Adel membuka matanya ketika mendengar suara ribut-ribut yang berasal dari lantai bawah. Cepat-cepat dia bangkit, lalu keluar untuk melihat apa yang terjadi.
Sampai di sebuah ruangan yang terhubung langsung dengan pintu utama, kakinya mendadak lemas. Dia tersentak melihat Dony menampar Chindy hingga terjatuh.
"Papa!" Adel berlari menghampiri Chindy untuk membantunya, namun dengan cepat Chindy menyentaknya dan bersikap sinis.
"Ngapain lo ke sini?!" Chindy bertanya dengan nada kebencian. "Mau nyari muka lo? Mau di bilang pahlawan kesiangan lo, hah?!"
"Chindy, jaga ucapan kamu!" sentak Dony menahan amarahnya.
Chindy tidak menghiraukan ucapan Dony. Dia bangkit, lalu maju menghadap Adel. "LO UDAH PUAS NGAMBIL SEMUA KEBAHAGIAN GUE?!" teriaknya membuat Adel mundur.
"Chin..."
"Lo itu cuma benalu di keluarga gue! Dan sekarang Mama di usir Papa itu semua karena lo!" Chindy berteriak lagi. Kali ini membuat Adel menelan ludahnya. "Dan sebentar lagi gue bakal di usir Papa. Gue nggak punya siapa-siapa lagi sekarang!"
Adel menoleh pada Dony yang saat itu menunjukkan raut wajah sendu. Ia menatap Dony, mencoba meminta penjelasan lebih padanya. Tapi Dony hanya membuang muka ke arah lain.
"Mungkin lo sama ibu lo dulu sama, ya. Sama-sama perusak, makanya lo di buang!"
"CHINDY!" Dony kembali tersulut emosi. "Jaga ucapan kamu! Dari dulu Papa nggak pernah ngajarin kamu untuk bersikap kasar sama orang lain apalagi sama kakak kamu sendiri!"
"Kakak? Cuih! Aku nggak sudih punya kakak kayak dia!"
Setelah mengatakan itu, Chindy berlari masuk ke dalam. Adel memandang nanar punggung Chindy yang kian menjauh. Sakit hati saat Chindy mengatakan dia dan ibunya sama-sama perusak terasa di hatinya.
Ibunya perusak? Sampai saat ini pun ia belum pernah melihat wajah Ibunya. Jadi kenapa Chindy menganggapnya seperti itu?
Dony mendekat pada Adel dan langsung merengkuhnya. "Jangan dengerin kata Chindy, ya, Del." Dony menyapu lembut rambutnya, membuat Adel memejamkan mata sesaat.
"Mama kemana, Pa? Papa ngusir Mama, ya?
Dony mengangguk, "Papa nggak bisa terus-terusan sama Mama kamu. Ternyata selama ini, Mama kamu hanya menginginkan harta Papa aja, untuk berfoya-foya."
Adel menghela nafas panjang setelah itu berkata, "Pa, maafin Adel, kalo Adel ngerusak kebahagian kalian. Adel juga nggak mau kayak gini..." suara Adel parau. Ia semakin erat memeluk Dony.
"Jangan pernah merasa bersalah, Del. Kamu nggak perlu minta maaf, karena kamu nggak salah." Dony mengusap bahu Adel pelan. "Udah mau jam setengah tujuh. Sebaiknya kamu siap-siap. Nanti Papa anter kamu ke sekolah."
Adel mengangguk, dan mulai berjalan meninggalkan Dony.
-0-0-
"BAGASSSS!!"
"BAGAS MAU KEMANA?!"
"BAGAS KEMAREN KENAPA NINGGALIN ADEL???"
Adel terus meneriaki nama Bagas, namun cowok itu terus berjalan dan tidak menghiraukannya. Bagas melihatnya, namun ia memalingkan muka dan malah menghampiri Chindy yang sedang menunggunya.
Adel membisu melihat itu. Dia hanya bisa memperhatikan gerak-gerik mereka. Tapi yang membuat Adel tercengang, Bagas memeluk cewek itu di hadapannya.
"Bagas?" Bekal yang di bawanya langsung ia sembunyikan begitu Bagas kembali tidak menghiraukannya.
Bagas dan Chindy pergi entah kemana. Ia menatap nanar bekal yang tadinya akan ia beri ke Bagas. Tapi yang ia dapat malah kejadiaan yang memilukan.
Ia tertunduk lesu meninggalkan koridor. Tapi, tiba-tiba sebuah tangan besar merebut bekal itu dari tangannya, dan membuat Adel tersentak.
"Eh?"
"Untuk gue, kan?"
"Xel, itu--"
"Makasih." Axel tersenyum lalu beranjak dengan membawa bekal itu. "Tempatnya besok gue balikin!" teriaknya tanpa memperdulikan orang-orang sekitar yang menatap mereka.
Adel masih terpatung di tempatnya. Ia mengerjab beberapa kali ketika mendengar bisik-bisik yang yang tidak mengenakan tentang dirinya dan Axel. Pasti mereka salah paham apa yang mereka lihat barusan. Adel benci menjadi pusat cibiran!
Akhirnya dia memutuskan untuk cepat-cepat pergi. Ia terus berjalan mengikuti langkah kakinya yang entah akan membawanya kemana, dan berakhir pada rooftop. Adel sangat mensyukuri sekolah ini memiliki rooftop, ya...walaupun tidak begitu luas. Tapi tempat ini cukup untuknya menyendiri seperti sekarang. Dan tempat ini juga cukup untuknya memikirkan sikap Bagas yang cepat sekali berubah. Kejadian yang ia lihat tadi meyakinkannya kalau Bagas belum menyukainya.
-0-0-
Adel tiba di rumah dengan wajah murung. Ia mengernyit melihat mobil seseorang terparkir di depan rumahnya. Ia tidak tau mobil ini milik siapa. Yang jelas, Adel jadi penasaran.
Ia berlari masuk ke rumah. Ketika Adel menatap ruang tamu, ia melihat seorang wanita paruh baya sedang berbincang dengan Dony. Ia tidak tau siapa wanita itu karena dia duduk membelakangi Adel.
"Del, udah pulang?" Dony melontarkan ucapan itu ketika dia melihat Adel yang berdiri tak jauh dari mereka. "Sini, ada yang mau Papa kenalkan padamu." Dony menepuk tempat kosong di sebelahnya. Namun, Wanita itu tidak juga menoleh sedikit pun.
Adel menurut. Dengan langkah pelan, ia berjalan mendekati Dony dan mencium punggung tangannya. Ketika ia ingin menyapa wanita yang ingin di kenalkan Dony padanya, mata cewek itu membelalak.
"T-tante Wina..."
Senyum Wina mengembang. Namun, sedetik kemudian ia mulai terisak. Pandangannya tidak lepas dari Adel. Adel yang melihat itu bingung karena tiba-tiba Wina menangis.
"Adel." Dony menepuk bahu Adel pelan. "Kenalkan ini Wina, teman Papa," ucapnya kepada Adel. "Wina, kenalkan ini Adel..." Ucapan Dony di akhir terdengar memelan, seperti gumaman.
Tangis Wina semakin menjadi-jadi. Ia menarik cepat Adel kedalam pelukannya. Menyalurkan kerinduan yang amat besar pada sosok yang ada di pelukannya ini, sosok yang sudah pernah ia peluk dulu.
"Adel...." parau Wina terdengar pilu di telinga Adel.
Adel masih terkejut dengan perlakuan Wina yang tiba-tiba memeluknya. Ia tidak tau kenapa Wina memeluknya dan menangis seperti ini.
Adel menoleh pada Dony untuk meminta penjelasan lebih, tapi Dony lagi-lagi membuang muka. Rasa penasaran sudah di ambang batas. Ia curiga Dony menyembunyikan sesuatu padanya.
"Pa, Tante Wina kenapa?"
"Del, dia--" Ucapan Dony menggantung karena Wina memotongnya lebih dulu.
"Maafin Mama, Del."
Seperti tubuh tanpa tulang, seluruh tubuh Adel melemas. Lidahnya terasa kaku untuk berucap, walaupun banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Dony. Adel diam, tapi air matanya tidak bisa di tahan untuk keluar. Pandangannya mengabur, dan terakhir ia dengar suara Wina dan Dony yang memanggil namanya.
-0-0-
Tbc
(Aku kurang srek sama chapter ini, serius. Tapi aku nggak tau lagi gimana biar bisa upadate😭😭😭 maafin aku, ya. Aku tau kalian banyak yang kecewa😭😭)
Jangan lupa vomment ya:)
Wiwind❤❤
Minggu, 30 Juni 2019

KAMU SEDANG MEMBACA
Numbness (selesai)
Teen FictionHighest rank : #1 in boyfriend [15 januari 2019] "Jauh-jauh dari gue!" Ia mengibas-ngibaskan tangannya, seolah mengusir. Mau tidak mau Adel menurut, ia mundur dengan senyuman yang masih mengembang. "Jauh lagi!" Adel mundur lagi. "Lagi!" "Terus, la...