04. Kepercayaan dan Kebingungan

223 39 0
                                    

Lagi. Lagi. Elva mengurung diri. Sama seperti kejadian dimana Galvan pergi 'meninggalkannya'. Kenapa saja semua ini harus berhubungan dengan satu orang? Kenapa harus Galvan.

Ding!

Sekarang entah dering ke-berapa kali, handphone Elva berbunyi. Pesan dari Calvin tampaknya non-stop untuk terus masuk. Menatap nama itu dilayar handphonenya, membuatnya sangat enggan untuk menyentuh benda itu.

"Elva."

Samar-samar Elva mendengarkan namanya dipanggil. Di malam hari? Siapa yang akan menemuinya di malam hari? Sudah pasti, itu suara laki-laki. Tapi, ayahnya bahkan sedang keluar kota.

"Elva, buka jendelanya." Elva menoleh ke arah jendela kamarnya.

Suaranya terdengar familiar. Berjalan beberapa langkah ke jendelanya, tidak akan membuatnya begitu lelah kan?

Semua yang akan menghilangkan rasa penasaran tidak akan membuat diri lelah.

"Hai, hehe," sapanya pada Elva.

"Demi darah murni, kalau ini mimpi. Bangunkan aku sekarang juga."

Pria yang sama dengan beberapa hari lalu, tersenyum padanya.

"Rindu tidak?"

"Kak Galvan, aku sangat rindu tentunya."




ribbon





"Elva, mau berjalan-jalan ke taman?" bujuk Calvin sambil memegang bahu Elva.

Elva menggeleng dengan posisi menunduk. Sungguh, Elva sangat tidak ingin melihat wajah Calvin sekarang. Walaupun ada rasa rindu, sedikit.

Calvin menghela nafasnya kasar. "Kenapa kau enggan untuk menatap wajahku sih? Apa kau sebegitu sayangnya dengan Galvan dan sebenci itu padaku?"

"Kapan kau sadar?" tanya Calvin.

Elva tertegun. Sadar? Dalam hal apa?

Lama-lama Elva akan menjadi gila jika berhadapan dengan kedua lelaki ini. Sungguh.

"El-" Kalimat Calvin terpotong dengan nada dering handphonenya berbunyi.

"Aku keluar sebentar. Aku akan menunggumu diluar, bahkan sampai kapanpun aku akan tetap menunggumu. Aku tak akan pulang ke rumah."

Setelah itu, Elva mendengar suara langkahan kaki semakin lama semakin samar-samar ditelinganya.

Elva mengangkat kepalanya perlahan. Memastikan Calvin sudah pergi dari kamar tidurnya.

Elva meraih handphonenya di nakas samping tempat tidurnya. Mungkin itu akan merubah pikirannya, untuk berteman kembali dengan Calvin.

Elva membuka pesan suara yang dikirimkan Calvin semalam.

"Elva, aku sungguh minta maaf. Aku janji akan memberitahumu semua tentang ini, suatu saat. Pasti."

Elva berdecih mendengar pesan suara itu. "Saat aku berkata aku sudah bertemu dengan Galvan, pantas saja kau tertawa. Elva bodoh," ucap Elva pada dirinya sendiri.

Elva menekan pesan suara selanjutnya. "Apa kau benar-benar, berpikir hari pertama kita bertemu itu seminggu yang lalu?"

Penasaran. Elva menekan pesan suara yang ketiga. "Aku ada di depan rumahmu. Sepertinya besok akan turun salju pertama, disini sangat dingin." Pesan suara itu berakhir dengan kekehan laki-laki itu.

Eung?

Elva mengecek handphonenya jam berapa Calvin mengirim pesan ketiga itu.

10.58 PM.

Eh? Itu berbeda beberapa menit sebelum kedatangan 'Galvan' semalam.

Ah, masih ada pesan suara terakhir.

"Elva... Pita... Hahaha." Suara Calvin terdengar bergetar juga sangat parau.

Calvin benar-benar menunggunya semalaman. Bahkan tadi dia belum mengganti bajunya sejak kemarin? Oh, kalau begini Elva akan merasa bersalah.

Oke. Mungkin ini hal yang tidak seharusnya Elva ketahui sebelum Calvin siap memberitahunya. Baiklah, mari kita beri Calvin waktu untuk menjelaskan tentang Galvan.

Berbicara soal Galvan, semalam. Itu terjadi lagi. Elva yakin ini bukan mimpi. Itu terlihat sangat nyata.

Tapi yang Elva lihat tempo hari di handphone Calvin itu juga nyata. Sebenarnya-

"Elva...." Pintu kamar Elva terbuka lebar.

Menampakkan seorang pria dengan nafas tidak beraturan. Rambut berantakan. Baju, yang tampak belum pernah diganti.

"Kak... Galvan."

Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang