"Padahal langit mencintai senja apa adanya, tapi kenapa senja meninggalkan langit tanpa aba-aba?"
Apa kalian tau, hal yang di benci banyak orang? Yaitu rasa kehilangan. Sesuatu yang setiap hari sebenarnya ada di sekitar kita, tetapi tiba-tiba saja hilang.
Pasti banyak dari kalian yang merasakan hal itu juga. Sama seperti Bagas saat ini. Ia sudah berhasil membuat Adel jauh darinya, tapi bukan berarti ia ingin Adel menghilang dan tidak terlihat lagi.
Setelah memutuskan hubungannya dengan Adel, cewek itu tidak pernah lagi terlihat. Maksudnya, Bagas tidak pernah bertemu dengannya lagi. Baik di sekolah mau pun di luar sekolah. Bagas tidak tahu kemana perginya Adel.
Beberapa hari lalu, ia juga sempat bertanya pada Lia, tapi cewek itu hanya mengangkat kedua bahunya sambil berkata, "gue nggak tau."
Sejujurnya, Bagas tidak yakin dengan jawaban Lia. Namun, raut wajahnya cukup menyakinkan membuatnya mau tidak mau percaya.
Dia sendiri bingung ketika nomor ponsel Adel tidak aktif. Pesannya pun tidak ada satu pun yang di balas. Ia kelimpungan sendiri mencari keberadaan Adel. Ia yakin Adel tidak ingin bertemu dengannya, tapi bukan berarti menghilang seperti ini.
-0-0-
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Bagas beranjak dari kursinya menuju parkiran. Ia ingin cepat-cepat pergi ke rumah Adel, berharap ada petunjuk dimana keberadaan cewek itu.
Alih-alih ingin cepat-cepat pergi, ia malah berhenti ketika seseorang memanggilnya. Bagas berbalik, menatap Chindy yang berdiri tak jauh darinya bersama Lia.
"Apa?" tanyanya dengan ketus.
Chindy tersenyum tipis, kemudian melangkah lebih mendekat pada Bagas.
"Hai, Bagas!" Chindy menyapa.
"Gosah basa-basi! Lo mau ngomong apa?"
Chindy tersenyum lagi. Bagas merasa ada yang tidak beres dengannya. Ketika bibirnya tersenyum, matanya justru menunjukkan hal lain yang tidak dapat di definisi.
Bagas tidak ingin bertanya, tapi ia tahu ada sesuatu yang Chindy tutupi.
"Gue kesini, mau ngasih ini ke lo." Chindy berkata dengan hati-hati sambil menyodorkan sebuat amplop berwarna merah muda.
"Ini apa?" Bagas bertanya dengan dahi mengernyit.
Chindy dan Lia terlihat saling pandang, lalu kembali menatapnya.
"Itu dari Adel, untuk lo," ucap Lia dengan suara tertahan.
"Adel? Dimana dia?"
Chindy maupun Lia tidak menjawab. Mereka sama-sama seperti menahan sesuatu yang tidak bisa mereka katakan.
"Jawab gue, di mana Adel?!" teriak Bagas. "Terus kenapa kalian yang ngasih ini ke gue, bukan dia?"
Ekspresi wajah Lia dan Chindy terlihat berubah, membuat Bagas semakin bertanya-tanya dan penasaran. Tatapannya beralih pada Lia. Ia meminta Lia untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi.
Namun, bukannya menjawab, kedua mata Lia memerah. Ia menunduk, memutuskan kontak mata dengan Bagas.
"Bagas..." suara Chindy bergetar. Dia menelan ludah melihat tatapan Bagas yang terlihat mengerikan. "Sebenarnya... Adel udah nggak sekolah di sini lagi."
Bagas membungkam, "maksud lo?" tanyanya dengan pelan.
Chindy menghirup udara dalam-dalam, "Adel... udah pindah ke Jerman ikut ibu kandungnya."
Bagas kembali diam. Lidahnya terasa keluh, meskipun banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan tentang Adel. Rasanya seperti.... entah lah, campur aduk. Rasanya sulit untuk di jelasnya dengan kata-kata.
Dadanya terasa sesak. Parkiran sekolah yang tadinya ramai, mendadak terasa sepi. Hampa. Ia bahkan tidak mampu membuka mulutnya sedikit pun.
"Ini keputusan berat yang di ambil Adel mengingat dia masih sayang banget sama lo. Dia juga kecewa sama lo."
Bagas hanya diam.
Chindy mendekat pada cowok itu dan meraih tangannya. Ia mengulurkan sebuah gelang berwarna merah. "Ini juga gelang dari Adel." Chindy tidak bisa menahan air matanya lebih lama lagi. "Lo bisa nemuin jawaban dari semua pertanyaan lo di amplop itu."
Ini adalah kenyataan yang benara-benar sangat menyakitkan. Dan semakin sakit saat kenyataan ini ia ketahui dari orang lain.
Bagas menarik nafas lagi. "Kenapa Adel nggak bilang langsung sama gue? Kenapa harus kalian yang bilang ini semua sama gue?"
"Adel nggak bisa. Dia masih kecewa sama lo." Lia menjawab dengan suara tersendat-sendat.
"Tapi, kalo kayak gini gue lebih kecewa sama dia!" Bagas semakin lemah. Dia menatap gelang dan amplop itu dengan seluh penyesalan.
Bagas ingin mencarinya dan merengkuh tubuh cewek itu. Sungguh. Dia ingin berteriak bahwa dia sangat menyayangi Adel. Tidak peduli apa kata orang tentangnya.
Dan, dia ingin Adel kembali lagi bersamanya.
-0-0-
Hai Bagas.
Nggak kerasa ya aku udah ninggalin kamu lama. Maaf, aku pergi nggak bilang sama kamu. Aku masih kecewa saat kamu bilang kata putus. Sejujurnya, aku benci kata itu.Sebenarnya, aku pengin lebih lama lagi lihat wajah kamu. Tapi aku nggak bisa. Aku harus pindah ikut ibu kandungku ke luar negeri. Kamu nggak ilfeel kan, aku ngomongnya pake aku-kamu?
Aku mau bilang makasih, makasih banyak kamu udah memperbolehkan aku masuk ke kehidupan kamu. Semoga kamu cepat dapet yang lebih baik dari aku ya☺
Gelang itu kamu jaga ya. Suatu saat nanti, kalo kita emang jodoh, gelang itu bakal aku tagih lagi. Tapi kalo hehe....
Sudut bibir Bagas sedikit terangkat. Seketika memorinya terputar kembali saat dia kesal mendengar celoteh-celoteh Adel yang membuat telinganya panas.
Cieee ketawa haha
Gitu dong, jangan sedih-sedih lagi. Aku kan jadi tenang.
Aku legah kamu bilang putus. Setidaknya, aku jadi bisa pergi dengan hati legah. Hehe.Bagas, aku cuma mau bilang, aku sayang banget sama kamu. Walaupun aku jauh, tapi namamu selalu ada di hati ku. I love you.
"Adel." Jantung Bagas berdetak sangat cepat. Rasa penyesalan kembali datang padanya. Tapi bukannya ini yang ia mau?
-0-0-
Tbc
Jangan lupa vomment ya :)Wiwind❤❤❤
Rabu, 03 Juli 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Numbness (selesai)
Teen FictionHighest rank : #1 in boyfriend [15 januari 2019] "Jauh-jauh dari gue!" Ia mengibas-ngibaskan tangannya, seolah mengusir. Mau tidak mau Adel menurut, ia mundur dengan senyuman yang masih mengembang. "Jauh lagi!" Adel mundur lagi. "Lagi!" "Terus, la...