38

19.1K 725 7
                                    

Adel berdiri cukup lama di gerbang sekolah. Bel pulang sekolah sudah berbunyi lebih dari 30 menit yang lalu. Satu persatu siswa siswi kelas 10, 11, dan 12 sudah meninggalkan kelas dan memadati gerbang sekolah untuk pulang ke rumah masing-masing.

Adel berdecak kesal. Kakinya sudah terasa sangat pegal karena lamanya dia berdiri. Namun, sosok Eires belum juga muncul.

Karena bosan, Adel berjongkok sambil memainkan ponselnya. Tak lama, suara ramai dari koridor membuatnya menoleh . Dengan mudah Adel dapat menemukan Eires yang sedang mengobrol dengan teman-temannya.

Adel berdiri sambil memasang ekspresi kesal. Namun, Eires tak kunjung melihatnya. Adel berdecak berulang kali. Tau begini, mending Adel pulang saja.

Eires baru balas menatap Adel ketika salah satu temannya menyikutnya dan Adel sudah memasang wajah garang. Eires langsung pamit pada mereka dan memisahkan diri menuju Adel berdiri sekarang.

Eires semakin mendekat. Ia tersenyum pada Adel. "Udah lama nunggunya?"

"Banget!"

Cowok itu terkekeh. "Gue kira lo nggak mau ikut."

"Yaudah, gue pulang aja!"

"Eh, jangan!" cegahnya dengan cepat. "Gitu aja ngambek!"

"Apa lo bilang, ngambek? Gue nunggui lo panas-panasan di sini ya jelas lah gue ngambek!"

Bukannya serius, Eires malah tersenyum. "Jangan galak-galak, atuh, jadi cewek. Lo makin cantik kalo galak."

"Gue serius, Eires!" sentak Adel.

Eires kembali terkekeh. "Yaudah, yuk." Dia menarik tangan Adel ke luar gerbang. Adel mengikutinya dengan misuh-misuh.

Begitu bus tiba dan Eires naik duluan di susul Adel di belakangnya, kemudian mereka duduk di bangku belakang dekat jendela.

Untuk beberapa saat, mereka saling diam. Tidak ada yang membuka obrolan lebih dulu. Apalagi Adel. Ia rasa memang tidak ada yang harus di ucapkan.

Perjalanan cukup panjang hingga membuat Adel mengantuk. Ia bahkan sangat tidak mengenali tempat-tempat yang bus ini lalui. Matanya semakin berat, dan tak lama ia terlelap.

Adel terbangun dan menguap ketika Eires menggoyang pundaknya dan berkata kalau mereka telah sampai. Adel bergegas mengikutinya turun dan berjalan di belakangnya.

Adel mengikuti Eires yang berjalan di depannya. Ia mengernyit melihat jalanan yang begitu sunyi. Sebenarnya Eires akan membawanya kemana? Kenapa tempat ini begitu sunyi? Adel ingin bertanya, namun ia urungkan karena rasa lelah dan teriknya matahari sangat menguras energinya. Tapi, jika ia pergi, ia bahkan tidak tau jalan pulang.

Adel mengikuti Eires sepanjang jalan, tanpa obrolan. Ia semakin kelelahan. Peluh di dahinya semakin menumpuk.

"Res," panggilnya membuat Eires menoleh ke belakang dengan dahi mengerut.

"Ada apa?"

"Gue capek," adu Adel padanya.

"Mau gue gendong?" tawar Eires. Ia sebenarnya merasa bersalah mengajak Adel berjalan sangat jauh.

Adel menggeleng pelan. "Kita istirahat dulu, ya?"

Eires hanya diam. Tapi setelah itu ia berkata, "yaudah."

Cowok itu mendekat, dan langsung memapahnya. Adel hanya memerhatikan gerak-geriknya tanpa sedikit pun mengeluarkan suara. Mereka duduk di bawah pohon dengan akar yang menjulang keluar sebagai alasnya.

Eires mengeluarkan sebotol air mineral yang masih tersegel dari tasnya dan di berikannya pada Adel. "Nih, minum."

"Lo?"

"Gue nggak haus, kok."

Adel memilih diam. Ia menenggak air mineral itu hingga setengah botol. Ia betul-betul sangat lelah dan haus. Adel menoleh pada Eires. Cowok itu sedang mengorek-ngorek tanah dengan batu kecil.

"Eires," panggil Adel.

Cowok itu menoleh. "Iya?"

"Tempatnya masih jauh, ya, Res?"

"Enggak kok. Dikit lagi nyampe," ucap Eires sambil menunjuk sebuah bangunan yang memang tidak terlalu jauh dari tempat mereka sekarang.

"Oh, kalo gitu, ayok!" Adel berdiri sambil memukul-mukul belakang roknya, bermaksud menghilangkan kotoran yang tertempel.

"Lo udah nggak capek?"

Adel menggeleng antusias.

Eires mengalah dan mengikuti Adel yang berjalan duluan di depannya.

Mereka berjalan hingga sampai ke sebuah rumah bercat putih dengan ayunan di depannya. Sekilas Adel membaca tulisan 'Orphanage Deward (Panti Asuhan Deward)'. Adel tertegun di depan gerbang bangunan itu. Sampai  ketika seorang anak kecil berambut pirang menghampiri Eires dan langsung memeluknya.

"Uncle Eires!"

Eires menyambut pelukannya. "Hei, girl. How are you?"

"I'm fine. Lina sangat baik, uncle."

Adel mengerjab beberapa kali saat mendengar anak kecil itu berbahasa Indonesia.

Anak kecil bernama Lina itu beralih menatap Adel dengan kening berlipat. Eires yang menyadari itu, tersenyum simpul.

"Dia kak Adel. Teman uncle," ucap Eires memperkenalkan Adel pada Lina.

Lina terlihat mengangguk dan tersenyum malu-malu.

"Lina, ajak kak Adel main bareng sama kamu, ya? Uncle mau ke dalam sebentar."

"Siap, uncle!" jawab Lina, kemudian menarik tangan Adel. "Ayo, kak, main bareng aku."

"Lo main dulu ya, bareng Lina. Gue nggak lama kok. Jangan lupa airnya di minum lagi."

Eires pergi setelah mengatakan itu. Adel hanya menatap kepergiannya, lalu mengikuti Lina yang entah akan membawanya kemana.

"Lina," panggil Adel pada gadis kecil itu. Adel menghentikan langkahnya membuat Lina juga ikut berhenti.

"Ada apa, kak? Kakak laper?"

"Nggak, nggak kok. Kakak mau tanya, Ei-- maksud kakak Uncle Eires sering datang ke sini?"

"Uncle cuma seminggu sekali datang ke sini."

Adel hanya mengangguk mengerti.

"Kakak pacarnya Uncle, ya?"

Adel terkejut dengan pertanyaan Lina. "B-bukan! Kakak temennya uncle."

"Uncle kan, ganteng. Kenapa nggak pacaran aja sama uncle?"

Adel terpaku mendengarnya. Kenapa anak di usia Lina tau tentang pacaran? Wow! Sekarang dunia memang berbeda.

Cewek itu hanya tersenyum, lalu mencubit pipi cabi Lina. "Kamu kok bisa bahasa Indonesia?" tanya Adel mencoba mengalihkan topik.

"Di sini Lina memang di ajarkan bahasa Indonesia sejak umur dua tahun."

Adel tercengang sebentar. Kok bisa?

-0-0-

Tbc
Lanjut besok ya hehe

Jangan lupa vomment ya:)

Wiwind🖤🖤🖤

Jumat, 12 Juli 2019

Numbness (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang