Imam menyandarkan kepalanya diatas meja kantin dengan mata yang tertutup. Rasa nyeri di kepalanya kembali datang. Walaupun ia sudah dinyatakan sembuh dari penyakitnya, rasa nyeri itu masih ada dan terus tetap ada. Dia tidak tau kenapa, yang jelas dokter yang mengatakannya.
Dia menghela nafas legah, setelah nyeri itu mulai sedikit menghilang. Nyeri dikepalanya akan terus datang kala ia tidak meminum obatnya. Dan benar saja, ia lupa untuk meminumnya.
"Kenapa lo? Sakit?" Jaka bertanya sambil meletakkan nampan berisi makanannya di atas meja. Melihat temannya seperti menahan rasa sakit, ia jadi khawatir.
Imam berusaha mengangkat kepalanya. Ia tidak mau terlihat lemah di depan Jaka. Ia tidak mau Jaka khawatir melihat kondisinya.
"Ngantuk," dustanya, dan berusaha baik-baik saja.
Jaka hanya membentuk huruf O dibibirnya dengan kepala naik-turun. "Btw, Bagas udah ada kabar apa belum?"
"Udah. Katanya dia pulang seminggu lagi."
Jaka hanya menghela nafas mendengar jawab Imam. Ia menyeruput es jeruknya sampai seperempat gelas.
Imam kembali menelungkupkan kepalanya saat tidak ada lagi pembicaraan yang mau di bicarakan. Tapi belum beberapa menit, ia mengangkat kepalanya lagi saat Jaka memanggilnya.
"Mam, Chindy Mam!" Suara Jaka mengejutkan Imam. Ia melihat Chindy sedang berjalan masuk ke kantin seorang diri. Biasanya Imam melihat Chindy akan bersemangat mendekati cewek itu. Namun, lain untuk saat ini.
Jaka merasa bingung dengan perubahan sikap Imam. Ia hanya menatap temannya itu dengan tatapan bertanya. "Kenapa nggak di samperin?"
"Dia nyuruh gue buat jauh-jauh dari dia. Gue nggak bisa berbuat apa-apa selain mengabulkan permintaanya." Imam terlihat lesu saat bercerita membuat Jaka langsung mengerti. Ternyata temannya ini sedang galau.
"Yang sabar ya, bro! Tapi gue denger-denger Axel lagi ngejer-ngejer Chindy."
Mendengar itu, Imam langsung menatap Jaka sepenuhnya. "Serius lo?"
Jaka mengangguk, lalu menyeringai. "Gih, lo samperin!"
Tanpa menunggu lama, Imam langsung mendekat pada cewek itu.
Chindy menghela nafas, saat di lihatnya wajah Imam berdiri di depannya dengan cengiran khas cowok itu. Ia mencoba untuk menghiraukannya, dan terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun pada Imam. Namun, langkah Chindy langsung dihadang dan membuatnya hampir saja menabrak tubuh besar cowok itu.
"Jauh-jauh dari gue, Mam!" ucap Chindy dengan sarkas.
Chindy kembali hendak pergi, namun lagi-lagi Imam menghadang jalannya. Cewek itu menatap Imam dengan tajam. "Gue bilang jauh-jauh dari gue!"
"Kenapa?" tanya Imam dengan pelan.
"Karena gue bukan cewek baik-baik!"
Imam menghela nafas panjang, lalu berkata, "terus? Gue harus jauhi lo karena lo bukan cewek baik-baik, gitu? Lo tau pepatah yang bilang kalo cinta itu buta?" Imam menarik tangan Chindy dan menggengamnya. "Jadi salah gue deketin lo? Salah kalo gue berusaha buka hati gue untuk lo? Salah kalo gue mulai--"
"Gue udah nggak virgin, Mam!"
Kalimat Imam menggantung setelah mendengar pernyataan Chindy yang membuatnya langsung melepaskan tangan cewek itu.
Chindy menggigit bibirnya dengan kuat. Dia mencoba menahan air matanya mati-matian, namun hasilnya nihil. Setelah ini, apa yang dia inginkan akan tercapai. Imam merasa jijik dengannya dan menjauhinya.
Imam masih terdiam dengan pikiran kosong. Ia mencoba mencerna kata demi kata yang cewek itu ucapkan. Sampai akhirnya kesadarannya terkumpul saat suara bisik-bisik hujatan para murid memenuhi telinganya. Dia tau untuk siapa kata-kata kasar itu dilontarkan. Mata Imam langsung mengarah pada Chindy. Cewek itu menundukkan kepalanya dengan kedua tangan terkepal.
Chindy berlari keluar dari kantin karena tidak tahan mendengar umpatan kasar dari para murid. Air matanya bahkan tidak bisa terbendung lagi. Belum jauh berlari meninggalkan kantin, tangannya di tarik paksa dan tubuhnya di dorong ke tembok. Cewek itu tersentak menyadari siapa yang menarik tangannya.
"Kenapa lari?"
Chindy berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Imam. "Lepasin tangan gue!"
"Gue nggak akan lepasi tangan lo sebelum lo jawab pertanyaan gue!" Imam semakin kencang mencengkram tangan Chindy. "Kenapa lo lari?!"
"Karena gue malu." Chindy menghapus air matanya dengan kasar. "Gue malu karena gue nggak pantes buat lo! Gue malu karena lo terlalu sempurna buat gue! Gue malu karena cowok baik kayak lo deketin gue! Gue malu, Mam, gue malu!" Mata Chindy kembali berkaca-kaca. Ia bahkan tidak bisa bergerak sedikitpun karena Imam betul-betul mengunci pergerakannya.
"Seharusnya yang malu itu gue. Kenapa cewek kayak lo terus berotasi di pikiran gue? Kenapa cewek kayak lo harus masuk dihidup gue? Kenapa?!" Chindy memejamkan matanya mendengar kata-kata sarkas itu. "Dan kenapa saat gue mulai cinta sama lo, lo ngejauh kayak orang tidak bersalah? Kenapa?" Suara Imam memelan. Cowok itu terus menyudutkan Chindy seolah dia pelakunya disini dan Imam yang menjadi korbannya.
Chindy tidak menjawab. Dia hanya diam dan masih berusaha melepaskan tangannya. Tangisnya bahkan semakin menjadi-jadi. "Lepasin!" paraunya tergugu.
"Gue di mata lo mungkin bagaikan nun mati di antara idgham billaghunnah, terlihat, tapi nggak dianggap." Cekalan tangan Imam perlahan mulai merenggang dan terlepas. "Jika usaha udah nggak dihargai. Lalu untuk apa meneruskannya? Hasilnya masih akan sama, sia-sia. Setelah ini gue nggak bakal ngejar-ngejar lo lagi. Dan selamat, lo udah buat gue merasa bodoh sebagai seorang cowok." Imam berbalik dan meninggalkan Chindy seorang diri.
Dan, ini akhir dari segalanya. Segala yang sudah tersusun rapi oleh takdir. Segala yang mungkin tidak bisa di ubah oleh siapa pun. Segala yang membuat Imam dan Chindy tidak bisa melawan oleh garis takdir mereka masing-masing. Selama ini, mendengar kalimat 'Manusia itu makhluk yang saling berpasang-pasangan. Kalau nggak ada pasangannya berarti bukan manusia' hanya bullshit semata. Karena ini semua yang mengatur hanyalah takdir Allah.
-0-0-
HAYYYY JUMPA DI PART TERAKHIR ABOUT ADEL'S!!!!!
SENENGNYA BISA NYELESAIN DUA CERITA DI WATTPAD
Makasih untuk kalian selalu ngedukung aku. Terutama orang tua, kakak, dan temen-temen sekolah. Makasih juga untuk guru bahasa Indonesia sekaligus editor aku hehe... berkat bapak yang selalu nyemangati, aku semakin yakin kalo cerita-ceritaku nanti bakal di terbitin. Aamiin. WkwkOh iya, nggak tau kenapa tiba-tiba di otakku terlintas bakal buat cerita Chindy dan Imam yang nantinya bakal duduk di bangku kuliah. Di tunggu ya!!!!!
Wiwind❣
Jumat, 29 November 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Numbness (selesai)
Novela JuvenilHighest rank : #1 in boyfriend [15 januari 2019] "Jauh-jauh dari gue!" Ia mengibas-ngibaskan tangannya, seolah mengusir. Mau tidak mau Adel menurut, ia mundur dengan senyuman yang masih mengembang. "Jauh lagi!" Adel mundur lagi. "Lagi!" "Terus, la...