14

28.9K 1.3K 23
                                    

----

Di sepanjang makan malam, Adel tak hentinya melirik Bagas di depannya. Lagi-lagi dia tak bisa menahan senyum bahagianya saat Mamanya Bagas sedari tadi menggoda putranya itu. Sesekali Adel tertawa melihat wajah kesal Bagas ketika mendapat olokan dari sang mama.

"Bagas gimana di sekolahnya, Del?" tanya Mamanya Bagas pada Adel.

"Bagas baik kok, Tan. Bagas itu orangnya terkenal loh, Tan," ucap Adel menggebu-gebu tanpa melirik cowok itu.

"Oh, ya? Tante aja nggak tau kalau Bagas itu baik," kata Mamanya Bagas sesudah meneguk air mineral di cangkirnya.

Mata Bagas tak hentinya melihat interaksi kedua perempuan di depannya. Dia memutar bola matanya ketika mendengar ucapan mamanya barusan.

"Mama apa-apaan, sih? Buat malu anaknya aja," sungut cowok itu kesal.

Mamanya Bagas tertawa. "Loh, emang bener kan? Hobi kamu tuh, buat Emil nangis aja. Sampai Emil manggil kamu tuh, abang jahat."

Adel tertawa kecil. Dia tidak lagi membuka suara, takut-takut Bagas akan marah padanya nanti.

Mereka makan dengan begitu damai. Malam ini, papanya Bagas tidak bisa ikut bergabung karena sedang berada di luar kota. Selama makan berlangsung, Emil terus mengoceh ingin minta di suapin oleh mamanya. Adrian yang paling tenang, tapi sesekali meminta mamanya untuk mengambilkan makanan karena tangannya tak sampai.

Bagas menelungkupkan sendok dan garpunya karena ia telah selesai makan. Ia bangkit dan menjauh dari ruang makan menuju ruang tengah, duduk di lantai yang beralaskan karpet dan menyalakan TV.

Sudah belasan menit berlalu. Dia mendengar suara mamanya melarang Adel yang ingin mencuci piring. Lalu, terdengar suara Adel yang meminta ingin membantu mamanya untuk mencuci piring.

Tak berselang lama, ia mendengar langkah seseorang mendekat ke arahnya. Bagas menoleh, mendapati mamanya sudah berdiri di sampingnya.

"Bagas," panggil Mamanya sedikit berbisik.

Bagas menaikkan sebelah alisnya. "Apa Ma?"

"Adel pacar kamu, ya?" tanya mama padanya.

Bagas menghela nafas gusar. Lalu menjawab seadanya, "Iya, Ma."

Wanita itu tersenyum, dan Bagas sadar itu. Dia yakin setelah ini mamanya akan bertanya lebih dalam lagi tentang hubungannya dengan Adel.

"Mama setuju. Mama setuju kamu sama Adel, daripada sama perempuan nggak jelas yang pernah kamu bawa hari itu. Siapa namanya? Chintya, ya?" Ucapan mamanya membuatnya mendengus.

"Chindy Ma..." Bagas membenarkan. "Emang kenapa sih, mama nggak setuju aku sama Chindy. Chindy kan, lebih cantik dari pada Adel," katanya tak terima saat mamanya lebih setuju dia dengan Adel.

"Cantik kalau tidak bermoral buat apa? Emang bisa didik anak kamu nanti dengan kecantikannya? Yang ada sifat anak kamu nanti tidak beda jauh dari sifat ibunya." Mamanya Bagas sudah duduk di sofa panjang sambil menatap putranya. "Untung mama langsung datang begitu denger Emil nangis, kalau enggak? Hal gila apa lagi yang akan di lakukannya sama Emil?" kata wanita itu.

Bagas membalas sembari berdecak, "ma... kan Chindy udah jujur kalau dia nggak ngapa-ngapain Emil. Kenapa harus di bahas lagi, sih?"

"Mama liat sendiri dari CCTV, kalau dia yang mukul Emil." Mamanya Bagas mulai prustasi dengannya. "Kamu kenapa belain dia sebegitunya, sih?"

Mata Bagas melebar mendengar penuturan sang mama. Apa benar yang mamanya katakan kalau Chindy yang sudah memukul adiknya?. Dia diam tidak menanggapi, dan memilih bangkit menuju dapur. Ia juga menulikan pendengaran ketika mamanya terus memanggilnya.

"Del, ayo pulang!"

-0-0-

"Dahhhh Bagas! Kirim salam sama mama kamu, ya?!" teriak Adel ketika motor Bagas sudah melaju meninggalkan pekarangan rumahnya.

Cewek itu masuk ke dalam rumah sambil meninting sepatunya. Senyumnya tak henti-hentinya mengembang saat mengingat betapa manisnya cowok itu tadi memberikan kaos padanya.

"Dari mana?"

Suara bariton seseorang yang sangat Adel kenali membuatnya menoleh. Senyumnya kembali mengembang menatap sang papa yang sudah lama ia tunggu-tunggu untuk pulang sekarang sudah berdiri di depannya. Adel berlari dan memeluk papanya dengan kerinduan yang begitu mendalam. Dia menangis di dekapan pria paruh baya itu.

Doni sangat merindukan putrinya ini. Dia memeluk Adel tak kalah erat, menyalurkan semua kerinduan yang sudah lama ia tahan.

"Gimana kabar anak papa?" Doni mengelus lembut rambut Adel. Adel hanya diam. Belum bisa berkata apa-apa. Dia masih syok dan juga bahagia.

"Papa kenapa nggak bilang kalo mau pulang?" Adel melerai pelukannya, kemudian menatap papanya. "Papa juga nggak pernah nelpon Adel."

Dony tertawa, "papa mau buat kejutan untuk kamu. Eh, taunya pas papa udah sampai dari bandara, kamu nggak ada. Dari mana, sih?" Dia mencolek hidung Adel, gemas.

"Ceritanya pannnnjangg banget, Pa," ucap Adel sembari menampilkan barisan gigi putihnya.

Doni terkekeh lagi. Dia mengacak rambut Adel. "Jadi, anak papa lagi bahagia nih, ceritanya? Karena laki-laki yang ngantar kamu tadi, ya?"

Pipi Adel memanas mendengar ucapan papanya. Adel tidak menyangka Doni melihat saat Bagas mengantarnya tadi. Dia kira, yang tau hanya dirinya, Bagas, dan Tuhan. Ternyata Doni juga melihatnya.

"Papa mau dengar lebih banyak tentang dia." Doni merangkul Adel, membawa cewek itu menuju kamarnya dan meminta Adel untuk menceritakan apa saja terjadi selama di keluar kota.

Tanpa mereka ketahui, Chindy sedang mengintip kedekatan papanya itu dengan Adel dari balik tembok. Dia mengepal tangannya kuat dengan wajah tak suka. Lagi-lagi Adel menang mengambil hati papanya. Dia benar-benar membenci Adel pada detik ini juga.

-0-0-

Lama tak update lah hehe
Maaf in aku yak:(
Jangan lupa vomment:)


Wiwind
Pacar sah Jihoon😂💜

  Rabu, 15 Mei 2019

Numbness (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang