"Tidak peduli sejauh apapun dirimu, kita akan tetap melihat bulan yang sama."
Setelah mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian santai, Adel menjatuhkan diri di atas tempat tidurnya. Rasanya sangat lelah seharian berada di sekolah barunya. Begitu ingin memejamkan mata, ponselnya yang berada di atas nakas bergetar. Adel cepat-cepat mengambil ponselnya dan membaca sederet angka yang tidak ia kenali. Dahinya mengernyit, lalu menggeser tombol menjawab panggilan telepon.
Ia mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur. Perlahan ia mendekatkan ponselnya ke telinganya, namun dia tidak mengeluarkan suara sepatah kata pun. Dia menunggu orang yang menelponnya berbicara lebih dulu. Adel menunggu selama beberapa menit, namun sama sekali tidak ada suara yang terdengar. Dan, ia akhirnya menyerah.
"Halo?" sapa Adel dengan rasa penasaran.
"I always miss you." Terdengar suara cowok yang sangat Adel kenali dari seberang sana.
Adel terdiam mematung. Suara itu membuat jantungnya berdetak sangat cepat. Sudah lama ia tidak mendengar suara itu. Suara yang selalu membuatnya semangat. Suara yang sudah lama ia rindukan.
"Hey, lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya suara di seberang telpon. Adel menelan ludah. Matanya memandang lurus ke depan dengan berkaca-kaca. Otaknya berpikir keras, memikirkan kata-kata yang harus dia ucapkan.
"B-baik," balas Adel dengan singkat dan gugup.
"Adel," panggilnya, membuat Adel tersentak.
"I-iya?"
"Gue kangen. Gue kangen banget sama lo."
Adel memejamkan matanya sejenak, lalu menunduk. Sekuat tenaga ia menahan tangisnya agar tidak tumpah. Namun, usahanya sia-sia. Adel terisak dengan sebelah tangan membekap mulutnya agar suaranya tidak terdengar oleh cowok di seberang sana.
Dia ingin segera mematikan sambungan telponnya, berpura-pura ingin istirahat, mungkin? Tetapi hatinya lagi-lagi berkata lain. Dia ingin mengaku kalau ia juga merindu. Dia kangen dengan sosok pemilik suara itu.
Adel mengusap air matanya. "Gue pengen istirahat. Udah dulu, ya?"
"Del, sebentar," ucap cowok itu.
"Apa lagi, Gas?"
Di tempatnya, Bagas terdiam. Matanya memandangi bulan yang bersinar terang dari balkon kamarnya. Cowok itu membasahi bibirnya yang mendadak kering. Dia tidak menyangka berkata seperti itu.
"Thank you for liking me, Del" kata Bagas dengan pelan.
Adel terdiam untuk beberapa saat, lalu menarik nafas dalam-dalam. Nafasnya terasa tercekat di kerongkongan. Bibirnya ikut serta bergetar. "Thank you for letting me like you."
"You are always in my heart, Del."
Hatinya tidak lagi kuat mendengar suara itu. Adel mematikan sambungan telponnya dengan cepat. Entah kenapa agak berat melakukan itu. Tapi, Adel tidak ingin membuat hatinya sakit lebih dalam.
Bulir-bulir air mata masih mengalir deras di pipinya, hatinya terasa begitu sesak. Dia bahkan tidak bisa mengucapkan kata rindu untuk cowok itu.
Waktu terus berjalan. Sore akan berganti malam, dan malam akan berganti pagi. Namun, mata Adel seakan tidak mau terpejam membuatnya harus terjaga hingga pagi menjelang. Masih terngiang ditelinganya suara Bagas saat mengatakan rindu padanya tadi. Dia ingin hatinya terlepas dari sosok itu, tapi semakin dia merindu, hatinya malah semakin terikat kuat.
-0-0-
Pagi harinya, Adel terkejut melihat penampilan dirinya di cermin. Matanya tampak bengkak di tambah hidungnya yang masih memerah.Hari ini Adel begitu malas untuk pergi ke sekolah. Rasanya ia ingin tidur seharian untuk melupakan masalah-masalah yang menimpanya.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka. Ia melihat Wina masuk dengan secangkir susu coklat di tangannya. Adel hanya menatap gerak-gerik wanita itu tanpa ekspresi.
"Mama sudah meminta izin pada wali kelas kamu kalau kamu hari ini tidak masuk," ucap Wina sambil duduk di pinggir tempat tidur Adel.
Adel mengangguk pelan. "Makasih, Ma."
"Sama-sama, sayang," ucap Wina dengan senyuman. Dilihatnya wajah putrinya itu, tampak murung dan tidak bersahabat.
"Kamu kenapa? Kenapa wajahnya murung begitu?" tanya Wina sambil mengusap rambut Adel.
Adel menggeleng pelan. "Adel nggak apa-apa, Ma. Cuma pusing doang."
"Mama yakin kamu ada apa-apa."
"Adel beneran nggak apa-apa, Ma," elak cewek itu.
Wina mengembuskan nafasnya pelan. "Adel, kalo kamu punya masalah kamu bisa berbagi sama Mama. Mama ini ibu yang melahirkan kamu. Mama paham betul apa yang kamu rasakan," kata Wina berusaha mendorong Adel untuk bercerita.
"Cuma masalah kecil kok, Ma. Adel yakin Adel bisa menanganinya sendiri."
"Ya sudah kalau kamu tidak mau cerita sekarang," ucapnya. "Mama keluar dulu, ya. Obatnya jangan lupa di minum." Wina bangkit dari duduknya dan melangkah pergi keluar dari kamar putri satu-satunya itu.
Adel menatap kepergian Wina dengan tatapan bersalah. Sejujurnya ia tidak ingin membohonginya, tapi ia tidak mau menambah masalah Wina.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Cepat-cepat Adel mengambilnya dan menatap layar ponselnya yang kini menampilkan pesan seseorang yang semalam menelpon itu. Adel tertegun untuk beberapa detik membaca pesan itu. Jantungnya kembali berdetak dengan cepat. Tangannya bahkan ikut bergetar.
"Apapun balasan lo nantinya, gue cuma mau minta maaf. Gue tahu gue salah karena terlambat menyadari perasaan gue. Gue tahu gue bodo karena nyia-nyiain lo Del. Gue tahu gue pengecut karena nggak berani nyatain perasaan gue ke lo. Tapi gue tahu, lo nggak benar-benar marah sama gue. Sekali lagi gue minta maaf."
-0-0-
Tbc
Makasih udah setia menunggu aku update:*
Jangan lupa vomment ya:)Wiwind🖤🖤🖤
Rabu, 10 Juli 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Numbness (selesai)
Novela JuvenilHighest rank : #1 in boyfriend [15 januari 2019] "Jauh-jauh dari gue!" Ia mengibas-ngibaskan tangannya, seolah mengusir. Mau tidak mau Adel menurut, ia mundur dengan senyuman yang masih mengembang. "Jauh lagi!" Adel mundur lagi. "Lagi!" "Terus, la...