Maaf part ini agak gaje huhu, maaf jg lateup, happy reading!!
Galvan menghela nafasnya begitu melihat sobekan kertas yang dipegang Calvin bukanlah sobekan kertas yang ia miliki.
"Ada sesuatu?" tanya Galvan menyembunyikan rasa leganya.
Calvin menggelengkan kepalanya begitu mebalik-balikkan kertas itu. "Kosong."
Galvan pun mengangguk tenang. "Mungkin karena angin," ujarnya agar Calvin tidak curiga dengan kegelisahannya tadi.
"Ya... itu bisa menjadi kemungkinan," balas Calvin setuju, kemudian kembali berucap, "sepertinya Ed sudah berhari-hari tidak berkunjung ke rumah ini."
"Benarkah? Saat aku datang, pintu rumah ini tidak terkunci sama sekali."
Calvin menaikkan kedua bahunya masa bodoh. "Kalau memang ada pencuri, yang disalahkan juga pasti Ed kan? Hahahahaha."
Galvan mengangguk dan ikut tertawa bersama Calvin.
"Aku pergi, Cal. Aku ada urusan."
Urusan tentang sobekan kertas itu.
ribbon
"Kau sedang apa sebenarnya? Tidak pernah berkunjung selama bertahun-tahun, saat kembali malah membuat kamar Ibu berantakan begini... Ckckck."
"Tidak perlu menganggapku ada, abaikan saja aku." Mata Galvan masih sibuk menggali dokumen keluarganya dibantu dengan tangannya.
Ya, dia sedang berada di rumahnya. Rumah yang ia tinggali dengan Ayah dan Ibunya. Saat masuk, malah terlihat seperti perampok yang membongkar barang Ibunya.
"Aduh Galvan... Kau kenapa sih, Nak. Ibu akan memasak makanan kesukaanmu, kalau sudah ketemu barangnya, semuanya dirapihin lalu ke dapur ya! Jangan main kabur saja seperti dulu!" tegas Ibu Galvan dan keluar dari kamarnya.
Cara mendeskripsikan betapa berantakan kamar Ibu Galvan, kertas-kertas dan juga map yang disimpan di dalam brangkas itu sudah berserakan dimana-mana.
Setelah melihat baik-baik sobekan kertas yang ia punya, bukannya pergi menginterogasi Calvin, di pikirannya hanya mencari dokumen keluarganya.
Dirinya sendiri tidak paham kenapa malah berjalan mengarah rumahnya. Semua barang-barang penting keluarganya sudah ia bongkar dan hasilnya nihil.
Nihil karena apa? Dari semua berkas yang ia bongkar, tidak ada yang ia dapat sesuai dengan perasaannya. Mengandalkan perasaan memang bukan hal yang baik, tapi kali ini hatinya 100% sedang tidak bermain-main.
Setelah itu ia keluar dari kamar Ibunya. "Ibu, aku pergi dulu!" teriaknya.
"Kamar Ibu sudah dirapihkan? Ini makannnya sebentar lagi sudah masak!" balas Ibunya.
Sayangnya, Galvan yang tidak ingin lupa dengan tujuannya mengabaikan teriakan Ibunya.
Kakinya yang tidak begitu panjang ataupun pendek terus berjalan. Berjalan entah mengarah kemana.
"Menyerah saja."
Langkahan kakinya terhenti. Suara itu kembali muncul- melainkan kali ini terdengar sedikit tidak asing di telinganya.
"Cobalah untuk datang ke daerah yang terlarang. Sedikit bantuan untuk adik kecil ini mungkin akan lebih baik bukan?"
Galvan mengeratkan kepalan tangannya. Tentu saja ia merasa dirinya dipermainkan. Dirinya seakan-akan sedang dikontrol.
Ingatlah, Galvan. Semua untuk Elva. Semua untuknya, pikir Galvan berusaha mengontrol dirinya.
Kakinya melangkah menuju daerah terlarang yang terlintas dalam pikirannya. Dulu itu daerah terlarang baginya, tetapi menjadi tempat dimana dia bertemu si gadis kecil itu.
Semua tatapan mata mengarah padanya. Beberapa dari mereka berbisik. Galvan tentunya merasa tidak perlu merasa terusik. Fokusnya hanya ada pada satu hal penting.
"Galavano Alaistor?" tanya perempuan dengan mata berwarna merah dihadapannya itu.
Galvan mengangguk. Begitu tiba di tempat yang tepat, dirinya mencari data tentang dirinya sendiri.
"Ibumu Ariel Johnson?" tanya perempuan itu kembali. Galvan mengangguk sebagai jawaban.
"Oh, bukannya dia anak kedua dari Ariel?" gumam perempuan itu, namun masih dapat terdengar di telinga Galvan.
"Maaf?"
"Ah, maafkan saya. Apakah boleh saya tahu kapan anda lahir?"
"1895."
Perempuan itu kemudian mengangguk paham- tetapi berbeda dengan ekspresi wajahnya. "Ada perlu apa dengan data ini?"
"Ah itu..." Galvan berpikir sejenak, "untuk Ibuku. Ya, untuk Ibuku! Dia memerlukannya."
"Baiklah."
Perempuan itu kemudian memberikan data keluarga Grey pada Galvan. "Mungkin ini sedikit tidak masuk akal, bolehkah aku bertanya?" tahan perempuan itu.
"Um, tentu saja...."
"Bagaimana keadaan Ibumu?"
"Dia... Baik... Baik... Saja?" jawab Galvan.
"Ah seperti itu. Terima kasih sudah menjawabnya. Semoga harimu menyenangkan."
Galvan membalas senyum perempuan itu lalu keluar dari gedung besar ini. Perkataan perempuan itu tentu tidak akan hilang dari pikiran Galvan.
Walaupun dengan suara kecil, pendengaran Galvan tentu saja sangat baik. Ia yakin tidak salah dengar.
Anak kedua?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ribbon ✓
Fantasy❝Don't trust anyone. Just, don't.❞ Pita sebuah benda yang disukainya. Bukan benda utama, tapi menjadi benda petunjuk dari segalanya. yesoryves, january 2019.