14. Aku Merindukanmu, Kau?

120 18 18
                                    

Gadis itu terus berjalan dengan pola yang sama. Berbolak-balik didepan tempat tidurnya ditemani dengan ponselnya yang terus bergetar.

Dirinya sungguh menyesal telah memencet tombol hijau itu siang tadi. "Argh! Elva bodoh, bodoh, bodoh!"

Ponselnya tidak ingin berhenti berbunyi sedari tadi. Kenapa harus selalu labil akan suatu hal seperti ini?

Elva menghela nafasnya. Getaran itu tidak akan berhenti kecuali dirinya sendiri akan mengangkat telepon itu dengan segera.

Walau sudah mengangkatnya, Elva tidak ingin duluan yang menyapa ataupun bicara sebelum penelepon itu yang memulai.

"Halo? Ada apa?"

Suaranya. Sial, aku merindukan suara itu.

"Elva? Kau, tidak apa-apa kan?"

"Suaramu berubah."

"Huh?"

"Kau.. sibuk?"

"Sangat aneh mendengarmu memanggilku tanpa awalan 'kak' lagi, hahaha. Ada apa? Kau rindu padaku?" tanyanya dengan nada yang sangat pede.

"Ingin kubunuh?"

"Eyyy, tidak mungkin semudah itu membunuh orang yang kau cintai."

"Kumatikan ya!" ucap Elva kesal dan langsung memencet tombol akhiri panggilan itu.

Sejak kapan dia menjadi semenyebalkan itu? Aku? Rindu padanya? Huh, omong ko-

"Elva."

Itu suara Ibu Elva.

Elva menatap pintu kamarnya itu. "Ada apa?"

"Keluar dulu, ada yang ingin ibu dan ayah bicarakan."

Elva kemudian membuka pintu itu dan langsung bertatap mata dengan ibunya. Senyum yang ada di wajah Ibunya itu, mempunyai maksud. Elva yakin itu.

"Turunlah, ibu dan ayah ingin memperlihatkanmu sesuatu."

Elva menaikkan satu alisnya. "Ulang tahunku sudah lewat."

Ibunya hanya terkekeh dan memberikan instruksi untuk segera turun dari kamarnya itu. Elva menurut saja dan turun menuju lantai bawah- dimana ruang keluarga terletak.

Elva menatap punggung ibunya yang menuntun menuju ruang keluarga.

"Duduklah."

Baru saja Elva ingin mendaratkan pantatnya pada sofa empuk itu, dihadapannya ada seorang pria- masih muda tapi sepertinya agak lebih tua dari Elva.

Pria itu mengangkat kepalanya dan memberi senyum yang manis kepada Elva. Elva menatap mata pria itu.

"Kenapa ada manusia disini?"

Pertanyaan Elva yang to the point itu membuat ayahnya membuka mulut perihal pria itu. "Dia sekretaris ayah dikantor. Dia orang yang sangat ayah percaya dan sudah bekerja dengan ayah semenjak masuk ke perusahaan tempat ayah kerja. Dia, yatim piatu."

Elva menatap pria itu sekali lagi. "Lalu?"

"Ayah mengadopsinya. Jadi sekarang dia adalah kakakmu," ucap ayah Elva dengan menepuk punggung pria itu, "namanya Ed Calderon."

Pria itu- Ed memberikan uluran tangannya untuk berjabat tangan Dengan Elva. "Ed Calderon, panggil Ed saja."

"Elva Cordelia, panggilnya terserah." Elva menerima uluran tangan itu dan memberikan senyumnya- lebih tepatnya, tampak seperti senyum yang sangat canggung.




ribbon.





Selesai dengan perkenalan kakak barunya itu, Elva bergegas naik menuju kamarnya. Terkadang Elva bingung dengan jalan pikiran keluarganya, kenapa bisa Ed diterima dengan senang hati masuk ke dalam lingkup keluarga Elva, sedangkan Galvan saja sangat dibenci.

Membahas soal Galvan, Elva mengecek ponselnya sekali lagi. Banyak panggilan tidak terjawab- dari Calvin. Setelah notifikasi panggilan tidak terjawab itu, dibawahnya ada pesan yang belum dibaca.

Cal
taman kota.

Elva mengambil jaketnya kemudian berpamitan kepada ibunya untuk keluar sebentar, bertemu dengan teman katanya.

Letak taman kota dengan rumah Elva tidak begitu jauh, cukup membutuhkan waktu 5 menit untuk berjalan kaki.

Elva merapatkan jaketnya, udara diluar ternyata sangat dingin. Bahkan kulitnya yang sudah dingin itu, masih dapat merasakan betapa dinginnya suhu dimalam hari ini.

Sesampainya ditaman kota- yang ternyata sangat sepi, Elva melihat tubuh pria yang cukup kekar melambaikan tangannya kepada Elva. Elva menggelengkan kepalanya dan berjalan menuju tempat Calvin berdiri.

"Woah, kau tambah tinggi juga rupanya." Calvin menatap Elva dari atas sampai kebawah lalu menatap kembali ke wajah Elva.

"Langsung saja ke intinya, tak perlu basa-basi." Elva merapatkan jaketnya lagi.

"Kebiasaanmu perlu dihilangkan," ujar Calvin yang terdengar tak masuk akal.

Elva memiringkan kepalanya- bingung.

Calvin menggeleng-gelengkan kepalanya dan memasangkan mantelnya kepada Elva. "Sudah tahu sekarang musim dingin, masih saja pakai jaket tipis," ucap Calvin tepat dihadapan wajah Elva.

Elva diam ditempat. "Hei, aku tahu sekarang itu dingin. Tapi jangan sampai membeku juga," lanjut Calvin.

Elva menatap manik mata merah milik Calvin. "Darimana saja, hm? Kenapa tidak menghubungiku selama 3 bulan?"

Elva masih saja diam ditempatnya.

Udara yang sangat dingin itu berubah menjadi hangat. Tepatnya, pada saat kedua bibir itu menyatu.









"Aku merindukanmu, El. Sangat," ucap Calvin dengan nada suara yang rendah, "tapi aku tahu, kau menghubungiku bukan karena aku, kan?"

Ribbon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang