Eires menjatuhkan diri dibangkunya. Ia sengaja datang lebih pagi untuk mengerjakan tugas yang belum selesai. Bersamaan dengan itu, sebuah jaket dengan tiba-tiba terlempar ke arahnya hingga membuatnya tersentak kaget. Senyumnya mengembang setelah tahu siapa yang melempar jaket itu kepadanya.
"Udah sembuh, Del? Ada apa pagi-pagi ke kelas gue? Kangen, ya?" goda Eires, masih dengan senyuman.
Adel kesal setengah mati mendapat godaan dari cowok itu. Ia menggebrak meja Eires sampai mengeluarkan suara yang terdengar cukup nyaring. "Lo belum liat itu gue, kan?"
Senyum Eires perlahan sirna, terganti dengan wajah bingung. "Liat itu? Itu apa?"
"Lo jangan pura-pura bego!"
Eires semakin kebingungan di buat Adel. "Gue emang nggak tau apa yang lo maksud 'itu'. Makanya jelasin ke gue."
Adel meremas tangannya sendiri mendengar jawaban Eires. Ia sangat kesal saat ini. Di tambah Eires seolah tidak tau apa yang dia maksud.
"Lo beneran nggak liat, kan?" Nada suara Adel kali ini memelan agar tidak terdengar yang lain. Lagian, kalau pun mereka dengar apa yang Adel katakan, mereka juga tidak akan mengerti.
Raut wajah Adel berubah menjadi seperti sedang menahan tangis. Ia menantikan jawaban Eires yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. Hingga, suara tawa nyaring Eires tiba-tiba membuat Adel mengerutkan keningnya.
"Udah paham, kan, sekarang?"
Pertanyaan Eires barusan membuat tubuhnya lemas seperti tanpa tulang. Genangan air mata yang sejak tadi ia tahan meluncur dengan mulusnya dari pelupuk matanya. Ia kesal bercampur rasa malu.
"Kenapa lo nggak bilang ke gue semalam?!"
Eires tersenyum. "Gue nggak mau lo bilang gue mesum."
"Lo udah liat apa aja?!"
Eires kali ini terkekeh. Ia paham saat ini Adel menahan rasa malu padanya. Terlihat dari wajah cewek itu yang memerah. "Jangan hujan-hujanan kalo nggak sama gue."
Ketika Adel ingin kembali membuka mulut untuk membalas ucapan cowok itu, kehadiran teman-teman kelas Eires membuatnya urung. Dengan rasa kesal yang tertahan, ia berbalik dan bergegas keluar dari kelas Eires.
-0-0-
Pulang sekolah hari ini cukup lelah bagi Adel. Pasalnya, kali ini ia harus berjalan kaki untuk sampai kerumahnya karena tertinggal bus yang biasa ia naiki. Dan lebih melelahkan lagi ketika sepanjang perjalanan ia harus membalasi ucapan-ucapan Eires yang membuatnya naik darah.
"Bisa nggak sih, lo diem sebentar?! Gue capek, tau, nggak?!"
"Bisa. Tapi setelah lo naik ke motor gue." Cowok itu menunjuk bangku belakang motornya dengan tatapan mata.
"Mau lo apa sih, Res?!"
"Mau gue lo naik, gimana?"
Adel tidak menjawab. Ia malah celingak-celinguk, bermaksud mencari seseorang yang dia kenal untuk menolongnya dari gangguan Eires. Tapi sialnya, tidak ada satupun seseorang yang Adel kenal.
"Nggak mau!" tolak Adel dengan tegas.
"Oo, lo mau dipaksa, kayak di film-film India, gitu?"
"Nggak mau lah, gila!"
"Kalo gitu, ayo naik! Gue orangnya nekat, loh." Eires menyeringai seperti om-om mesum yang sedang melihat anak remaja.
Adel bergidik ngeri melihatnya. Karena ia juga sudah lelah, akhirnya ia menerima tawaran Eires untuk ikut dengannya. "Ck! Iya, iya!"
Dengan sangat terpaksa, akhirnya Adel naik ke motor Eires dengan misuh-misuh. Tasnya ia jadikan sebagai jarak antara dirinya dan Eires. Ia hanya tidak mau hal memalukan lagi terjadi.
Sepanjang perjalanan, Eires terus bersuara. Namun, hanya beberapa yang Adel jawab karena cewek itu memang sudah benar-benar malas meladeni Eires. Tapi, di tengah-tengah perjalanan ada kalimat yang Eires ucapkan yang membuat Adel terbengong mendengarnya.
"Gue udah satu tahun ini sendiri, cape juga jadi jomblo."
Entah itu sengaja ataupun tidak, Adel benar-benar merasakan hawa panas di sekitar mereka.
"Trus? Gue harus bilang kalo lo nggak laku, gitu?"
Eires tersenyum tipis di balik helm yang ia kenakan. "Dulu, gue punya pacar. Dia baik banget sama gue." Eires menghentikan ucapannya sebentar untuk akhirnya melanjutkan ucapannya lagi. "Dia cewek yang nerima gue apa adanya. Tapi takdir berhendak lain."
"Kalian putus?" tanya Adel.
"Dia udah meninggal karena sakit."
Mendengar itu, Adel tidak tau harus berkata apa lagi. Ia pikir cowok seperti Eires ini dihidupnya hanya ada kata bahagia. Ternyata ia salah. Eires memiliki sakit hati yang paling dalam dari pada dirinya. Eires pandai menutupi kesedihnya dengan tersenyum sebagai topeng untuk menguatkan dirinya sendiri.
Setelah cukup lama keduanya saling diam, ucapan Eires lebih dulu mencairkan suasana. "Udah sampe rumah lo, Del," ucap Eires mengingatkan.
"Eh?" Adel tersadar, lalu turun dari motor cowok itu. "Makasih ya, Res. Gue masuk dulu. Bye."
Adel melangkah masuk kerumahnya di ikuti perasaan bersalah. Ia masih tak enak hati pada cerita Eires beberapa menit yang lalu.
Belum sempat memijakkan kaki di anak tangga pertama, bel rumahnya tiba-tiba berbunyi. Dengan segera ia melangkahkan kakinya kembali ke pintu utama.
Pintu sudah terbuka lebar. Namun, tidak ada sosok yang memencet belnya barusan. Adel menelan ludahnya dengan bulu kuduk yang meremang. Ia mencoba berpikir pisitif kalau yang memencet belnya tadi orang iseng yang tidak punya kerjaan. Tapi ketika ia ingin kembali masuk ke dalam, tidak sengaja kakinya menendang sesuatu.
Ia menatap lekat benda yang barusan tidak sengaja ia tendang. Sebuah kotak merah muda dengan pita besar diatasnya. Ia mengambil kotak itu dan membalik sisinya untuk mencari nama pemiliknya. Namun, hanya ada alamat rumah yang tertera di belakang kotak itu. Adel meneliti alamat rumah itu, dan benar saja. Alamat rumah itu adalah alamat rumahnya sendiri. Berarti kotak ini memang dikirimkan untuknya atau untuk Wina. Tapi siapa pengirimnya?
-0-0-
Updateee uyy
Jangan lupa vomment ya:)Wiwind❣❣❣❣
Sabtu, 27 Juli 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Numbness (selesai)
Teen FictionHighest rank : #1 in boyfriend [15 januari 2019] "Jauh-jauh dari gue!" Ia mengibas-ngibaskan tangannya, seolah mengusir. Mau tidak mau Adel menurut, ia mundur dengan senyuman yang masih mengembang. "Jauh lagi!" Adel mundur lagi. "Lagi!" "Terus, la...