23

10.9K 547 21
                                    

Hari ini Adel sudah bersiap-siap dengan seragam sekolahnya. Ia mengambil tasnya, lalu bergegas keluar kamar. Saat melewati meja makan untuk menuju pintu utama, suara Chindy menginterupsi langkahnya.

"Jangan karena Bagas sekarang berpihak sama lo, lo bisa hidup tenang," ucap Chindy tanpa menoleh pada Adel sambil mengoles selai coklat di rotinya. Sementara Adel masih diam di tempat, tidak menjawab ucapan cewek itu.

"Lo tuli? Nggak denger apa yang gue bilang?" Chindy mencampakkan garpu yang ada di dekatnya ke arah Adel membuat cewek berpita biru itu terlonjak. Namun, Adel tidak berbicara sepatah kata pun, dan itu mampu membuat Chindy menatapnya penuh kebencian.

Chindy berdiri, lalu menghampiri Adel, "semakin gue biarin, lo semakin menjadi-jadi, ya?! Liat aja, gue bakal bales semua yang lo lakuin ke gue!"

"Lakuin ke lo? Sedikit pun gue nggak pernah nyakitin lo, karena gue tau lo adek gue, Chin. Gue sayang sama lo."

Chindy mendorong Adel ke belakang membuatnya hampir terjatuh. "Jadi adek lo? Sorry ya, nggak sudi!"

"Lo bilang kayak gitu, karena lo belum tau rasanya punya Kakak. Rasa benci sedikit pun nggak ada untuk lo. Gue terima apa yang lo lakuin ke gue. Gue cuma mau jadi saudara yang baik buat lo. Tapi, kalo lo nggak terima juga nggak apa-apa."

"Sampai kapan pun, gue nggak terima lo di keluarga ini. Lo itu hanya perusak segalanya!"

Setelah mengatakan itu, Chindy pergi ke kamarnya. Sekilas Adel melihat Chindy menangis. Ia menatap nanar pintu kamar Chindy yang tertutup rapat. Ingin sekali ia mengejarnya, dan menenangkan cewek itu. Tapi Adel sudah tau balasan yang akan dia terima. Ia sangat berharap bisa akur dengan Chindy selayaknya saudara kandung.

"Setelah nanti gue ketemu sama orang tua kandung gue, semoga lo bisa ketawa bareng keluarga lo lagi, ya."

Suara bi Inah membuyarkan lamunan Adel. Ia melihat beliau berlari ke arahnya. "Non, ada yang nyariin, Non."

Adel mengernyit, "siapa bi?"

"Den Gas, gitu Non namanya," ucap Bi Inah dengan komuk begitu lucu saat menjelaskan.

Adel terkekeh, "Bagas maksud Bibi?" Bi Inah mengangguk.

"Yaudah, Bi. Adel pergi dulu, ya? Salam buat Papa kalau Papa udah bangun," ucapnya, kemudian menyalim tangan Bi Inah sebelum akhirnya dia keluar rumah.

Adel membuka gerbang dan mendapati Bagas sedang duduk di motor matic nya.

"Pagi," sapa Adel sambil tersenyum manis.

Bagas membalas sapaan itu, "pagi, ibu negara."

"Tumben lo jemput gue. Atau gue salah, ya, sebenarnya lo mau jemput Chindy?"

"Nggak ada yang salah. Udah buruan naik, entar telat loh." Bagas memakai kembali helmnya dan juga menyodorkan helm pada Adel.

Adel mengangguk sambil menerima helm itu, lalu naik ke motor Bagas. Dari kaca spion motornya, Bagas dapat melihat wajah Adel yang tampak sembab dan di bawah matanya terdapat lingkaran hitam yang terlihat jelas.

"Lo habis nangis?" tanya Bagas membuat pergerakan tangan Adel untuk memasang helm itu seketika terhenti.

"E-enggak... tadi malam nonton drakor, ceritanya sedih. Jadi nangis deh hehe," alibi cewek itu.

Merasa Adel berkata jujur, Bagas hanya mengangguk kecil, lalu menghidupkan mesin motornya. Motor matic itu melaju menelusuri jalan raya dengan kecepatan sedang.

Chindy yang ternyata mengintip di jendela kamarnya menggeram kesal. Lagi-lagi ia merasa kalah dengan Adel.

"Dasar anak pungut! Nggak tau diri banget, tuh, orang!"

-0-0-

Tadi malam Adel kembali menangis saat ia menyuruh Papanya untuk menceritakan semuanya sebelum akhirnya ia di angkat Dony menjadi anaknya.

Adel kembali merasa terpukul saat ia tau ternyata dirinya di temukan di sebuah gubuk tua di sekitar panti asuhan waktu itu. Batinnya terguncang hebat mengetahui fakta-fakta yang terjadi di hidupnya. Ia tidak tau akan menjadi seperti ini kehidupannya. Dari kecil tidak mendapat kasih sayang seorang ibu, dan di asuh oleh pemilik panti asuhan yang kebetulan peduli padanya.

"Minum dulu, Del, biar enakkan," ucap Lia sambil meletakkan teh hangat di atas meja tepat di hadapan Adel.

Adel membuka matanya yang terasa berat, lalu mengangkat kepalanya.

"Lo masih tahan, kan? Atau gue anter ke UKS aja?" tawar Lia, tak tega melihat wajah Adel yang kian memucat.

Adel menggeleng, "kepala gue sakit, tapi udah agak enakkan." Adel mengambil teh hangat itu lalu meminumnya sampai seperempat gelas.

Entah kenapa, sampai sekarang ia masih memikirkan dimana orang tua kandungnya? Kenapa mereka membuangnya? Pertanyaan itu terus muncul di pikiran Adel. Sampai ia tidak tidur memikirkan itu.

"Bagas tau masalah lo, ini?"

Adel menggeleng, "enggak. Dan gue nggak akan kasih tau dia. Gue nggak mau Bagas juga mikirin masalah gue."

Lia menghela nafas, lalu berkata, "ya... itu urusan lo. Gimana baiknya buat lo, gue selalu dukung, kok." Cewek itu mengusap pundak Adel sambil tersenyum.

"Makasih, Lia."

Melihat perhatian Lia padanya, Adel jadi teringat Bagas. Setelah berpisah di parkiran tadi, cowok itu tidak pernah terlihat sampai sekarang. Mata Adel menelusuri seluruh penjuru kantin. Alih-alih menemukan Bagas, matanya tidak sengaja beradu pada mata milih Fahri.

"Hai, Del," sapa Fahri, lalu bergabung duduk bersama Adel dan Lia.

Adel hanya sekedar membalas sapaan Fahri. Takut-takut pacar Fahri yang super duper garang itu melihat dan melabrak Adel di depan orang banyak.

"Astaga!" pekik Lia sampai menganggetkan Adel dan orang di sekitarnya. "Gue belum pulangi buku yang gue pinjem di perpus. Gue duluan, ya, Del," pamit Lia.

"L-loh... kok gitu?"

Lia mengerlingkan mata dan pergi meninggalkan mereka. Adel mendengus. Belum memulangi buku itu hanya alibinya saja, Adel tau itu.

Seketika Adel gelisah. Ia tidak mau lagi di labrak atau pun berurusan dengan Dinda, pacar Fahri yang sok berkuasa itu karena berduaan dengan Fahri.

"Kenapa muka lo begitu?" tanya Fahri di akhiri kekehan.

"E-enggak, enggak kenapa-kenapa."

"Lo takut Dinda nyamperin lo? Tenang aja, gue sama Dinda udah putus," curhat Fahri tiba-tiba.

"APA?!" pekik Adel hingga mengundang tatapan bingung dari murid-murid yang ada di kantin.

Fahri terkekeh lagi, "gue putus sama dia bukan karena lo, kok. Gue udah capek aja ngadepin sifat kekanakan dia," jelas Fahri.

"T-tapi kenapa putusnya tiba-tiba, kak? Nanti orang ngirah gue penyebabnya karena sekarang kita lagi berduaan."

"Di sini ramai, bukan kita berdua aja, Del. Lo nganeh, ih," ucap Fahri membuat Adel tidak lagi bersuara.

Sudah. Adel sudah merasa kesal sekarang. Ia tidak lagi gelisah seperti tadi. Cewek itu sudah kalah malu dengan jawaban Fahri.

"Oh iya, gue nanti pulang sekolah mau ngajak lo ke pa--"

Belum siap Fahri menyelesaikan ucapannya, suara dari belakang mereka duluan menyahut. "Ada urusan apa sama cewek gue."

-0-0-

Maaf baru bisa update🙁🙁
Setelah bertempur dengan perasaan dan logika, akhirnya aku update walaupun yaa..... masih belum rapi hehe.
Maklumi yee haha

Jangan lupa vomment guys☺

Wiwind❤❤

Senin, 17 Juni 2019
 

Numbness (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang