33

23.3K 962 8
                                    

"Sudah saatnya, aku harus terbiasa tanpa dia."

Menatap aktivitas kota ini membuat kedua sudut bibir Adel terangkat. Rasanya masih beberapa hari ia tinggal di sini. Namun, karena orang-orangnya yang begitu ramah hingga membuatnya cepat beradaptasi. Ia bahkan sudah mendaftar di sekolah barunya. Walaupun tidak semenarik dengan sekolah lamanya, ia tetap harus menjalankan kehidupan seperti anak sekolah lainnya.

Setelah dua minggu lebih berlalu, Adel mulai terbiasa dengan tidak adanya kehadiran Bagas. Walaupun rasanya masih sama. Senyum cowok itu masih terbayang di benaknya.

Ia menghela nafas seraya menumpukan tangannya pada pagar besi pembatas balkon. Ia tersenyum dan melambaikan tangan pada seorang wanita yang baru menyapanya. Wanita itu adalah tetangganya. Beliau memiliki tiga orang anak yang masing-masing anaknya sudah bekerja. Dia tinggal seorang diri semenjak suaminya meninggal dunia.

"Adel?"

Sapaan hangat seseorang membuat Adel menoleh. Ia mendapati Wina yang berjalan menghampirinya. Wanita itu tersenyum lembut hingga membuat Adel tidak ingin mengalihkan tatapannya.

"ikut Mama, yuk!"

"Ke mana, Ma?" tanya Adel.

"Ke kafe Mama."

Mata cewek itu melebar, "Mama punya kafe di sini?" tanya Adel tak percaya.

Wina mengangguk. "Hanya kafe kecil milik almarhum Ibu Mama, nenek kamu," jelas Wina.

Adel mengangguk-anggukan kepalanya dengan mulut membentuk huruf O. Ia akhirnya memutuskan untuk ikut dengan Wina walaupun rasanya dia tidak ingin kemana-mana.

-0-0-

Benar kata Wina, kafe ini tidak terlalu besar. Apalagi kalau di bandingkan dengan kafe di Indonesia yang juga miliknya. Sebelum pergi, wina mengatakan padanya harus menghadiri rapat dengan karyawan-karyawannya yang bekerja di kafe ini, dan memintanya untuk menunggu sebentar. Ada rasa bangga yang Adel rasakan melihat kerja keras Wina yang menjadi orang tua tunggal untuk dirinya.

Adel duduk di salah satu meja pojok dekat jendela dengan di temani secangkir chocolate panas. Ia menyeruput minuman itu melalui lubang sedotan sampai seperempat gelas sambil mengangguk-anggukan kepalanya menikmati alunan lagu lewat mengeras suara di sudut kafe.

Walaupun baru pertama kali ke sini, Adel sangat menyukai tempat ini. Ia tak pernah jenuh memandangi setiap tatanan interior kafe yang baginya sangat cocok untuk anak remaja sepertinya. Barang-barang antik yang terpajang di sudut-sudut kafe menambah kecintaan orang-orang untuk datang ke kafe ini.

Adel sangat menyukainya karena bisa membuat hatinya lebih tenang, apalagi ketika segemercik air hujan yang turut menemani kesendiriannya. Ia tersenyum melihat ke arah jendela yang menampakkan senja sore yang terlihat indah.

Tiba-tiba ada seseorang yang mencolek bahunya. Adel menoleh untuk mencari tahu siapa orang yang sengaja mengganggunya. Di hadapannya sudah berdiri seorang cowok berjaket levis dengan rambut sedikit lepek karena basa. Wajah asing itu tersenyum padanya.

Adel mengerutkan dahinya. Ia tidak pernah bertemu dengan cowok ini sebelumnya. Tapi kenapa dia berlagak sok kenal?

"Lo siapa?" tanya Adel dengan ketus.

"Hai, Adelia!" sapa cowok itu masih tersenyum membuat Adel lagi-lagi mengerutkan dahi. Dari mana dia tau nama Adel?

"Kenalin," ucapnya sambil mengulurkan tangan, namun tak kunjung di sambut Adel. Ia tersenyum mengerti dan kembali menarik tangannya dan menyebutkan namanya. "Gue Eires."

Dengan kening yang masih berkerut, Adel tak juga menjawab atau pun membalas ucapan cowok itu.

"Belum kenal juga?" tanyanya yang mulai tak sabar. "Tunggu sebentar."

Eires berdeham sebelum memulai apa yang akan dia lakukan. "Sepeda kuning, sepeda kuning. Itu punya aku! Ih, apaan. Ini teh punya maneh!" Eires menirukan suara anak kecil yang tidak asing di telinga Adel.

Ingatan Adel seolah terlempar kembali pada kejadian bertahun-tahun yang lalu. Ia jadi teringat saat dia menangis karena berebut sepeda kuning dengan seorang anak laki-laki yang sering mengganggunya saat masih tinggal di panti.

Adel menatap cowok itu dengan mulut yang terbuka tidak percaya. Ia tidak mungkin salah bahwa cowok di depannya ini adalah teman masa kecilnya dulu. "Lo Ecup?"

Senyum di wajah Eires memudar. Ia bahkan terlihat kesal saat Adel menyebut nama itu.

"Gue Eires, bukan Ecup!"

"Idih, apaan lo Eires-Eires! Lo itu Ecup yang dulunya sering ngompol di celana. Ngaku lo!"

Eires membekap mulut Adel ketika cewek itu mengencangkan suaranya. "Sstttttt..... jangan buka kartu lo! Itu nama gue yang dulu."

"Astagaaa.... bener, kan, lo Ecup. Ngapa lo sok-sok an ganti-ganti nama segala sih, Cup?"

Eires berdecak kesal. "Panggil gue Eires!" ucapnya mengingatkan Adel.

"Lo kok bisa ada di sini?" tanya Adel yang mulai penasaran.

"Gue udah lima tahun di Jerman ikut orang tua angkat gue, dan gue juga nggak tau bisa jumpa lo lagi di sini." Eires menjelaskan sambil tersenyum menyeringai.

"Tapi lo kok bisa kenal gue? Kita, kan, udah lama nggak pernah ketemu?"

"Astaga Adel, gue itu tetangga lo!"

Adel mendelik, "masa?"

Cowok itu mengangguk. "Pas lo baru pindah, gue liat lo jalan-jalan sendirian di komplek. Terus kata Mama gue lo itu dari Indonesia. Gue pikir-pikir, kayaknya kita pernah ketemu sebelumnya. Ternyata bener, lo temen masa kecil gue yang suka nangis di sudut kamar."

Spontan Adel memukul bahu Eires karena telah mengingatkannya pada kejadian saat masih tinggal di panti.

Tawa nyaring Eires menggelegar seisi kafe membuat beberapa orang menatap ke arah mereka.

"Lo masih aja lucu kayak dulu."

-0-0-

Tbc
Kalo ada kesalahan kasih tau aku ya:)

Jangan lupa vomment ya:)

Wiwind❤❤❤

Jumat, 05 Juli 2019

Numbness (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang