10

32.6K 1.5K 33
                                    

  "Terkadang aku bingung dengan sifat kamu. Kadang manis, kadang asem."
----

Adel masih setia duduk di kursinya. Padahal bel istirahat sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Alasannya, Lia tidak datang karena sakit, ia trauma untuk keluar kelas seorang diri. Dia lebih baik menahan lapar dari pada menjadi korban singa-singa lapar.

Pintu kelasnya terbuka lebar. Dengan malas, Adel menoleh. Dia terkejut saat seseorang berbadan tinggi berdiri di ambang pintu dengan seragam yang sudah acak-acakan. Adel tertegun beberapa detik melihat Bagas dengan gaya angkuhnya masuk ke kelasnya dan membuat keributan para kaum hawa.

"Bagas? Ngapain ke sini?" tanya Adel bingung. Dia langsung berdiri dari kursinya.

Bagas tidak menyahut. Di berjalan mendekat ke arahnya diikuti kedua temannya.

"Tuan putri, maukah kamu ikut dengan kami ke kantin?" celutuk Jaka sambil membungkukkan tubuhnya.

Adel menggaruk pelipisnya. Dia merasa bingung pada ketiga sejoli ini. "Kalian kenapa, sih?"

"Aelah! Sekarang lo mau nggak, ikut kita ke kantin, sebagai permintaan maaf Bagas sama lo. Gitu aja bingung," ujar Imam geregetan. Tangannya mengepal gemas.

Bagas tidak juga membuka suara. Dia sedari tadi berdeham dan batuk-batuk yang terdengar malah di buat-buat.

"I-iya, boleh deh," jawabnya setuju.

Di sepanjang perjalanan menuju kantin, tidak ada pasang mata yang tidak melihat ke arah mereka. Sebenarnya Adel agak risih, tapi karena ada Bagas di sampingnya, ia sedikit lebih percaya diri.

Mereka mengambil salah satu meja dekat pedagang somay, menempati masing-masing kursi yang tersedia.

"Mau apa?" Suara Bagas mampu membuat sekujur tubuh Adel meremang. Dia melirik laki-laki jangkun yang sedang menatapnya itu.

"Aku somay aja deh," jawabnya pelan.

Bagas mengangguk, lalu beranjak pergi untuk memesan makanan mereka.

"Del, Del!" panggil Jaka berbisik setelah Bagas sudah tak terlihat di depan mereka.

Adel menoleh dan mengangkat alisnya pada Jaka.

"Lo masih marah sama Bagas, soal tadi malam?" tanya Jaka padanya.

Adel menggeleng cepat. "Gue udah nggak marah kok, sama Bagas. Emang kenapa?" tanyanya balik.

Jaka terlihat bernafas lega, "nggak apa-apa sih. Lo mau tau rahasia nggak?"

Adel mengernyit. "Rahasia? Apa?"

"Semalam Bagas uring-uringan, gimana cara minta maaf ke elo. Tapi kita saranin, aja ajak Adel makan di kantin. Eh, taunya dia setuju," jelas Jaka di akhiri kekehan.

Adel menanggapinya dengan kekehan juga. Diam-diam dia tersipu karena sikap Bagas yang menurutnya gentle itu. Eh, bukan gentle sih, tapi manis.

Tidak berapa lama, Bagas kembali datang sembari membawa nampan yang berisi makanan. Bagas menyodorkan somay pesanan Adel dan nasi goreng pada kedua temannya. Oke, Bagas jadi terlihat seperti pembantu sekarang.

"Makasih," kata Adel dan mulai melahap somay nya. Kebetulan ia sangat lapar, karena tadi pagi ia tidak sarapan.

Mamanya tidak ada di rumah, sementara Chindy dari tadi pagi tidak terlihat batang hidungnya. Adel tidak tau kemana cewek itu. Adel sempat bertanya pada teman-temannya, dan mereka pun juga tidak tau.

Mereka menyantap makanan mereka dengan hikmat. Jaka, orang yang biasanya tidak bisa diam, mendadak menjadi pendiam dan hanya bersuara sesekali. Imam hanya sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Bagas memang tidak bersuara dari tadi. Mereka pada kenapa, sih? Kesambet setan bisu kali, ya?

Adel mencoba membuka suara lebih dulu, tapi baru mengatakan beberapa kata, Bagas langsung menyelanya.

"Makan nggak boleh bicara," kata cowok itu.

Bibir Adel manyun. Dia bisa melihat Jaka dan Imam sedang menahan tawa walau mereka sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Adel melirik Bagas dan mencuri-curi pandang dengannya, tapi cowok itu masih saja lempeng dengan wajah datar tanpa ekspresi.

Suara keributan yang berasal dari belakang mereka sedikit mengganggu ketenangan Bagas. Dari ekor matanya, dia melirik Adel sedang memegani perut dan sesekali bersendawa. Melihat itu, Bagas tersenyum kecil.

"Lo senyum?" tanya Jaka sambil memicingkan matanya.

Bagas berdeham, "mana ada. Lo salah liat kali," sangkalnya dengan cepat.

"Enggak, enggak. Enggak mungkin gue salah liat, gue belum katarakan," keukeh Jaka.

Bagas tidak menanggapi. Dia bangkit dari duduknya dan beranjak ingin pergi. Sebelumnya, dia menoleh pada Adel yang juga sedang menatapnya. "Lo mau di sini aja, atau pergi?"

Adel gelagapan sendiri, namun mau tak mau dia ikut bangkit dan menyusul Bagas yang sudah jalan lebih dulu.

-0-0-

Adel terperangah saat melihat kamarnya sudah seperti kapal pecah. Dia menatap Chindy yang sibuk membongkar isi lemarinya. Adel tidak tau apa yang sedang di cari cewek itu sampai membuat kamarnya jadi seperti ini.

Hilang sudah kesabaran Adel. Dia menarik tangan Chindy dengan kuat sampai cewek itu hampir terjatuh.

"Kamu gila! Kenapa kamar aku jadi kayak gini?!" Mata Adel menajam menatap Chindy yang terlihat seolah tidak bersalah.

Chindy berdecak, "Bagi duit."

"Duit apa?" tanya Adel bingung.

"Duit tabungan lo lah. Uang gue udah habis," kata Chindy.

Adel menutup hidungnya saat mencium bau alkohol yang sangat menyengat yang berasal dari mulut cewek itu. Adel baru sadar, baju yang ia kenakan sekarang itu baju yang juga ia kenakan saat pergi ke konser dengan Bagas.

"Chindy, kamu minum alkohol lagi? Kamu mabuk?" tanya Adel curiga.

"Lo nggak usah ikut campur! Lo nggak tau apa-apa tentang gue!" Chindy mendorong kuat bahu Adel sampai cewek itu terjatuh di kasurnya.

Adel tidak habis pikir dengan adiknya ini. Dari dulu, sifat Chindy tidak pernah berubah. Dia selalu egois, melakukan hal semaunya tanpa ada yang boleh melarang. Chindy terdidik sebagai anak yang di manjakan, selalu di turuti kemaunya. Sampai ia menjadi gadis yang bebas tanpa kekangan. Bukan seperti dirinya, yang terus-terusan terbelenggu.

"Cepetan bagi duit lo!" desaknya.

"Aku nggak punya duit."

"Halah, bohong kan lo? Gue pernah lihat tabungan lo di lemari." Dia kembali mencoba mencari tabungan Adel yang memang sempat ia simpan di lemari. Tapi, sekarang sudah ia simpan di tempat lain.

"Chindy, aku bilang nggak ada!" Adel menarik tangannya, dan Chindy langsung menepisnya. Begitu pun seterusnya. Sampai tamparan kasar dapat Adel rasakan dari cewek itu.

Suasana mendadak hening. Adel mengerjab beberapa kali sambil menyentuh pipinya. Dia syok, dan tidak menyangka Chindy akan menamparnya. "Ups, sori nggak sengaja." Chindy tertawa seolah yang ia lakukan itu lucu.

Hati Adel semakin panas. Dia tidak bisa terus-terusan jadi boneka adiknya sendiri. Dengan keberanian, dia membentak, "Keluar! Keluar dari kamar gue sekarang!" Adel seperti kesetanan dan menekankan kata 'gue'. Dia mendorong Chindy yang masih terkejut karena bentakannya, keluar.

Adel langsung menutup pintu kamarnya dan langsung bersender di pintu itu. Tangisnya pecah. Dia merosot ke bawah, memeluk lututnya dan menenggelamkan wajahnya.

-0-0-

Updateee yuhuuuu

Jangan lupa vomment guys:)

Wiwind
Istri sah Shawn Mendes💕

Senin, 22 April 2019

Numbness (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang