39

18K 702 12
                                    

"Jadi lo udah tiga tahun jadi relawan di Panti ini?"

Eires mengangguk. "Sebenarnya, gue relawan baru di sini. Gue cuma meneruskan relawan-relawan lain yang udah pensiun. Kadang relawan dari negara lain juga sering datang ke sini main bareng anak panti," jelasnya yang sangat Adel pahami.

Adel ternganga sebentar mendengar cerita Eires. "Jadi maksud lo, relawan di sini dari berbagai negara, gitu?"

Eires mengangguk mantap. "Panti ini di dirikan UNICEF sekitar 7 tahun yang lalu. Jadi, ya... relawannya juga dari berbagai negara."

Tiba-tiba, saat asyik mendengar cerita Eires, seorang anak laki-laki berusia sekitar 7 tahun datang menghampiri Adel dengan membawa buku pelajaran matematika.

"Kakak, bantuin Yohan ngerjain pr ini," ucapnya agak merengek pada Adel.

Adel tentu dengan senang hati untuk membantu anak laki-laki yang bernama Yohan itu.

Satu jam tidak terasa sudah berlalu. Adel sudah selesai membantu Yohan mengerjakan pr nya. Sekarang ia dan Eires bersiap untuk pulang. Namun, saat ingin pamitan pada anak-anak panti, ponsel Adel tiba-tiba bergetar. Ia menghela nafas saat melihat layar ponsel itu menampilkan nomor yang sangat Adel kenali. Cewek itu menjauh untuk mengangkat telponnya.

Adel sedikit ragu, tapi perlahan dia menempelkan ponsel itu ke telinganya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

"Assalamualaikum," sapa seseorang dari seberang sana dengan suara lembut.

Adel tidak menjawab. Dia memejamkan matanya sesaat, lalu menghembuskan nafas melalui mulut.

"Waalaikumsalam." Adel menyambutnya tak kalah lembut dan pelan.

"Gimana kabar lo?"

"Jauh lebih baik dari sebelumnya," jawab Adel dengan tenang.

Hening. Beberapa saat Bagas tidak mengeluarkan suara. Sampai suara helaan nafas dapat Adel dengar dari seberang sana.

"Lo nggak balik lagi ke Indonesia?" tanyanya membuat Adel terdiam cukup lama.

"Sepertinya." Agak susah sebenarnya Adel mengatakan kata itu, tapi apa boleh buat. Ia dan Bagas tidak akan pernah seperti dulu lagi. "Udah dulu, ya? Gue mau istirahat."

"Del, tunggu sebentar."

"Apa lagi, sih, Gas?! Gue capek!"

Bagas terdiam, lalu tak lama berkata, "Kenapa lo ngehukum gue kayak gini, sih, Del? Kalo lo kecewa, marah sama gue, lo bisa mukul gue. Lo bisa caci maki gue, tampar gue, atau perlu permalukan gue kayak yang gue lakuin ke lo dulu. Tapi gue mohon lo balik ke Indonesia."

Adel menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangisnya. Adel semakin rapuh saat Bagas terus-terusan menyalahkan dirinya sendiri.

"Del--"

"Bagas, cukup!" Tangis Adel sudah tidak tertahan. Dia membekap mulutnya dengan sebelah tangannya. "Cukup! Lo nggak perlu ngomong gitu lagi! Walaupun lo mau memperbaiki semuanya, itu sia-sia. Kita nggak bisa kayak dulu lagi."

"Gue cuma nggak bisa bayangi kalo lo bareng sama cowok lain di sana," kata Bagas. "Gue udah terlanjur sayang sama lo."

Adel menahan nafasnya sejenak lalu menghembuskannya. "Bagas."

"Apa?"

"Gue udah punya pacar di sini, dan sekarang untuk lo lupain gue."

-0-0-

Seperti yang Adel mau, Bagas berusaha untuk melupakannya. Dengan jalan satu-satunya yaitu melampiaskannya di sebuah clup malam. Tidak ada tempat lain selain berakhir di tempat terkutuk ini. Pola pikir cowok itu sekarang tidak sejernih dulu. Tubuhnya seakan tidak terurus. Ia bahkan sudah beberapa hari tidak masuk sekolah dan memilih untuk membolos.

Bagas mengembuskan asap berwarna putih itu lagi ke udara. Tak tanggung-tanggung, dia sudah menghabiskan empat batang puntung rokok. Cowok itu benar-benar sangat frustasi sampai menyebut-nyebut nama Adel dalam gumamannya.

"Gila, lo! Bener-bener gilak!" Jaka menepis tangan Bagas saat cowok itu ingin menempelkan gelas minuman beralkohol ke bibirnya. "Udah bangsat!"

"Apaan sih, lo!" Cowok itu berdecak. Lalu matanya beralih pada seorang cewek di sebelah Jaka. "Kenapa lo ada di sini? Kok bukan Adel?" tanyanya membuat cewek itu tertegun lama.

Chindy tahu, Bagas sangat menyayangi Adel. Tapi bukan seperti ini yang di harapkan Chindy pada Bagas. Menyakiti diri sendiri di sebuah klub malam. Di sini bukan hanya Bagas yang tersakiti, tapi juga justru Adel kalo cewek itu mengetahui keadaan Bagas yang sekarang sangat memperihatinkan.

"Pulang lo! Orang tua lo capek nyariin lo semaleman. Lo nggak sayang sama mereka? Karena cewek lo kayak gini? Ubah pola pikir lo, Gas. Masih banyak cewek di dunia ini," ucap Jaka yang tiba-tiba emosinya tersulut.

"Lo bisa diem, nggak? Lebih baik lo bawain Adel kesini! Gue butuh dia, gue sayang sama dia. Kenapa dia harus ketemu sama cowok brengsek kayak gue, sih?!"

"Di dunia ini cewek masih banyak, Gas. Kalo garis takdir lo emang Adel sebagai jodoh lo, lo bakal berjodoh sama Adel."

"Kalo nggak?"

Jaka terdiam membisu mendengar ucapan Bagas. Apa lagi yang harus ia katakan pada Bagas agar cowok itu sadar? Apa memukulinya seperti yang pernah Imam lakukan? Itu tidak akan menyelesaikan masalah. Sekarang Jaka juga benar-benar gila menghadapi temannya yang satu ini.

"Bagas," panggil Chindy berusaha memberanikan diri.

Bagas menoleh malas pada cewek itu. "Apa?"

Chindy menelan ludahnya saat tidak sengaja bertatapan langsung dengan tatapan tajam milik Bagas. "Lo nggak bisa terus-terusan kayak gini. Orang tua lo pasti sedih. Dan Adel bakal marah sama lo kalo dia tau keadaan lo kayak gini. Sekarang lo pulang, ya?" ucap Chindy mencoba membujuknya.

"Berisik lo! Tahu apa lo tentang hidup gue? Lo bahkan jadiin gue pelampiasan, kan?"

"Ba-"

Belum juga Chindy menyelesaikan ucapannya, Jaka terlebih dahulu berbisik tepat di telinganya. "Udah, Chin. Jangan di terusin. Lebih baik kita bawa Bagas pulang secara paksa."

Jaka menarik tangan Bagas lalu membopong tubuh cowok itu menuju mobil. Samar-samar Jaka mendengar Bagas bergumam menyebut-nyebut nama Adel.

Nggak percaya gue. Cuma gara-gara cewek Bagas jadi sehancur ini.

-0-0-

Baru bisa update karena wpku tiba-tiba seminggu ini nggak bisa terbuka😭😭 aku juga nggak tau kenapa sering error-error gini.

Maaf kalo ceritanya makin nggak jelas.

Jangan lupa vomment ya:)

Wiwind❤❤❤

Sabtu, 20 Juli 2019

Numbness (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang