Tidak seperti hari-hari sebelumnya, kali ini Adel tampak senang mendengar teriakan sang Papa dari luar kamarnya. Adel buru-buru menyudahi membaca novel yang tadi siang ia rental di toko dekat rumahnya setelah pulang menemani Mila dari acara reuni.
"Papa," pekik Adel kegirangan dan langsung memeluk erat Dony yang masih mengenakan seragam kantor.
"Anak Papa lagi apa?" tanya Dony membalas pelukan Adel sambil mengusap rambut putri angkatnya itu.
Adel melepas pelukannya, lalu menghadap ke arah Dony sepenuhnya sambil tersenyum. "Lagi baca novel. Ngerental di toko sebelah."
Dony menautkan dahinya. "Kenapa ngerental? Kenapa nggak beli aja? Bilang sama Papa kalo kamu pengen beli novel."
Adel tersenyum, "nggak usah, Pa. Lagian Adel untung, karna cuma sepuluh ribu Adel udah bisa baca novel yang harganya seratus ribu. Kalo beli kan cuma sekali baca, setelah itu nggak di baca lagi." Adel menunjukkan cengiran khasnya yang membuat Dony terkekeh.
"Oh ya, Pa, Papa gimana kerjanya di Surabaya? Proyek di sana udah siap apa belum? Adel nggak mau Papa kerjanya jauh-jauh."
Dony tersenyum lembut padanya. Memang benar Dony lagi menyelesaikan proyeknya yang ada di Surabaya. Dalam kurun waktu 3 bulan Dony hanya pulang dua kali dan itu pun hanya untuk mengambil berkas-berkas yang tertinggal.
"Doain aja cepat selesai, ya," kata Dony. Dahi pria paruh baya itu mengenyit setelah mengamati perubahan fisik Adel. "Kamu kok makin kurus?"
"Apa iya, Pa?" Adel menyentuh pipinya yang memang terlihat tirus. "Ah, mungkin perasaan Papa aja kali."
Dony tersenyum. Kemudian ia melirik kanan kiri, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan dari dompetnya. "Jangan bilang Mama. Beli aja apa yang kamu mau. Kalo Adel pengen beli novel, beli. Kalo pengen beli baju, beli. Jangan sungkan sama Papa."
Hati Adel menghangat. Matanya mulai berkaca-kaca menatap uang pemberian Dony itu. Lalu memeluk Dony kembali dengan erat. "Makasih, Pa."
Dony menepuk pelan punggung Adel dan mengangguk. Ia tau, Adel tidak pernah sebahagia ini. Baru kali ini ia melihat pancaran kebahagian dari mata anak angkatnya itu.
-0-0-
Gedoran pintu yang sangat keras mampu mengagetkan Adel yang sedang mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Ia menghela nafas panjang. Adel terka orang yang ada di luar sana adalah Mama nya.
Dan benar saja. Setelah pintu terbuka, Mila tanpa basa-basi mendorong tubuh Adel dan nyelonong masuk ke kamar Adel.
Wanita paruh baya itu merampas tas sekolah Adel dan mengeluarkan semua isinya lalu menyerakkannya.
Adel bangkit lalu mendekat pada Mila.
"Mama ada apa?""Mana uang yang dikasih suami saya?!" tanya Mila dengan sorot mata yang tidak bersahabat, seperti biasa.
"U-uang apa, ya, Ma?"
"Kamu jangan pura-pura nggak tau! Saya tau, tadi siang suami saya ngasih kamu uang, kan? Mana uang itu sekarang?!"
Adel tidak menjawab. Ia menundukkan kepalanya tanpa berani menatap mata Mila yang sangat mengerikan itu.
Karena Adel tidak juga meresponnya, Mila beranjak menuju lemari Adel. Tangannya kini sibuk mengacak-ngacak pakaian Adel yang dua hari lalu baru cewek itu setrika, tapi kini sudah menjadi kusut lagi.
Adel menatap nanar pakaian-pakaian yang sudah berserakkan di lantai. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain diam.
"Ma... jangan..." Wajah Adel kini memelas, memohon agar Mila berhenti.
"Kamu simpan dimana uang itu?!" tanya Mila saat ia tidak menemukan apa-apa di lemari Adel.
Mila kembali beranjak ke arah meja belajar Adel, lalu memeriksai satu persatu lacinya dan kali ini pencariannya berbuah hasil. Ia menemukan beberapa lembar uang berwarna biru yang ia yakini itu adalah pemberian Dony.
Mila menaikan sebelah alisnya. "Ini apa?"
"Ma, jangan di ambil..." Adel kembali memohon. Ia mencoba merebut uang itu dari tangan Mila. Tapi lagi-lagi ancaman lah yang dia dapat.
"Berani kamu melawan saya?" Mila mendorong tubuh Adel hingga tersungkur di lantai. "Jangan pernah coba-coba nyembuyiin sesuatu dari saya. Jika kamu coba-coba, kamu akan tau akibatnya."
Tanpa memperdulikan Adel lagi Mila keluar dari kamar Adel dengan senyuman kemenangan yang tercetak jelas di bibirnya.
Adel diam. Ia tidak sanggup membantah perintah Mila, karena ia tau diri. Dia hanya anak angkat yang kehidupannya tidak akan sesempurna mereka yang tinggal bersama orang tua kandungnya.
-0-0-
Hujan deras terus menghujami tubuh Imam yang masih setia duduk di bangku taman dekat rumahnya. Sorot matanya menatap lurus ke depan tanpa memperdulikan bajunya yang sudah basah kuyub.
Imam memejamkan matanya saat tubuhnya tidak lagi terguyur hujan. Bukan hujan itu meredah, tapi ada seseorang yang sengaja memayunginya. Dia mengenyit lalu mendongak, menatap seseorang yang telah memayunginya itu.
Cowok itu berdecak, "Apa?" Aura dinginnya langsung membuat kulit seseorang itu meremang.
"Nanti lo sakit."
"Terus apa hubungannya sama lo?"
"Nanti nggak ada yang nyakitin gue." Seseorang itu tersenyum lembut pada Imam, tapi orang yang di senyumi malah membuang muka.
Mereka diam cukup lama. Udara dingin dan aura yang mencekam di taman itu membuat seseorang yang sedari tadi memayungi Imam merasa gelisah.
Imam yang memang orangnya pekaan, langsung sigap mengambil alih payung itu dari tangannya, lalu berdiri di sampingnya. Tanpa bicara, dan tanpa ada yang mau memulai lebih dulu.
"Chin, sekarang lo pulang aja, muka lo udah pucet," kata Imam. Memang benar wajah Chindy terlihat pucat pasih karena menahan dinginnya udara malam. Tapi, karena cewek itu yang memang keras kepala, menolak.
"Lo sendiri, kenapa nggak pulang? Masih mikirin Adel?"
"Bukan urusan lo," balas Imam ketus.
Chindy tersenyum kecut. "Aneh ya, gue suka lo, lo nya suka sama Adel."
"Apa bedanya sama Adel?"
-0-0-
Update guyssss
Gimana? Gimana? Suka nggak?Jangan lupa vomment:)
Sabtu, 18 Mei 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Numbness (selesai)
Teen FictionHighest rank : #1 in boyfriend [15 januari 2019] "Jauh-jauh dari gue!" Ia mengibas-ngibaskan tangannya, seolah mengusir. Mau tidak mau Adel menurut, ia mundur dengan senyuman yang masih mengembang. "Jauh lagi!" Adel mundur lagi. "Lagi!" "Terus, la...