Setelah mengantarkan Adel sampai rumahnya dengan selamat, Imam memilih untuk pulang. Ia tidak mau membuat Bundanya khawatir karena pulang terlalu malam.
Imam merebahkan tubuhnya di atas kasur kamarnya. Cowok itu merasa kepalanya kembali berdenyut pusing. Ia mencoba memejamkan mata untuk meredahkan rasa sakit yang bersarang di kepalanya. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang mulai panas-dingin dan menggigil. Bibirnya tampak pucat, matanya terlihat sangat sayu.
Pintu kamarnya terbuka. Seorang wanita dan pria paruh baya masuk dengan raut wajah cemas. Derap langkah yang begitu jelas terdengar di telinganya membuat Imam menolehkan kepala melihat Ayah dan Bundanya berjalan menghampirinya.
Melihat raut wajah cemas di kedua wajah orang tuanya, Imam mencoba tersenyum, seolah mengatakan ia tidak apa-apa. Ia mengubah posisi menjadi duduk dengan menyenderkan kepalanya di kepala ranjang. Rintihan pelan keluar dari mulut cowok itu saat kepalanya terasa sangat pusing.
"Sayang, udah Bunda bilang jangan banyak gerak dulu, kamu belum sembuh seratus persen. Bunda nggak mau kamu kenapa-napa," ucap Dilla--Bunda Imam-- seraya mengusap kepala anaknya dengan lembut.
"Imam nggak apa-apa kok, Bun."
Imam memegang kepala yang semakin sakit di rasakannya. Nafasnya kian tidak teratur. Dilla dan Hanif yang melihat itu merasa sangat khawatir. "Nak... kamu kenapa?" Suara Dilla bergetar melihat putranya harus merasakan ini semua.
"Yah, ambilin tabung oksigen di samping lemari. Cepat, Yah!" teriak Dilla saat melihat Imam kesulitan bernafas.
"Bun, jangan nunggu buat besok. Kita bawa Imam ke rumah sakit, sekarang!" Hanif tidak lagi tahan melihat putranya kembali merasakan sakit seperti saat ini. Dengan cepat mereka membawa Imam ke rumah sakit.
-0-0-
"Gilaaa, cewek di sana cantik-cantik banget, Gas. Lo nggak ada sedikit pun tergiur gitu?" ucap Jaka menggebu-gebu.
Bagas berdecak, "nggak ada yang buat gue selera."
Cowok itu masih fokus menyetir, tapi Jaka yang memang banyak bicara selalu saja membuyarkan fokusnya. Dan itu mampu membuat mobil yang ada di belakang mereka mengklakson nyaring.
"Btw, lo nggak biasanya ngajak gue ke clup. Lo lagi berantem sama Adel?" tanya Jaka mencoba menebak.
Bagas hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Jaka yang jelas-jelas tertuju padanya.
Beberapa detik Jaka menunggu jawaban dari temannya itu, tapi lagi-lagi pertanyaannya hanya lah angin berlalu.
"Kacang! Kacang sekilo mahal!" sindir Jaka. Matanya fokus melihat bangunan-bangunan pencakar langit yang ada di sebelah kirinya dengan wajah cemberut.
Setelah sekian lama berdiam, akhirnya Bagas membuka suara. "Gue bingung."
Jaka menoleh dengan malas, "Bingung nape lo?" tanyanya ogah-ogahan.
"Seharian Adel nggak ada hubungi gue. Biasanya dia luan yang nelfon gue."
"Nah, kenak kan lo! Ada, lo sia-siain, nggak ada lo cariin. Makanya jadi cowok tuh, jangan pake jual mahal segala. Suka bilang suka, kalo nggak suka putusin dah, tuh, si Adel," cerocos panjang lebar Jaka. Ia tidak habis pikir dengan sikap Bagas pada Adel. Sebentar merasa kasihan, sebentar bodo amatan.
"Tuh, bibir enak banget ngomong putus ya. Lo nggak ngerasain jadi gue gimana."
"Dih, jadi lo? Amit-amit! Pait banget gue sampe nyakitin hati cewek sebaik Adel!"
Bagas bungkam. Ia tidak membalas ucapan Jaka barusan. Ia kembali fokus pada jalanan. Ingatannya kembali tertuju pada kejadian beberapa hari yang lalu saat ia lebih memilih mengejar Chindy dari pada menolong Adel yang saat itu sedang terluka.
"Gas, bukannya itu Yoora adik Imam." Jaka menunjuk seorang cewek yang sedang duduk sendiri di halte depan rumah sakit. Matanya fokus ke ponsel yang ada di tangannya.
Bagas mengikuti arah tunjukkan Jaka. Dan benar saja, di sana ada Yoora adik Imam. Mobil Bagas perlahan menepi tidak jauh dari keberadaan gadis SMP itu.
Jaka dan Bagas keluar dari mobil dan menghampiri Yoora yang belum menyadari keberadaan mereka.
"Yoora," panggil Jaka.
Gadis SMP itu menoleh pada mereka dengan raut wajah tak suka. "Mau apa kalian?"
Bagas mengernyit melihat reaksi Yoora seperti itu. Tidak biasanya gadis itu bersikap seperti itu pada mereka.
"Lo nggak inget kita siapa?"
"Buat apa gue inget orang-orang nggak jelas kayak kalian," sengit Yoora dengan nada suara semakin ketus.
"Wahhhh, songong nih, bocah!" gumam Jaka kesal.
"Kita temen Abang lo, Imam," ucap Bagas untuk menyakinkan gadis itu.
Yoora berdecih, "Temen Abang gue? Sorry, Abang gue nggak punya temen yang di saat dia lagi butuh, mereka malah ngilang!" Setelah mengatakan itu, Yoora meninggalkan mereka yang sedang kebingungan dengan maksud ucapan gadis itu.
"Kita ada salah ya, Gas?"
-0-0-
Kini Yoora berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Rasanya ia belum puas mengeluarkan unek-uneknya pada Jaka dan Bagas. Tapi, ia sudah berjanji pada Imam untuk merahasiakan penyakitnya dari kedua temannya itu.
Setelah sampai di depan ruang rawat inap Imam, Yoora tidak langsung masuk. Ia memilih duduk untuk meredahkan emosinya yang belum benar-benar meredah. Setelah ia merasa emosinya benar-benar redah, gadis SMP itu masuk ke ruangan dimana Imam di rawat.
Ia melihat Ayah dan Bundanya sedang mengobrol pada salah satu dokter yang menangani Imam.
Yoora berjalan menuju brankar Imam terbaring. Dia memandangi wajah pucat Abangnya itu dengan raut wajah sedih. Ia belum pernah melihat Imam begitu tersiksa dengan penyakitnya saat ini. Tubuh yang tampak kurus dan kantung mata semakin terlihat jelas membuat hati Yoora meringis.
Jam sudah menunjukkan pukul 00.15. Namun, cowok itu belum juga menunjukkan tanda-tanda untuk bangun.
"Bang, bangun dong! Lo nggak kasihan sama Ayah Bunda, mereka nangis mulu liat lo kayak gini." Yoora mengusap air matanya yang mengalir di pipi. "Katanya lo mau ikut turnamen taekwondo tahun ini, kalo gitu lo harus sembuh."
"Kenapa sih, lo ngutamain perasaan temen lo dari pada perasaan lo sendiri? Gue tau lo lebih sayang Kak Adel daripada diri lo sendiri, kan? Lo udah masuk ke dalam kategori bucin!"
Yoora menyentuh punggung tangan Imam yang bebas infus, lalu menggenggamnya. "Jangan lama-lama tidurnya."
-0-0-
Updateee
Lama Imam nggak nampak di cerita ini karena dia sakit.
Aku pengen kalian hayati, ya.Jangan lupa vomment:)
Jumat, 07 Juni 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Numbness (selesai)
Teen FictionHighest rank : #1 in boyfriend [15 januari 2019] "Jauh-jauh dari gue!" Ia mengibas-ngibaskan tangannya, seolah mengusir. Mau tidak mau Adel menurut, ia mundur dengan senyuman yang masih mengembang. "Jauh lagi!" Adel mundur lagi. "Lagi!" "Terus, la...