29

22.2K 982 22
                                    

Akhirnya Adel terbangun setelah kurang lebih dua jam ia pingsan. Ia menatap sekelilingnya, namun tidak ada siapa-siapa. Ia jadi teringat kejadian tadi, bagaimana orang yang selama ini ia rindukan memeluknya erat-erat seperti tidak ingin melepasnya kembali.

Adel beralih menatap balkon kamarnya yang terbuka. Ia mendengar suara tangis yang terdengar pilu dari arah luar balkon. Dengan pelan, ia berjalan ke arah balkon dan menemukan Wina sedang duduk di kursi sambil menangis pelan.

Semakin dekat, Adel dapat mendengar jelas suara tangis Wina. Ia belum bisa percaya kalau sosok itu adalah ibu kandungnya yang selama ini membuangnya.

Tanpa sadar, Adel juga ikut terisak. Suaranya membuat Wina menoleh dan menghapus air matanya dengan kasar.

"Adel, udah bangun? Ke sini." Wina menepuk bangku di sebelahnya.

Adel menyeka air matanya, lalu menurut patuh untuk duduk di sebelah Wina.

"Adelia," ucap Wina dengan perasaan haru. "Nama yang bagus. Dulu Mama pengin kasih nama buat kamu Khansa. Tapi udah keduluan orang." Wina tertawa hingga membuat matanya menyipit.

Adel hanya diam, tidak menjawab ucapan Wina. Dia masih hanya tidak percaya kalau takdir telah mempertemukannya kembali pada sosok Ibu yang selama ini ia cari.

Wina meraih tangan Adel dan berkata, "Mama kangen banget sama kamu, sayang." Suaranya bergetar, tangan Wina mengusap rambut Adel dengan lembut.

Adel membalas tatapan Wina dengan tatapan tidak percaya, "Mama?" Kata itu masih sangat asing ia lontarkan untuk Wina, tapi mulutnya ingin terus mengatakan kata itu. Selama ini, hanya satu wanita yang ia panggil dengan sebutan itu, dan itu hanya Mila.

"Ini Mama sayang. Mama kandung kamu." Wina tak bisa lagi menahan tangisnya. Ia memeluk Adel erat-erat, tidak ingin kehilangan Adel lagi. "Mama sudah lama mencari kamu. Akhirnya Mama--"

"Kenapa Mama buang Adel? Kenapa Mama ninggalin Adel sendiri? Mama malu punya anak kayak Adel? Mama..."

"Adel." Wina semakin mengeratkan pelukannya. Ia semakin merasa bersalah pada Adel telah meninggalkannya dulu. Ia yakin setelah ini Adel akan membencinya.

"Kenapa Ma?" Suara Adel semakin parau terdengar. Isakan tangis yang tadinya kecil kini semakin hebat. Bahunya pun ikut terguncang.

Adel melepas pelukan Wina dengan paksa. Ia mundur dan berdiri. Sebelah tangannya membekap mulutnya sendiri agar tangisnya tidak kembali pecah dan dapat mengganggu tetangga.

"Adel, dengerin Mama dulu." Wina berusaha mencegah kepergian Adel. Namun, Adel berbalik dan berlari pergi meninggalkan Wina yang masih terisak.

-0-0-

Suara bel berbunyi. Bagas bergegas dari meja makan menuju pintu utama. Ia terkejut ketika membuka pintu dan mendapati Chindy sudah berdiri di depan gerbang rumahnya dengan raut wajah berbeda dari biasanya. Bagas berlari kecil dan membukakan pagar.

"Ada apa ke sini?" tanya Bagas to the point.

"Lo ngebohongin gue, kan?" sengit Chindy tiba-tiba.

Bagas mengernyit, "bohongin apa?"

"Selama ini Imam ternyata sakit, kan? Dan lo nggak bilang sama gue!"

"Terus apa hubungannya sama lo?"

"Lo jahat banget, sih, sama gue Gas! Lo nggak tau gimana khawatirnya gue saat kerumah Imam ternyata di sana nggak ada orang satu pun? Lo tega banget, sih!" Chindy terisak menceritakan bagaimana khawatirnya ia dengan keadaan Imam.

"Apa peduli lo? Lo suka sama Imam?"

Chindy terdiam. Kilatan amarahnya mulai meredup.

Bagas menggeleng sambil terkekeh sinis. "Nggak nyangka gue! Selama ini, orang yang gue suka, suka sama temen gue sendiri!"

Bagas marah. Ia marah pada dirinya sendiri karena telah percaya pada orang yang hanya mempermainkan perasaannya. Ia merasa di bohongi oleh Chindy. Sekarang ia sadar telah mencintai orang salah seperti Chindy.

"B-bagas, nggak kayak gitu. Gue-"

"Alah! Ucapan lo kali ini basi!" Bagas berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Chindy.

"Bagas, tunggu!" Chindy meraih tangan Bagas, namun dengan cepat Bagas menyentak tangannya. "Dengerin penjelasan gue dulu, gue mohon..."

"Mau jelasin apa lagi? Kekhawatiran lo sama Imam itu udah nunjukin kalo lo punya rasa lebih sama dia!"

"Oke, fine! Gue memang suka sama Imam sebelum lo suka sama gue. Gue udah lama suka sama dia, tapi perasaan gue hanya di pandang sebelah mata. Dan gue deketin lo biar gue bisa deket sama Imam. Maafin gue..."

Tangan Bagas terkepal kuat. "Jadi selama ini lo cuma jadiin gue pelampiasan, hah?!"

"Maafin gue, Bagas." Chindy memohon sambil berlutut dengan wajah penuh harap.

Deruh nafas Bagas naik turun. Wajahnya terlihat sangat kesal. Tapi ia akan merasa jadi laki-laki brengsek kalau membiarkan cewek berlutut padanya. "Gue hargain kejujuran lo!" Suara Bagas agak gemetar. Tangannya tidak lagi mengepal. Ia tidak kuasa melihat Chindy memohon sambil berlutut seperti itu. "Terus terang, gue marah karena lo mainin perasaan gue."

"G-gue ngerti, Gas," kata Chindy, mengangguk. "Dan gue terima apapun keputusan lo--"

"Gue akan berusaha maafin lo, tapi gue butuh waktu."

Chindy sudah menduga dengan jawaban Bagas. Ia tau, setelah ini Bagas akan benci padanya.

-0-0-

Tbc

Jangan lupa vomment ya:)

Wiwind❤❤

Minggu, 30 Juni 2019

Numbness (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang