Siang ini Adel sudah berada di kafe untuk kembali bekerja. Sebelumnya Bagas mengabarinya kalau cowok itu tidak bisa mengantarkan Adel karena harus menemani Jaka ke suatu tempat. Adel tidak masalah kalau bersama Jaka, asalkan tidak bersama Chindy.
Kini Adel sedang membantu staff lainnya untuk membersihkan meja-meja dan kaca kafe. Sebenarnya itu bukanlah pekerjaan Adel. Tapi karena hari ini kafe tidak begitu ramai, ia mencoba membantu staff lain untuk menghilangkan kebosanannya.
Salah satu staff tiba-tiba saja memanggil Adel dan memberi tau bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Adel mengangguk dan berjalan ke arah seseorang yang duduk membelakanginya itu.
Adel terkejut saat melihat seseorang yang ingin bertemu dengannya adalah Dony. "Papa?"
Dony menoleh padanya lalu tersenyum. Pria paruh baya itu menyuruh Adel untuk duduk sebentar dan Adel menurutinya. Mereka berdua saling diam beberapa detik lamanya.
"Papa mau bicara sebentar sama kamu."
Dony meraih tangan Adel dan menggengamnya, seakan tidak ingin Adel pergi.
"Papa mau bilang, kalau..... Mama kandung kamu masih hidup, Del."
Bisa di bayangkan bagaimana ekspresi wajah Adel saat itu. Tulang-tulang yang ada di tubuhnya terasa seperti terlepas dari persendian. Lidahnya terasa keluh walau masih banyak yang ingin ia tanyakan pada Papanya.
"Apa?"
Adel tidak bisa berkata apa-apa lagi. Batinnya seperti di hujami berjuta-juta meteor yang dengan sengaja di jatuhkan kepadanya. Bibir Adel bergetar dengan mata bekaca-kaca. Alih-alih berbicara, cewek itu hanya diam, membiarkan air matanya jatuh begitu saja. Dony yang melihat itu tidak bisa berbuat apa-apa. Jika nanti Adel di pertemukan lagi dengan Ibunya, Dony lah orang pertama yang tidak ingin Adel pergi.
"Papa salah Del, maafin Papa. Seharusnya Papa katakan ini sejak lama padamu."
Dengan pipi yang masih basah karena air mata, Adel menatap Dony dengan alis menyatu, berharap mendapat penjelasan lebih.
"Papa nggak berniat menutupi ini semua dari kamu. Papa ingin lebih lama merawat kamu, Del."
Pria paruh baya itu menarik tubuh Adel kedekapannya, mengusap lembut rambut putri angkatnya itu layaknya putri kandung.
"Secepatnya Papa akan menemukan keberadaan Mama kamu."
-0-0-
Adel memejamkan matanya lelah. Ucapan Dony tadi siang sangat mengguncang batinnya mengetahui fakta yang sebenarnya. Adel sangat terpukul karena tak kuasa menerima kenyataan-kenyataan pahit yang terus-terusan menimpanya.
Haruskah ia pergi dari rumah ini dan mencari tahu tentang dirinya, juga orang tuanya yang selama ini membuangnya?
Rasanya belum cukup Adel menangis seharian. Pekerjaannya di kafe ia tinggalkan begitu saja. Tidak peduli jika nantinya ia akan di pecat.
Bunyi dering ponsel di atas tempat tidur membuat Adel cepat meraihnya. Ia duduk di pinggir ranjang sambil menatap bingung sebuah nama yang tertera di layar ponselnya.
Ba(bi) gas calling.....
Sebelum panggilan panjang itu berakhir dan Bagas akan memarahinya karena lama mengangkat telfonnya, dengan cepat Adel menjawab panggilan itu.
"H-halo?"
Beberapa detik Adel menunggu, namun Bagas belum juga menyahut. Sampai ketika Adel mendengar helaan nafas panjang dari seberang sana.
"H-halo, Gas?"
"Hmm.." Suara dingin cowok di seberang sana mampu membuat tubuh Adel meremang. "Lagi apa?"
"Eh?" Adel yang merasa heran dengan perubahan sikap Bagas malah menjadi gugup sendiri. "L-lagi ngerjain tugas. Lo?"
Hening. Bagas kembali tidak bersuara, membuat Adel salah tingkah.
"Lagi mikirin lo."
Suara Adel mendadak hilang bak di telan bumi. Ia benar-benar merasa gugup dan gelisah saat ini.
"Adel?"
"Hmm??"
"Lo tau ucapan yang belum pernah gue ucapin ke lo?"
Dahi Adel mengernyit, "ucapan? Emang apa?"
"Gue sayang sama lo."
-0-0-
Seharian mencari tahu keberadaan Imam, Jaka dan Bagas memilih untuk pulang kembali kerumah mereka masing-masing. Namun, belum juga masuk ke dalam kerumahnya, Bagas mendapat kabar dari Jaka bahwa Imam saat ini berada di rumah sakit. Dengan segera Bagas kembali melajukan motornya ke rumah sakit yang di beri tahu Jaka melalui pesan.
Sampai di sana, ternyata Jaka sudah lebih duluan sampai dari pada dirinya.
"Gimana, lo udah tau ruangannya belum?" tanya Bagas.
Jaka menggeleng, "belum. Tadi gue di kirimin pesan misterius kalau Imam di rawat di rumah sakit ini," jelas Jaka.
Bagas menghela nafas panjang, lalu menyusul Jaka yang sudah lebih dulu pergi. Keduanya sibuk mencari ruangan dimana Imam di rawat.
Mereka sudah bertanya pada penjaga meja resepsionis, tapi tidak ada pasien yang bernama Imam di rumah sakit itu. Mereka juga bertanya pada suster maupun dokter yang berpapasan dengan mereka, tetapi tidak ada hasil yang mereka dapatkan. Dengan sepakat, Jaka dan Bagas berpencar untuk mencari keberadaan Imam.
Saat Bagas hendak melangkah menuju lift, seseorang dari kejauhan menarik perhatiannya. Melihat orang yang terlihat tidak asing baginya yang baru saja keluar dari toilet cowok menggunakan kursi roda, Bagas yakini orang itu adalah Imam.
Ia mengikutinya dari belakang. Ketika orang tersebut memasuki sebuah ruangan yang Bagas yakini itu adalah ruang rawat inapnya, cowok itu mempercepat langkahnya untuk mendekati ruangan itu.
Saat ingin membuka knop pintu ruangan itu, sebuah tangan menyentuh bahunya membuatnya terkejut.
"Lo ngapain di sini? Kita kesini buat nyari keberadaan Imam, bukan buat ngintipin pasien lain!" ucap Jaka yang tiba-tiba muncul.
"Apa sih lo?! Gue tadi liat Imam masuk ke ruangan ini!"
"Serius lo?" Jaka menggeser tubuh Bagas untuk menyingkir dari depan pintu ruangan itu. Ia perlahan memutar knop pintu itu sebelum akhirnya suara dari belakang mereka membuat keduanya terlonjak.
"Maaf, Mas." Keduanya menoleh pada seorang suster yang baru saja menghentikan aktifitas mereka. "Saat ini pasien tidak boleh di jenguk karena sudah lewat dari jam besuk pasien. Mas-Mas bisa kembali besok untuk menjenguk pasien."
"Mbak, ini lagi darurat, mbak! Di dalem sana ada temen kita."
"Maaf sebelumnya, emangnya nama temen Mas siapa?" tanya suster itu.
"Imam. Lebih detailnya, Imam Marquivi," kata Jaka menjelaskan.
Suster itu mengangguk, "sebentar ya, saya lihat dulu." Suster itu membuka sebuah berkas yang ada di tangannya, mencoba mencari nama yang di katakan Jaka tadi.
Keduanya menatap suster itu penuh harap. Berharap ada titik terang keberadaan Imam.
"Tidak ada pasien yang bernama Imam yang Mas maksud. Memang beberapa hari yang lalu ada juga pasien bernama Imam di rawat di rumah sakit ini, tapi ia sudah meninggal dunia."
Mereka merasa kehabisan pasokan oksigen mendengar pernyataan suster itu. Nafas keduanya tercekat ditenggorokan. Bagas mundur beberapa langkah, lalu terduduk dengan wajah linglung.
Nggak, nggak mungkin. Gue belum minta maaf.
-0-0-
Nohhh update😥
Duhhh kan ape gue bilang:'(
Jangan lupa vomment ya:)Wiwind 🙌🙌
Selasa, 11 Juni 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Numbness (selesai)
Teen FictionHighest rank : #1 in boyfriend [15 januari 2019] "Jauh-jauh dari gue!" Ia mengibas-ngibaskan tangannya, seolah mengusir. Mau tidak mau Adel menurut, ia mundur dengan senyuman yang masih mengembang. "Jauh lagi!" Adel mundur lagi. "Lagi!" "Terus, la...