13. Werewolf

135 20 4
                                    

Setelah bel pulang berbunyi, Elva dan Rachel berjanji untuk bertemu di rooftop. Lebih tepatnya, mereka masih ingin bercerita lebih banyak tentang diri masing-masing.

Elva membuka pintu atap sekolah itu, mendapatkan Rachel sedang mengobrol dengan seorang pria. Entah siapa itu, tapi Elva yakin orang itu sebangsa dengannya- Elva dapat merasakan aura orang itu dari jauh.

Elva berjalan lebih dekat menuju Rachel berdiri- yang Rachel belum sadar kalau temannya sudah sampai.

"Sejak kapan?"

Mungkin itu yang Elva dapat dengar dari pria itu, sebelum Rachel mendapatnya sudah berdiri dibelakang pria itu.

"Elva! Sudah dari tadi?" sapa Rachel yang membuat pria itu setengah menoleh namun dengan segera menghilang dari situ.

"Aku kira, cuma kita berdua yang berbeda," ucap Elva, menyatakan pendapatnya, "itu tadi vampir juga kan?"

"Duduk dulu yuk!" ajak Rachel duduk di bangku yang sudah tak terpakai itu.

Elva duduk dengan menyilangkan kakinya dan berhadapan dengan Rachel- yang juga duduk bersilang seperti dirinya.

"Sebenarnya, sudah banyak dari kita yang berpindah dan tinggal di kota. Aku juga sudah lama tinggal disini, tapi terus mengulang sekolahku karena menurutku hanya disini aku bisa mendapatkan kebahagiaan."

Elva mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Tapi, tebakanku benar kan? Yang tadi itu vampir."

"Well, as you can see dia bisa menghilang seperti kita kan."

Rachel tersenyum. "Sudah dari tadi datangnya?"

"Tidak juga sih." Elva menggaruk tengkuk lehernya- merasa canggung. "Aku tidak punya cerita menarik... mungkin kau yang ingin berbagi?"

Rachel tampak berpikir sejenak. Walaupun tidak mengambil waktu yang cukup lama Elva merasa digantung dengan gelengan kepala Rachel.

"Oh!" Tiba-tiba Rachel bersuara.

"Kau tahu? Disini ada bangsa werewolf juga, tapi aku lupa namanya. Well, aku juga belum pernah saling sapa, hanya melewatinya kalau bertemu di koridor." Rachel tampak menikmati dirinya menceritakan tentang musuh bangsanya.

"Dia tinggi dan memiliki tatapan mata yang tajam."

Oh? Sebentar. Sepertinya Elva mengenal ciri-ciri itu. "Sepertinya... aku pernah melihatnya?"

Rachel tertawa. "Ey, mana mungkin. Dia jarang keluar dari kelasnya, kau saja El saat istirahat kan main bersamaku. Kapan coba kau bisa berpapasan dengannya."

"Rambutnya berwarna hitam kan?"

"Kau pikir disekolah ini cuma ada satu orang yang warna rambutnya hitam? Banyak El!"

"Tidak! Aku sangat yakin yang kau maksud itu, aku pernah bertemu dengannya!" ujar Elva. "Huh, aku harus bertemu dengannya nanti," gumam Elva.

"Hey! Kau ingin melakukan apa bertemu dengan bangsa itu? Kau sudah pernah belajar sejarahnya kan? Kau mau cari mati?!" bentak Rachel, tidak setuju dengan gumaman Elva.

"Kita kan... memang sudah mati."

"Y-ya, setidaknya... Setidaknya bertemu dengan mereka itu jauh lebih berbahaya!" Larang Rachel dengan suara tingginya.

"Tenang saja, aku sudah berpengalaman Chel." Elva sebelumnya tidak tahu apa yang akan terjadi pada pikirannya, tapi begitu mengatakannya- Elva teringat kembali pada Galvan.

Galvan. Galvan. Misteri kembali, yang dulunya Elva ingin melupakannya, kini kembalilah kepada dirinya yang penasaran.

Kemana lagi sosok Galvan yang sering mengetuk kaca jendela kamarnya di tengah malam. Membahasnya, membuat Elva teringat akan temannya Galvan- Calvin.

"Chel, eum... aku pulang duluan ya? Ada hal yang perlu aku kerjakan," pamit Elva yang turun dari bangku itu dan mendaratkan kakinya pada semen.

"Tapi serius deh, El. Kau tidak perlu bertemu dengan dia, bahaya buat dirimu sendiri," nasihat Rachel sebelum Elva benar-benar meninggalkan atap sekolah itu.

Elva tersenyum mendengar larangan Rachel. "Aku bisa jaga diri kok, Chel. Tenang saja," ucapnya diakhiri dengan cengiran khas.

Begitu Elva meninggalkan Rachel sendirian di atap sekolah, dia meruguh saku roknya dan mencari dimana benda persegi panjang itu berada.

Setelah mendapatkannya, layar kunci itu ia buka dengan sandi lalu membuka kontak yang ada dalam ponselnya. Mencari satu nama sampai menekan namanya dan menekan lagi ikon telepon disitu.

Nomor yang ia telepon terus berdering. Namun, segera ia matikan. Dirinya harus berpikir dua kali soal ini. Elva tidak ingin melakukan kesalahan yang pastinya ia sendiri ingin hindari.

Padahal jika saja Elva tidak memutuskan deringan itu, bisa saja Calvin menjawab yang sudah menekan tombol hijau di layar handphone.

Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang