Remaja itu membawa Adel ke depan salah satu ruangan. Ruangan itu terlihat sunyi. Hanya ada wanita dan pria paruh baya yang sedang duduk dengan mulut komat-kamit seperti sedang berdoa.
Adel menoleh pada remaja itu. Ia kini sedang memandang kedua orang yang Adel yakini adalah orang tuanya dengan pandangan nanar. Adel tidak mengerti apa maksud remaja itu membawanya ke tempat ini. Ia hanya merasa iba saat remaja itu memohon untuk ikut dengannya.
"Saya Yoora," katanya tiba-tiba. "Mereka adalah orang tua saya. Kami disini lagi menunggu apa yang dokter putuskan kepada Abang saya yang sampai sekarang belum sadar dari kemarin malam. Katanya kami hanya bisa menunggu. Dan sampai detik ini Abang saya juga tak kunjung bangun."
Adel ikut terenyuh mendengarkan penjelasan Yoora. Bahkan, tanpa sadar air matanya ikut mengalir begitu saja.
Yoora menarik tangannya untuk lebih dekat pada ruangan itu.
"Bun..."
Wanita itu menoleh pada Yoora dengan air mata yang masih membasahi pipinya. Ia berdiri, dan langsung memeluk Yoora. Tangis kedua orang itu pecah seketika.
Adel hanya bisa diam. Ia tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Melihat wanita itu menatapnya, Adel berusaha tersenyum dan mencoba bersikap ramah walaupun Adel tidak tau siapa wanita itu.
"Dia siapa?" tanya wanita itu pada Yoora sambil melepas pelukannya.
Adel melihat Yoora tersenyum, walaupun sedikit. "Dia yang pernah Abang ceritain ke Bunda."
Wanita itu terkejut, lalu mendekat pada Adel. "Apa benar itu?" Yoora mengangguk mengiyakan.
Tanpa Adel duga, wanita itu memeluknya dan kembali menangis. Adel hanya bisa membalas pelukan wanita itu. Raut wajahnya masih terlihat bingung dan canggung.
"Kamu Adel?"
Adel mengangguk, "i-iya, Tante."
Wanita itu melepas pelukannya, lalu menatap Adel, "Saya Dilla, Bunda Imam."
-0-0-
Adel masih belum percaya dengan apa yang di dengarnya. Ia kira selama ini Imam baik-baik saja. Tapi setelah mendengar cerita Dilla tadi, Adel syok mengetahui penyakit Imam yang Adel ketahui itu mematikan.
Imam yang selalu memberinya semangat jika Adel menangis karena mendapat ucapan kasar dari Bagas, kini Adel melihat Imam yang begitu rapuh. Semuanya seperti berjalan dengan tiba-tiba.
Pantas saja, Adel sudah lama tidak melihatnya di sekolah. Tapi karena Adel lebih sibuk memikirkan hubungannya dengan Bagas sampai-sampai ia tidak tahu kalau Imam sudah lama tidak masuk sekolah
Mata cewek itu masih setiap menatap ke kaca ruangan tempat Imam terbaring dengan berbagai macam alat medis. Ia masih belum percaya kalau Imam yang terbaring di sana.
"Sebelum Bang Imam nggak sadarkan diri, dia bilang mau ketemu sama Kakak. Tapi, Bunda ngelarang karena kondisi Bang Imam yang terus menurun." Yoora menundukkan kepalanya dalam-dalam, menyeka air matanya yang turun. Ia tak kuasa menceritakan bagaimana Imam ingin bertemu dengan Adel. "Terus Bang Imam bilang, setelah sembuh nanti, orang yang pertama kali akan ia jumpai adalah Kakak. Bang Imam cuma nyuruh Yoora buat ngasih ini ke Kakak." Yoora membuka tasnya, lalu memberikan sebuah buku. Di depan buku itu tertulis 'Dari Imam untuk Adel'.
Pertahanan Adel seketika runtuh membaca tulisan itu, kedua kakinya terasa lemas. Dia menangis sejadi-jadinya. Walaupun ia tidak memiliki rasa apapun pada cowok itu, tapi Adel merasa bersalah.
Kenapa ia begitu bodoh sampai-sampai tidak menyadari kalau ada seseorang yang mencintainya begitu tulus? Padahal, Imam selalu memberi perhatian-perhatian kecil yang jarang Bagas berikan untuknya.
Tak jauh dari sana, Bagas menatap Adel yang menangis. Ingin rasanya ia menenangkan cewek itu. Tapi ia bisa apa? Ia juga tidak tau ternyata selama ini Imam mengidap penyakit mematikan yang baru ia ketahui beberapa hari yang lalu.
Flashback on
Bagas berjalan menuju basemant dengan pandangan kosong ke depan, seperti tubuh tanpa raga. Ia seperti mati rasa, tidak percaya apa yang di katakan suster tadi. Jaka masih di sana, didepan ruangan itu. Ia tetap keukeh mengatakan pada suster itu bahwa itu bukan Imam yang sekarang mereka cari. Itu orang lain.
Bagas tidak kuasa menahan air matanya. Pandangannya mengabur tertutup oleh air mata. Ia tidak pernah sesedih ini. Tapi, ini kenapa ia malah ingin menangis sejadi-jadinya?
Tubuhnya ambruk. Kakinya terasa lemas, tubuhnya seperti tidak bertulang. Apa sesakit ini di tinggal orang yang yang kita sayang? Dulu ia di tinggal Meysa, sekarang Imam. Setelah ini siapa lagi?
"Bangun, Bang..."
Bagas diam mendengar suara yang tidak asing itu. Tangisnya mulai mereda. Perlahan ia mendongak, menatap sosok remaja yang berdiri di hadapannya. Tidak ada senyum yang terukir di wajahnya.
"Yoora?" Bagas memanggilnya untuk memastikan apakah itu betul adik sahabatnya. "Kamu--"
"Yoora bilang bangun," ucapnya dengan nada melembut.
Bagas patuh. Ia berdiri, lalu menghadap Yoora sepenuhnya. Dahinya mengkerut menatap remaja itu. Kenapa dia ada di rumah sakit ini malam-malam?
"Sudah menyesal sepenuhnya?"
Bagas mengernyit, tidak paham apa yang di maksud remaja itu. "Menyesal?"
Seringai kecil terbit di bibirnya. "Jangan pura-pura nggak tau, Bang. Untuk apa Abang nangis kalau tidak menyesal?"
"Maksud lo apa sih? Gue nggak paham!"
"Jangan pura-pura bodoh! Suster. Bang Imam. Meninggal. Paham sekarang?"
"Jangan bilang lo--"
"Iya! Gue yang rencanain itu semua!"
"Apa tujuan lo?"
"Biar kalian sadar! Selama ini Bang Imam diam tentang penyakitnya karena dia mau kalian tahu sendiri, dan dia mau kalian selalu ada di saat dia butuh. Nggak kayak sekarang, menyesal setelah kehilangan!"
Bagas tidak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya bisa menunduk dan mencerna setiap kata yang remaja itu lontarkan. Ucapan Yoora seperti boomerang bagi dirinya. Tidak tau harus berbuat apa, Bagas memohon pada Yoora untuk mengantarnya ke ruangan Imam. Ia ingin melihat keadaan sahabatnya itu dan sekaligus...meminta maaf.
Flashback off
"Lo nggak mau nyamperin Adel?"
Bagas menoleh ke sampingnya, menemukan Jaka yang sudah ada di sebelahnya.
"Gue nggak berani dan gue nggak tega. Nanti aja setelah Adel puas nangisnya."
"Di saat Adel kayak gitu, hanya lo yang dia butuhin."
Bagas menghempuskan nafasnya, lalu menggeleng. "Gue udah bilang ke Yoora untuk jagain Adel," ucapnya. "Gue pamit ya."
Setelah mengatakan itu, Bagas pergi dari sana, meninggalkan Jaka yang sedang menatapnya dengan pandangan nanar.
-0-0-
Nangissss😭
Update yaaa semoga suka:)Jangan lupa vomment ya:)
Wiwind❤❤
(Dont call me author/ thor)Jumat, 21 Juni 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Numbness (selesai)
Teen FictionHighest rank : #1 in boyfriend [15 januari 2019] "Jauh-jauh dari gue!" Ia mengibas-ngibaskan tangannya, seolah mengusir. Mau tidak mau Adel menurut, ia mundur dengan senyuman yang masih mengembang. "Jauh lagi!" Adel mundur lagi. "Lagi!" "Terus, la...