30

24.4K 1K 36
                                    

Adel tidak bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Ia senang, tapi juga sedih. Bahkan, ketika dia mencoba menjelaskannya, Adel tidak tahu kata apa yang tepat untuk menggambarkannya. Cewek itu tidak menyangka ia akan di pertemukan kembali pada ibu kandungnya.

Bertemu dengan Wina adalah hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Adel sebelumnya. Ia pikir Wina betul-betul tidak menginginkannya. Tapi, ini semua di luar dugaan Adel, ternyata selama ini Wina mencarinya.

Sempat merasa benci pada sosok itu. Tapi, Adel mengerti bahwa kehidupan itu ibaratkan seperti magnet.

"Sudah siap?" Dony tiba-tiba masuk ke kamar Adel dan menghampirinya.

Adel menatap Dony dengan mata berkaca-kaca. Seiring waktu air matanya tumpah. Ia menangis, lalu bangkit dan memeluk Dony. Tangisnya semakin pecah kala Dony mengusap rambutnya.

"Papa..." sebut Adel dengan suara pilu. Ia ingin bersama Wina, tapi ia tidak ingin berpisah dengan laki-laki yang sudah membesarkannya ini.

"Anak Papa udah besar, ternyata," ucap Dony sambil menangkup wajah Adel. "Papa bangga punya anak kayak kamu. Papa yakin kamu bahagia setelah keluar dari rumah ini. Nggak ada yang akan nyakitin kamu lagi."

"Papa tahu semuanya?"

Dony tersenyum. "Tentu Papa tahu. Papa udah lihat semua perbuatan Mila dan Chindy terhadap kamu. Papa sering mantau kegiatan kalian dirumah ini dengan cctv yang Papa sembunyiin. Kenapa kamu nggak pernah jujur sama Papa, Del? Kamu sudah terlalu sering di kasari sama mereka."

Adel perlahan menunduk, tidak tahu apa yang akan ia jawab. Air matanya mengalir deras. Ia tidak menyangka selama ini Dony selalu memperhatikannya.

"Lebih baik kamu tinggal bersama Wina. Dia baik, Del. Papa yakin kamu cepat beradaptasi dengannya." Ucapan Dony membuat Adel mendongak dan menatapnya. "Mama kamu sudah menunggu di bawah. Cepat bersiap lah."

Dony keluar dari kamar Adel. Sedari tadi ia menahan air matanya. Dari lubuk hati Dony yang paling dalam, ia tidak mau Adel pergi. Tapi, ini semua untuk kebaikan Adel sendiri.

Adel meraih koper biru yang berisi barang-barang miliknya. Sebelum ia pergi, ia menatap kamarnya. Kamar yang memiliki banyak kenangan tersendiri. Ia menutup pintu kamarnya dan menguncinya. Ia letakkan kunci itu di sebuah laci kecil, tempat biasa ia meletakkan benda-benda kecil seperti peniti.

Ia menyeret koper itu menuju pintu utama, tampak Wina sudah menunggu bersama Dony.

"Pa, Chindy mana?" tanya Adel ketika tidak menemukan Chindy bersama mereka.

"Dia ada di kamarnya. Tadi, Papa sudah mengajaknya, tapi dia menolak," jelas Dony. Ia mengambil alih koper dari genggaman Adel.

Adel berbalik, "biar aku yang temuin Chindy, Pa," ucap Adel sebelum akhirnya melangkah menuju kamar Chindy.

Adel membuka pintu kamar Chindy. Cewek yang masih mengenakan piyama tidur itu, terlihat sedang mengotak-atik ponsel miliknya.

"Chindy?"

Chindy menoleh dengan mata menajam. "Ngapain lo ke sini?!"

"Gue mau pamit sama lo. Setelah ini gue tinggal bareng ibu kandung gue."

"Pamit buat apaan, sih?! Kalo mau pergi, pergi aja!" sengit Chindy dengan nada benci.

Adel tersenyum. Chindy memang tidak pernah berubah. "Setidaknya, lo tau kalo gue pergi."

"Apaan, sih, lo, nggak jelas!"

Adel tersenyum lagi, ia yakin Chindy berkata seperti itu seperti melarangnya untuk pergi. "Chindy, gue mau minta maaf."

"Kenapa lo minta maaf?" Suara Chindy agak bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca melihat senyum Adel.

"Karena gue udah ngerusak kebahagiaan lo. Maafin gue Chindy." Adel menyeka air matanya sempat jatuh. "Setelah ini lo nggak bakal marah-marah lagi. Setelah ini lo bakal hidup bahagia bareng Papa lagi. Setelah ini lo nggak akan pernah jumpa Adel si cewek udik yang selalu buat lo naik darah. Setelah ini...."

"Cukup, Del! Gue nggak mau kata-kata itu keluar dari mulut lo lagi!"

"Chindy maafin gue...." Adel tersimpuh di hadapan Chindy. Air matanya semakin deras. "Gue selama ini nggak pernah ngertiin lo."

Chindy memandang Adel. Ia terkejut saat kakinya di sentuh oleh Adel. Ia ikut terisak mendengar tangisan pilu keluar dari mulut Adel.

"Berdiri, Del!" sentak Chindy yang sudah tak tahan. "Gue bilang berdiri, bodoh!"

Adel mengangkat wajahnya. Ia tersenyum tipis pada Chindy, kemudian berdiri.

Chindy menyeka air matanya. Ia terdiam, lalu mengubah posisi duduknya. "Kenapa senyum kayak gitu, Del? Kenapa baik banget sama gue? Gue banyak berbuat salah sama lo!"

"Karena gue mau kita layaknya saudara kandung."

Jawaban Adel membuat Chindy menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Menangis sejadi-jadinya. Ia di hantui rasa bersalah atas segala perbuatannya pada Adel. Ia tidak tau selama ini Adel menanggung banyak beban. Dony sudah menceritakan semua padanya. Tentang bagaimana masa lalu cewek itu, bagaimana ia tidak di akui oleh ayah kandungnya. Chindy sempat meneteskan air mata mendengar cerita Adel. Ia yakin setelah ini kebahagian datang padanya.

"Maafin gue...." Isak tangis Chindy semakin hebat hingga Adel memeluknya untuk pertama kalinya. "Maafin gue, Del..."

Selama ini Chindy di butakan oleh kecemburuan dan keirian pada Adel. Hingga ia sering menyakiti perempuan yang berhati lembut ini.

"Gue udah lama maafin lo. Udah ya, jangan nangis lagi." Adel menghapus air mata Chindy dan kembali memeluknya.

"Benar kata Bagas, lo cewek baik, Del."

-0-0-

Tbc

Jangan lupa vommnet ya:)

Wiwind❤❤❤
(Mark, Lukas, Jaemin, Jisung, Jeno, Jaehyun, dll)

Senin, 01 Juli 2019

Numbness (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang