Adel sudah berada di kafe yang di usulkan Fahri yang terletak dekat sekolahnya. Seperti yang dijanji kan Fahri semalam, ia menemani Adel ke kafe itu untuk menemui si pemilik kafe.
Adel menatap seluruh ruangan yang didominasi warna-warna pastel, membuat siapa saja yang memandangnya terasa nyaman. Kursi dan meja tersusun rapi. Lampu-lampu tergantung dengan rapi di langit-langit ruangan. Pantas saja kata orang-orang mereka merasa nyaman berlama-lama di kafe ini.
"Ibu atasan sudah menunggu kalian di dalam."
Fahri dan juga Adel mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada salah satu staff yang bekerja di kafe itu. Mereka berjalan ke arah ruangan yang Adel yakini adalah ruangan si pemilik kafe. Fahri menarik knop pintu dan mendorongnya.
Saat pintu terbuka, Adel terlihat terkejut. Namun, beberapa detik kemudian dia bisa menetralkan raut wajah keterkejutannya dengan bersikap lebih tenang.
"Jadi ini yang mau bekerja di kafe saya?"
Fahri mengangguk, "iya, namanya Adel," jawab Fahri, kemudian Wanita itu menyuruh keduanya untuk duduk.
"Adel? Kamu waktu itu yang tidak sengaja saya tabrak di toilet restoran, kan?"
"I-iya," jawab Adel, terasa canggung.
"Wahhh, kebetulan sekali." Wanita itu berdiri dari duduknya lalu menarik tangan Adel untuk duduk di sofa yang tak jauh dari meja kerjanya. Fahri yang merasa ada tapi tak di anggap hanya bisa menghela nafas, membiarkan mereka berdua untuk lebih saling mengenal.
"Adel mau kerja di kafe Tante?" tanya Wina dengan mata yang berbinar.
Adel mengangguk antusias, "Mau, Tan."
"Kebetulan sekali, Tante lagi nyari pegawai wanita. Nanti Tante jelasin pekerjaan sama honornya," jelas Wina.
"Jadi, Adel di terima?"
Wina mengangguk sambil tersenyum manis.
Adel melebarkan matanya tidak percaya. Senyumnya mengembang bahagia. "Beneran, Tante?"
"Iya, Adel." Wina ikut menyunggingkan senyuman melihat senyum bahagia dari wajah Adel.
"Makasih, Tante."
-0-0-
"Adel, tolong kamu layani meja nomor dua puluh enam, ya. Kakak mau ke belakang sebentar."
"Iya, kak." Adel mengambil buku menu dan juga note lalu berjalan menuju meja nomor dua puluh enam.
Adel sibuk menulis nomor meja dan tanggal pada note itu sampai tidak menyadari siapa pengunjung di meja nomot tersebut.
"Silahkan, ingin memesan apa?"
"Adel?"
Tangan Adel berhenti bergerak mendengar suara yang tidak asing di telinganya. Perlahan ia mengangkat kepalanya. Mata Adel mengerjab ketika melihat Bagas bersama.... Chindy? Adel mencoba meredam emosinya dengan bersikap tersenyum setulus mungkin karena bagaimanapun mereka adalah pengunjung.
"Jadi lo kerja di sini?" Kini Chindy bersuara sambil tersenyum licik.
"Mau pesan apa?" tanya Adel lagi, mencoba mengabaikan pertanyaan Chindy.
Seringai di bibir Chindy semakin tampak jelas. "Dih, pelayan aja belagu lo!"
Adel masih tersenyum tulus walaupun terpaksa. Ia hanya menelan pahit-pahit ucapan Chindy. Kalau tidak saat ini adalah jam kerja, sudah di pastikan Adel akan membalas ucapan siluman ular itu.
"Sekali lagi, mau mesan apa?"
"Gue cappucino latte," ujar Bagas setelah lama terdiam.
"Jus jeruk."
"Ada tambahan?"
Bagas menggeleng. "Tapi, gue mau ngomong sebentar sama lo."
Adel kembali tersenyum. "Maaf, saya saat ini sedang berada pada jam kerja. Saya permisi."
Setelah mengatakan itu, Adel melangkah pergi. Ia menghembuskan nafas untuk menetralkan emosinya yang sudah ia tahan sejak tadi. Tak terasa, air matanya sedikit keluar dari ujung matanya. Sebenarnya ia adalah tipe gadis yang emosional. Seperti saat ini, ia ingin menangis jika tidak tau tempat.
Adel menghembuskan nafasnya untuk kesekian kali. Di tangannya sudah ada baki berisi minuman yang tadi mereka pesan. Sekali lagi ia mencoba menguatkan hatinya. Perlahan ia berjalan menghampiri meja dimana Bagas dan Chindy berada, dan meletakkan pesanan di meja mereka. Belum sempat ia beranjak pergi, suara Chindy yang terdengar memerintah membuatnya menoleh.
"Gue ganti sama jus alpukat." Cewek itu kembali menyodorkan jus jeruknya yang bahkan belum di minum sedikit pun.
Sebenarnya Adel bingung apa yang akan di perbuat Chindy. Tak urung ia tetap mengambil gelas berisi jus jeruk itu tanpa membantah. Ketika Adel ingin berjalan, kakinya tersandung sesuatu hingga membuatnya terjatuh. Bersamaan dengan itu terdengar pula suara gelas pecah. Adel yang merasa perih pada bagian tangannya perlahan mendongak, menatap pergelangan tangannya yang sudah mengeluarkan darah.
Beberapa pengunjung terkejut melihat tangan Adel yang semakin banyak mengeluarkan darah. Ada pula yang mencoba memanggil staff lain untuk membantu Adel.
Dari kejadian itu, Chindy tersenyum puas sambil beranjak dari duduknya. "Sorry, gue nggak sengaja."
Di liriknya Adel sekilas lalu melangkah pergi.
-0-0-
"Maksud lo apa gituin Adel?" tanya Bagas ketika berhasil mengejar Chindy. Cowok itu kali ini terlihat sangat marah.
"Kenapa emangnya, Gas? Bukannya dia pantes dapet itu semua?"
"Gila, ya, lo! Otak lo di mana?!" Bagas sama sekali tidak bisa mengendalikan emosinya. Apa lagi dengan mata kepalanya sendiri dia melihat Adel terluka, kali ini luka secara fisik.
"Kenapa sih, Gas? Bukannya lo nggak suka sama dia?"
"Cukup, Chin!" Dia mengepalkan kedua tangannya, mencoba meredam emosinya yang sudah sampai ke ubun-ubun. "Lo pikir, karena gue suka sama lo, lo bisa berbuat seenaknya aja gitu sama Adel? Gue masih pacarnya, Chin! Gue nggak percaya lo ngelakuin itu semua sama dia yang nggak pernah berbuat macem-macem sama lo!"
"Nggak berbuat macem-macem lo bilang? Jadi apa maksud dia ngerebut kasih sayang Papa gue? Ngerusak keluarga gue? Ngerusak kebahagian gue?" Cewek itu berteriak dengan suara bergetar. "Yang gue lakuin tadi, belum ada apa-apanya sama kelakuan dia ke gue!"
Bagas terdiam. Ia sekarang merasa bimbang ingin melindungi siapa. Tapi dengan spontan cowok itu memeluk tubuh Chindy. Bagas merasakan tubuh cewek itu bergetar. Tangisnya terdengar pilu. Tapi tanpa Bagas tau, itu hanya tangis kebohongan yang Chindy lakukan.
-0-0-
Updateee cuyyy
Jangan lupa vomment:)Sabtu, 01 Juni 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Numbness (selesai)
Fiksi RemajaHighest rank : #1 in boyfriend [15 januari 2019] "Jauh-jauh dari gue!" Ia mengibas-ngibaskan tangannya, seolah mengusir. Mau tidak mau Adel menurut, ia mundur dengan senyuman yang masih mengembang. "Jauh lagi!" Adel mundur lagi. "Lagi!" "Terus, la...