21

11.2K 546 10
                                    

Semua murid berhamburan keluar kelas saat bel istirahat mengalun indah di seluruh penjuru sekolah. Bagas sudah sampai di depan pintu kelas Adel. Ia tampak ragu, tidak tau harus berkata apa tentang kejadian semalam.

"Ngapain di sini?" tanya Lia, teman Adel yang lumayan akrab padanya.

"Gue mau nyari Adel. Dia ada di dalem?"

"Ada. Tuh, di dalem. Dia lagi pengen sendiri!" ucap Lia ketus. Cewek itu memang sudah tidak suka pada Bagas saat mengetahui semua sikap kasarnya pada Adel. Ingin sekali ia memberi pelajaran berharga karena telah berani menyakiti hati temannya.

"Dia sakit, ya Ya?"

"Mana gue tau! Lo kan pacarnya, seharusnya lo lebih tau daripada gue!" ucap Lia lalu meninggalkan Bagas dengan wajah kesal.

Bagas menatap punggung Lia yang kian menjauh sebelum akhirnya dia masuk ke kelas Adel. Ia melihat cewek itu sedang menelungkupkan wajahnya di atas meja.

Adel sakit?

Bagas menyisikan anak rambut yang menutupi wajah Adel. Suara bisik-bisik teman-teman sekelas Adel di hiraukannya.

"Del." Bagas menguncang pelan bahu cewek itu membuat Adel tersentak. Ia mengerjabkan mata saat melihat Bagas ada di hadapannya. "Lo sakit?"

"Lo kok di sini?" pekik Adel sambil memundurkan wajahnya.

Bagas terkekeh, "emang nggak boleh, ya?"

Adel tidak menjawab. Ia bangkit dari kursinya lalu berlari keluar kelas membuat Bagas dan teman-teman sekelasnya bingung. Tidak biasanya Adel seperti itu. Ia selalu bersemangat jika melihat Bagas.

Bagas yang merasa aneh pun menyusul Adel. Tapi alih-alih menemukan cewek itu, Bagas sudah duluan kehilangan jejak.

"Liat Adel nggak?" tanya Bagas pada murid yang berpapasan dengannya. Tapi mereka hanya menggeleng yang artinya tidak melihat.

Tidak putus asa, Bagas berlari menuju toilet cewek. Dia masuk begitu saja hingga membuat beberapa murid cewek memekik panik.

"Sorry."

Bagas kembali berlari menuju kantin. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh isi kantin. Dan benar saja, dia menemukan Adel yang sedang mengantri untuk memesan makanan.

Dahi cowok itu mengernyit melihat banyaknya makanan yang Adel pesan. Pertama Bagas kira itu memang pesanan cewek itu. Tapi setelah Adel berjalan menghampiri meja Chindy dan teman-temannya, dari situ Bagas mengerti.

"Guyss... cewek udik yang bawain makanan kita ini, dia babu baru gue."

-0-0-

"Aduh, apaan sih, Gas?! Sakit tau!"

Bagas menatap Chindy dengan tatapan kesal. Ia menarik Chindy paksa ke taman belakang sekolah yang sepi. Hanya ada beberapa murid yang sedang belajar bersama ataupun sedang mengobrol. Ia ingin meminta penjelasan mengenai kejadian saat di kantin tadi.

"Lo yang apa-apaan! Apa maksud lo jadiin Adel babu, hah?!" tanya Bagas yang tidak bisa menahan dirinya. "Lo tega banget sih, sama kakak lo sendiri?"

"Kakak? Sampai kapan pun cewek udik itu nggak akan pernah gue anggep kakak gue!"

Bagas menjambak rambutnya prustasi. Ia menghela nafas panjang sambil menutup mata untuk mencoba meredam emosinya. "Kata babu itu udah keterlaluan, tau nggak? Walaupun lo nggak nganggep Adel kakak lo, tapi satu sekolah udah tau kalo Adel itu kakak lo! Lo harusnya mikir perasaan Adel, dan lo juga harusnya mikir perasaan Papa lo yang udah ngangkat Adel sebagai anaknya."

"Ohh.. sekarang lo belain dia?"

"Dia yang lo bilang 'Dia' itu pacar gue, Chindy." Bagas geram, lalu menatap Chindy tajam. "Lo seharusnya tau, mati-matin lo nyelakai Adel, mati-matian juga gue ngebela dia!"

"Katanya lo suka sama gue, seharusnya lo dukung dong, apa yang gue lakuin ke Adel? Jadi selama ini perasaan lo cuma bohongan?"

"Gue nggak pernah bohong soal perasaan gue! Gue suka sama lo, itu dari hati gue." Bagas menghela nafas, lalu sedikit lebih mendekat pada Chindy. "Tapi bukan berarti lo bisa jahatin Adel dan menentukan pilihan gue jatuh ke siapa. Sekarang gue udah punya Adel."

Chindy terdiam beberapa detik. "Apa susahnya, sih, mutusin Adel?"

"Bukan tentang susah atau enggaknya, tapi tentang siapa yang lebih baik gue lindungi."

Mata cewek itu berkaca-kaca. "Sampah!" gumamnya yang masih di dengar oleh Bagas.

Bagas tersenyum tipis, "Sekarang lo bisa ngerendahin orang lain, one day lo bakal ngerasin gimana rasanya di  rendahin balik sama orang yang dulu lo rendahin. Karena roda itu berputar, Chin." Bagas mengusap bahu Chindy sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan cewek itu.

-0-0-

Kehampaan yang baru di rasakan Jaka sekarang setelah beberapa seminggu Imam tidak masuk sekolah. Biasanya hanya Imam lah yang akan tahan dengan kejahilannya. Semua yang Jaka pandang hanya lah semu, seperti tidak hidup.

Bagas masuk dengan wajah murung. Ia melihat Jaka yang sama murungnya dengan dirinya. Ia mendekat pada Jaka dan menyenggol sedikit lengan cowok itu.

Perlahan Jaka menoleh dengan malas, lalu kembali menatap kedepan dengan pandangan kosong.

"Kenapa lo?" tanya Bagas melihat temannya itu tidak punya gairah hidup.

"Kangen Imam," rengek Jaka lalu memeluk Bagas hingga membuat cowok itu hampir terjungkang ke belakang.

"Ih, geli monyet! Lepasin!"

Jaka menggeleng. Ia tambah mengeratkan pelukan pada Bagas. Tidak peduli jika teman-teman sekelasnya menatapnya jijik.

Bagas yang sudah merasa gerah, mendorong tubuh Jaka sekuat mungkin hingga membuat cowok itu terjatuh dari kursinya. Seluruh murid yang melihat itu menertawakan Jaka, tak habis pikir dengan tingkah Jaka yang absurd.

"Jahat banget, sih!"

Jaka kembali duduk di kursinya dengan misuh-misuh, mood nya semakin memburuk saat ini.

"Lo, sih, meluk-meluk kayak anak kukang!" cibir Bagas, lalu ia merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya.

"Gas," panggil Jaka dengan wajah cemberut.

"Hmm!"

"Nanti temenin gue ke rumah Imam, ya?" pinta cowok itu.

"Ngapain?"

"Mulung! Ya mau ngecek keadaan Imam lah, goblok!"

"Gausah ngegas, dong!"

"Iya, ya, Gas?"

Bagas kembali berdeham sebagai tanda jawaban 'iya'.

-0-0-

Updateeee:)
Selamat Lebaran ke lima☺☺
Jangan lupa vomment ya guys:)

Wiwind❤

Minggu, 09 Juni 2019

Numbness (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang