Semilir angin malam menyapa pori-pori kulit Adel. Aroma segar petrichor dari hujan tadi sore kembali menyerebak di indera penciumannya. Jam sudah menunjukkan pukul 21.15, ia baru saja pulang kerja. Cewek bergardigen hitam itu berjalan di pinggir keramaian orang-orang yang berlalu lalang dengan kendaraan. Dia menatap luka di tangannya dengan lesu. Luka yang lumayan lebar itu kini sudah tertutup dengan kain kasa.
Adel tak habis pikir dengan jalan pemikiran Chindy. Apa yang dia dapat dari melukai orang lain seperti Adel? Kebahagian? Atau kesenangan? Kenapa tidak langsung membunuhnya saja?
Lagi. Ia membuang nafas panjang dari mulutnya. Rasanya beban yang ia rasa semakin hari semakin menumpuk di bahunya. Gadis itu terduduk di trotoar dengan wajah tertunduk. Dia menangis. Menangis dalam diam tanpa orang mengetahui.
"Adel?"
Suara itu membuat Adel mengangkat wajahnya dan menoleh. Matanya mengerjab ketika menangkap sosok Imam yang duduk di atas motor sportnya tanpa melepas helm. Cowok itu melepas helmnya lalu turun dari motor, dan menghampiri Adel.
"Udah larut kenapa masih di luar?" tanya Imam.
"Gue baru pulang kerja," jawabnya sambil mengusap sisa air mata yang ada di pipinya.
Imam berjongkok di depannya, mengamati wajah cewek itu. "Lo nangis?"
Adel terkekeh, "E-enggak. Cuma kelilipan doang."
Jelas Adel berbohong, Imam tau itu. Tampak dari wajahnya tidak ada sinar kebahagiaan. Kenapa Adel harus menutupi luka-lukanya? Imam siap jika Adel ingin bercerita, tapi Imam tidak bisa mendesak Adel untuk meluapkan isi hatinya. Kenapa cewek sebaik Adel harus merasakan masa-masa sulit yang tidak pernah di rasakan anak sekolah lainnya? Apakah semesta bertindak tidak adil?
Mata Imam beralih menatap tangan Adel yang tertutup kain kasa. Ia ingin bertanya, tapi sepertinya tidak pantas mengingat ia bukan siapa-siapa Adel.
"Gue anter pulang yuk!" Imam beranjak dari posisi jongkoknya, lalu ia beralih menatap Adel yang hanya diam.
"Ayo, gue anter pulang!"
"Ng-nggak usah, Mam," tolak Adel tersadar apa yang Imam katakan. "Rumah gue dikit lagi nyampek kok."
"Alah, nyantai kali, Del. Anggap aja gue nganter lo pulang sebagai bentuk pertemanan." Imam terkekeh, lalu menyuruh Adel untuk naik ke motornya.
Adel tampak diam. Awalnya ia ragu, tapi berhubung sudah malam dan tidak mungkin ada lagi angkutan umum yang masih beroperasi, akhirnya ia naik ke motor itu.
-0-0-
Setelah mengucapkan terima kasih , Adel tersenyum pada Imam yang sudah melaju pergi meninggalkan perkarangan rumahnya. Adel menghela nafas lalu berjalan masuk ke dalam rumahnya dengan langkah pelan. Lampu di seluruh ruangan sudah di matikan, dan hanya tersisa hanya dapur dan kamarnya yang masih terlihat terang. Ia mengendap-endap saat kakinya melewati kamar orang tua angkatnya.
Setelah di pastikan seluruh penghuni rumah sudah tidur, Adel bernafas legah. Ia berjalan ke arah tangga tanpa ada suara sedikit pun. Ketika kakinya ingin menapakkan di anak tangga paling bawah, tiba-tiba saja lampu di seluruh ruangan menyala, dan itu mampu membuat Adel terkejut.
"Dari mana kamu?!"
Perlahan Adel menoleh pada Mila, dan beberapa detik kemudian ia menelan ludah dengan mata melebar. Bukan hanya ada Mila, tapi Dony juga.
"Dari mana?" Kali ini Dony yang bertanya, tapi tidak langsung menyudutkan Adel.
"Ng... anu." Adel menggaruk belakang kepalanya. Apa yang akan ia katakan pada Dony? Adel tidak ingin Dony marah ataupun mengetahui kalau ia bekerja paruh waktu.
"Ini mas anak yang kamu bangga-banggain? Kamu lihat sendiri, kan, kelakuannya? Tiap hari selalu pulang malam kalau tidak ada kamu di rumah," semprot Mila, namun yang di katakannya itu semua bohong.
Adel hanya diam dan menundukkan kepala dalam-dalam. Ia tidak berani menatap Dony, itu sama saja menghancurkan perasaan Dony.
"Kenapa kamu diam saja?! Kami bertanya, kamu dari mana, Adel?!" teriak Mila dengan suara yang menggema di seluruh ruangan.
"Sudah lah, Ma. Adel mungkin lelah. Biarkan dia istirahat dulu," ucap Dony mencoba menengkan Mila agar tidak terus-terusan menyudutkan Adel.
Mila melirik tajam suaminya, "selalu saja kamu belain anak kamu ini. Sudah tau dia itu salah!"
"Bukan begitu Ma-"
"Ah, sudah lah!" Mila beranjak pergi menuju kamarnya dengan misuh-misuh, lalu membanting pintu sekuat-kuatnya.
Dony tidak bisa apa-apa melihat itu. Ia beralih menatap Adel yang masih setia tertunduk, sebagian rambut menutupi wajahnya. Sebenarnya ia tidak tega memarahi Adel saat melihat luka di tangan putrinya itu.
Pria paruh baya itu mendekat pada Adel, lalu mengusap rambutnya. "Sekali lagi Papa tanya, Adel dari mana?"
Perlahan Adel mengangkat kepalanya, menatap wajah Dony yang tampak lelah. "Adel kerja, Pa."
"Kerja?" beo Dony dengan wajah terkejut.
Cewek itu tersenyum, "Adel kerja paruh waktu."
"Kenapa? Uang yang Papa kasih kurang?"
"Nggak! Nggak gitu, Pa! Adel cuma ngabisin waktu luang aja, kok. Uang yang Papa kasih itu lebih dari cukup buat Adel."
Dony tersenyum. Tanpa ia ketahui uang itu sudah di ambil Mila dari Adel.
"Sudah, obati luka kamu setelah itu istirahat. Jangan di pikirin ucapan Mama kamu tadi, ya."
"Iya, Pa."
Dony merentangkan tangan sambil menaikan sebelah alisnya. "Mau peluk?"
Adel mengangguk, lalu memeluk Dony dengan erat. Pria paruh baya itu mengusap lembut rambut putrinya. Dony pernah berjanji pada semesta dan dirinya sendiri untuk membahagiakan Adel selayaknya putri kandungnya sendiri.
"Jangan buat Papa khawatir, Del."
-0-0-
Updateee hehe😁
Gimana? Gimana part ini?
Lanjut? Yay or nayJangan lupa vomment guys:)
Selasa, 04 Juni 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Numbness (selesai)
Fiksi RemajaHighest rank : #1 in boyfriend [15 januari 2019] "Jauh-jauh dari gue!" Ia mengibas-ngibaskan tangannya, seolah mengusir. Mau tidak mau Adel menurut, ia mundur dengan senyuman yang masih mengembang. "Jauh lagi!" Adel mundur lagi. "Lagi!" "Terus, la...