Setelah guru keluar dari kelas, Elva masih diam ditempat duduknya. Menunggu Calvin menjawab teleponnya.
"Kantin?" tanya Jeffrey yang tiba-tiba datang padanya.
"Mau apa di sana? Tidak ada makanan ataupun minuman yang bisa kita cerna," jawab Elva.
"Bagaimana kalau taman?" ajak Jeffrey.
Elva mengangguk saja dan berjalan mengikuti Jeffrey dengan mata yang masih terfokus dengan layar handphone miliknya.
"Telepon siapa sih? Sampai hampir menabrak orang beberapa kali."
Jeffrey yang berjalan di samping Elva sudah menyelamatkannya beberapa kali dari tabrakan orang-orang.
"Kepo."
Jeffrey menggelengkan kepalanya.
"Nah sudah sampai."
"Simpan dulu handphonemu anak muda." Jeffrey menurunkan handphone Elva dari depan mukanya.
"Ish, jangan ganggu dulu, Jeff."
"Kalau ikat rambut tuh pakainya ikat rambut juga lah." Jeffrey memberikan Elva ikat rambut yang ia simpan di pergelangan tangannya. "Ini kok pakainya pita. Memangnya kau masih dalam masa orientasi siswa?"
Melihat Elva yang masih fokus dengan handphonennya, Jeffrey melepas ikatan pita yang digunakan Elva pada rambutnya.
"Kok dilepas?!" protes Elva.
"Ini, pakainya ikat rambut saja. Sekarang bukan masa orientasi siswa, kau tidak perlu memakai pita sebagai ikat rambutmu." Jeffrey memberikan ulang ikat rambut yang ia miliki.
"Tapi bilang-bilang juga kalau mau dilepas," ujar Elva kesal. Sementara lawan bicaranya hanya menggeleng- sabar.
"Elva!"
Elva yang sedang mengenakan ikat rambutnya menjadi gagal karena tangannya ditarik oleh orang yang baru saja menyahutkan namanya.
"Ini sia-" Mulut Elva seketika bungkam begitu menatap orang yang mengusiknya memakai ikat rambut. "Kok bisa ada... disini...." ucap Elva ketika menoleh untuk mengecek orang itu.
"Siapa dia?" orang itu menarik Elva kedalam dekapannya lalu menunjuk Jeffrey, sementara yang ditunjuk hanya tersenyum.
"Jeffrey Valentine Smith, teman sekelas Elva."
"Smith?" Orang itu kembali menatap Elva.
"Kau berani berteman dengan keluarga Smith?" tanya orang itu pada Elva.
"Bukankah tidak sopan mengabaikan perkenalan orang yang baru kau temui?" ucap Jeffrey dengan sarkas, "atau setidaknya, bisakah kau perkenalkan dirimu juga?"
Orang itu berdecih. "Calvin Anderson."
"Aku baru mendengar nama itu. Kau anak baru?" tanya Jeffrey, "sepertinya iya, wah kebetulan sekali. Elva juga anak baru disekolah ini."
Calvin masih saja menatap Jeffrey dengan tatapan tidak suka.
"Sepertinya kalian sudah pernah bertemu sebelumnya? Atau... memang sudah dekat?" tanya Jeffrey begitu melihat seberapa dekatnya mereka berdua.
"Pentingkah bagimu untuk mengetahui hal itu?"
"Eum...." Jeffrey seolah-olah berpikir dulu. "Tentu, aku perlu mengetahuinya."
"Ya, aku teman dekatnya Elva, puas?" ujar Calvin yang setiap katanya ia tegaskan, "kami sangaaaaatlah dekat."
Elva mendongak melihat tingkah Calvin yang seperti anak kecil. Wah, dimana sifat coolnya jika berada didepanku, tanya Elva dalam hati.
"Huh." Jeffrey bersuara dengan nada yang meremehkan. "Baiklah tuan Calvin, tapi aku ingin meminjam Elva."
"Meminjam? Kau pikir dia barang?"
"Aduh, kali-"
"Cih, sesulit itukah kau membiarkannya dulu bersamaku? Kau hanya teman dekatnya." Jeffrey maupun Calvin mulai emosi, bahkan Elva seperti dilupakan disitu.
"Tapi aku lah orang yang lebih duluan ingin bertemu dengannya," ucap Calvin yang dipenuhi dengan amarah.
"Kau bahkan bukan pacarnya, untuk apa kau marah-marah?"
Calvin terdiam sebentar. Memang benar. Dirinya bukan siapa-siapanya Elva, mereka hanya sebatas teman dekat. Ya, teman dekat.
Elva menatap air muka Calvin yang seketika menjadi murung. Kepalanya menunduk. Elva merasa tidak enak dengan Calvin kalau begini.
"A-anu, aku ingin menemui temanku. Jika kalian membutuhkanku, masih ada waktu saat pulang sekolah nanti."
"Bagaimana dengan kita pulang bersama-sama?" tawar Jeffrey.
Calvin seketika mengangkat kepalanya dan menatap Jeffrey dengan tatapan tajam. Elva yang melihat itu menghela nafasnya.
"Akan kupikirkan. Aku ingin pergi ke suatu tempat terlebih dahulu." Elva lekas pergi dari tempat itu.
Suasana disana sungguh sesak bagi diri Elva- walaupun dirinya tidak membutuhkan oksigen. Karena pertengkaran kecil mereka, Elva sampai lupa bertanya perihal bagaimana Calvin bisa ada disekolah ini bersamanya, mengenakan baju seragam yang sama pula?
Akan lebih baik jika Elva menenangkan dirinya dengan menatap langit biru yang cerah di atap sekolah. "Bertemu dengan Rachel mungkin juga ide yang bagus," gumam Elva.
"Bagaimana kondisinya?" tanya orang itu sambil menatap orang yang berbaring dibalik kaca bening itu.
"Dia, belum sadarkan diri," ucap asistennya yang berdiri tepat di samping orang itu.
"Biarkan dia merasakan penderitaanku selama beberapa tahun terakhir." Orang itu tersenyum miring dan kembali membuka suara, "Kalau sudah sadar, berikan dia makanan."
"Baik," asistennya membungkukkan sedikit badannya dan menatap atasannya pergi meninggalkan tempat yang bercat warna putih itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ribbon ✓
Fantasy❝Don't trust anyone. Just, don't.❞ Pita sebuah benda yang disukainya. Bukan benda utama, tapi menjadi benda petunjuk dari segalanya. yesoryves, january 2019.