21. 1895 & 1897

86 14 3
                                    

“Keluarga Smith membunuh kakak angkatmu?”

Pukulan keras mendarat pada lengan Calvin. “Keluarganya bodoh, bukan kakakku!”

“Ah iya, maksudku itu. Aku sedang tidak fokus saja.” Calvin mengusap lengannya yang baru saja dipukul oleh Elva.

“Memikirkan pekerjaan sekolah?”

Calvin menggeleng. “El, kenapa tidak memanggilku dengan panggilan kak lagi?”

“Sudah tidak pantas lagi,” jawab Elva, membuat Calvin mengerutkan dahinya, “Sekarang aku dan kau seangkatan.”

Beberapa detik setelah Elva mengatakan kalimat itu, ia tertawa besar dengan nada jahat.

“Cih, memangnya kau lahir tahun berapa?”

“Eum, berapa ya....” Elva merenung sejenak. “Kalau tidak salah 1897.”

“1897? HAHAHAHAHAHAHAHAHAH umurmu baru 122 tahun?? WAH, KENAPA KAU SANGAT PERCAYA DIRI SEKALI.”

Elva menatap Calvin sinis. “Dih, kau kenapa?”

Calvin mendorong pelan kepala Elva— gemas. “Baru hidup 122 tahun saja kau sangat percaya diri begitu, aku lahir 1895, kau mau apa?”

Elva melongo. Bukan, bukan kaget karena Calvin memang lebih tua darinya. Tetapi, “Bisa bisanya seorang Calvin Anderson membanggakan umurnya didepanku yang hanya berbeda 2 tahun??!”

“Tetap saja! Aku lebih tua darimu, bocah,” ujar Calvin kini menjitak Elva— masih gemas.

“B-b-bo— apa?! Apa aku salah dengar? Kau memanggilku... BOCAH?” Emosi Elva tampak sudah meluap-luap. “Kak Eddie—”

Baru saja Elva ingin berteriak, namun mulutnya dibungkam dengan tangan kekar Calvin. Atap rumah Elva sangat gelap, tidak ada pencahayaan. Calvin mendorong Elva sampai punggung Elva menabrak tembok di belakangnya.

Elva melotot dan sedikit memberontak. Calvin menunjukkan jari telunjuknya depan bibirnya— yang terlihat samar bagi Elva karena gelap.

Walau tidak mahir dalam telepati, bagi Elva tidak ada salahnya mencoba.

Ada apa?

Calvin menoleh ke arah Elva, tampak terkejut dengan yang baru saja di dengar dalam pikirannya.

Jangan hanya melihat, aku tau, aku pintar dalam hal ini,” ucap Elva menyombongkan diri.

Calvin menggelengkan kepalanya. “Bisakah kau diam saja dulu?

Calvin mendekatkan wajahnya mengarah wajah Elva. “Kau mendengar itu?” berbisik ditelinganya.

Awalnya salah tingkah. Tidak ada salahnya kan?

Tapi setelah menghabiskan 5 detik untuk merasa salah tingkah, Elva mencerna kata-kata Calvin dan mulai menajamkan pendengarannya.

Hening.

Tidak ada yang tertangkap dalam telinga Elva, “Kaw inhi gwnaha hih?” tanya Elva masih dalam keadaan mulut yang di bungkam.

“Kau tidak mendengarkannya?” bisik Calvin.

Elva menggeleng-geleng. Karena mulutnya sudah cukup lama di bungkam, Elva menggigit telapak tangan Calvin yang menutup mulutnya.

Calvin refleks menarik tangannya dan meringis pelan. “Kenapa digigit?!”

“Kau yang kenapa?” balas Elva.

Calvin meniup-niup telapak tangannya yang barusan digigit oleh Elva— lebih tepatnya, menggunakan gigi taring Elva.

“Kau benar-benar tidak mendengarkan sesuatu barusan?” tanya Calvin sambil mengipaskan tangannya ke udara, namun jawaban Elva adalah gelengan. “Sudah berapa lama belajar tentang telepati itu?” tanya Calvin lagi.

“Sekitar 7 bulan? Aku tidak tertarik dengan telepati, jadi hanya bisa dasarnya,” jelas Elva, “Memangnya kenapa?”

“Kau tidak mendengar sesuatu?”

Elva menggeleng.

“Ini aneh,” gumam Calvin.

“Ada apa sih? Tadi tiba-tiba membungkam mulutku terus didorong lagi sampai tabrak tembok,” ucap Elva dengan emosi.

“Kau benar-benar tidak mendengarkannya?”

“Perlu berapa kali lagi aku mengatakannya? 5 kali? 10 kali? 125 kali?” geram Elva.

Calvin mengibaskan tangannya. “Sudahlah, lupakan saja.”

Elva melongo— emosi. “Daritadi kau menanyakan ini itu, pada akhirnya bilang ‘lupakan saja’?!”

“A-aku pulang dulu.”

Calvin berbalik badan dan memiringkan kepalanya— seperti sedang berpikir. “Padahal belum selesai cerita, cih,” gerutu Elva.

Sebelum benar-benar pergi dari atap rumah Elva, Calvin berhenti sejenak. “Mungkin besok aku tidak datang dulu seperti biasa,”

“Mau kemana?” tanya Elva.

“Tak perlu kau ketahui karena ini tidak penting.” Calvin melanjutkan jalannya menjauh.

“Kalau tidak penting, kenapa harus pergi?” tanya Elva yang mulai terdengar sarkas, “Apa perlu bertemu dengan Galvan?”

Calvin berhenti. Sedikit menoleh ke arah belakang, menunjukkan senyum miringnya— walau hanya terlihat setengah dan samar bagi Elva, “Bukankah memberikanku kepercayaanmu untuk sekarang, akan terbayar dengan kubawa Galvan kembali padamu— atau mari kita katakan, ke pelukanmu?”

Seketika tenggorokan Elva terasa kering. Kalimat itu mampu membuat mulutnya bungkam.

“Kita mungkin beda 2 tahun, El. Tapi biar kuberi tahu satu hal, banyak hal yang belum kau ketahui seberapa jahatnya dunia sekarang.”

Dengan itu, Calvin menghilang dari hadapan Elva. Meninggalkan Elva yang benar-benar speechless.

Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang