, kak.”

“Kenapa lama sekali? Laki-laki atau perempuan?”

Elva berbalik, menatap Ed yang tiba-tiba menjadi orang yang sangat ingin tahu— kepo.

“Aku lelah, ingin beristirahat dulu, Kak.”

“Baiklah, Nona Elva dipersilahkan untuk beristirahat,” ucap Ed dengan suara yang dimirip-miripkan dengan suara pengawal.

Elva terkekeh melihat Ed yang mungkin berusaha untuk menghiburnya. Setelah itu Elva memasuki kamarnya dan menyalakan lampu.

Padahal sudah tidur dengan nyenyak dirumah Jeffrey, Elva menghempaskan dirinya pada kasur tidurnya yang lumayan empuk itu.

Shadowhunter,” gumam Elva.

Mengingat kata itu, seperti terdengar sangat familiar di telinga Elva. Calvin sibuk dengan tuntutannya, siapa lagi yang harus ditanyakan perihal itu?

“Alex....” pikir Elva.

Tidak suka menunda waktu, Elva mengambil handphonenya dan menelepon Alex.

Seperti yang dipikirkan, laki-laki dengan hati dingin itu tidak menjawab telepon dari Elva.

Mungkin kembali ke dunia mimpi akan lebih baik. Besok ia masih bisa bertemu dengan Alex.






















“Kenapa kau begitu terobsesi dengan nyawanya?” sang asisten bertanya.

Tuan menoleh pada asistennya, tersenyum kecut. “Jangan bilang padaku kalau kau mulai peduli dengannya.”

Asistennya hanya diam.

“Setidaknya dia bisa menjadi umpanku, mereka menyanginya lebih dari apapun,” ucap Tuan pada asistennya.

“Jika kau mulai peduli padanya, kau bisa mundur, aku bisa mengerjakan ini sendiri,” lanjut Tuan.

“Sekarang dia mengenalku dan juga mengenalmu, bukankah memulai dengan menukarkannya dengan yang sekarang akan lebih baik?” tanya Tuan.


Asisten menatap Tuan. “Tidakkah itu terlalu cepat?”

Tuan kembalu terkekeh mendengar pertanyaan bodoh asistennya itu. “Eddie, 17 tahun kita bekerja sama, apakah sekarang kau akan mundur?”

Ya, asisten itu, Eddie. Orang-orang mungkin lebih familiar dengan nama yang diberikan oleh Tuan Carold— Ed Calderon.

“Apa yang membuatmu begitu khawatir, Ed?”








Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang