08

34.1K 1.4K 75
                                    

----
Suasana di ruang pelatihan olimpiade terlihat ramai. Seluruh siswa dari berbagai kelas berkumpul membentuk lingkaran dengan Fahri yang berdiri di tengah-tengah sambil memberikan arahan pada mereka.

"Bulan ini sekolah kita yang akan menjadi tuan rumah dalam olimpiade antar sekolah. Jadi, saya mau dari kalian jangan ada yang mengecewakan. Di sini kita bersama untuk membanggakan sekolah. Tidak ada yang namanya rival, musuh ataupun itu. Kita adalah saudara," ucap Fahri di sambut sorakan 'betul' dari yang lain.

Fahri merupakan ketua dari komunitas olimpiade ini, dia salah satu siswa berprestasi dengan segudang ilmu. Pernah memenangkan lomba matematika-aljabar tingkat kota di Balikpapan. Banyak kaum hawa yang memuja dirinya dan mengajaknya berkencan. Tapi, Fahri menolaknya dengan sopan untuk tidak menyakiti perasaannya.

Adel mendengarkan, tapi pikirannya sepenuhnya tidak tertuju di sana. Tadi dia kembali melihat Bagas dan Chindy berduaan sambil bercengkrama yang terlihat begitu asyik. Mungkin benar, wanita ditakdirkan tersakiti, bukan menyakiti.

Dia mengambil ponselnya dari kantong roknya, dan membuka galeri foto. Mencari foto seseorang yang dia ambil diam-diam waktu itu. Adel lantas tersenyum dan sesekali tertawa melihat foto candid Bagas.

Terlarut dalam dunianya, hingga tak sadar kalau pertemuan telah usai. Mereka sudah bubar menyisakan dirinya dan Fahri yang masih di sana.

"Del?"

"Adel!" Fahri menepuk pelan bahu Adel sampai cewek itu tersentak kaget. "Eh, sori. Gue ngagetin lo, ya?"

Adel membuang nafas, mengusap dada. "Kenapa kak?" tanyanya sembari melihat sekelilingnya yang sudah sepi, baru sadar pertemuan telah usai.

"Eh, udah selesai ya?" tanyanya dengan polos sambil berdiri.

"Tuh kan, melamun. Mikirin apa, sih?"

"Enggak mikirin apa-apa kok, kak."

"Nanti malam ada acara, nggak?"

Adel mengernyit bingung, "nggak ada. Emang kenapa?"

Fahri mengeluarkan dua tiket festival musik. "Di kasih kakak sepupu gue. Acaranya di alun-alun kota. Mau, temenin nggak?"

Adel sebenarnya ingin menolak, tapi ia tidak enak hati pada Fahri. Tapi kalau ia menerima, apa yang akan ia katakan pada mamanya nanti?

"Hem, gimana ya..." Adel tampak berpikir. "Tapi pulangnya jangan malam-malam, ya?"

"Siap. Tenang aja, sama gue, lo pasti aman kok." Fahri tertawa sampai lesung pipinya muncul, membuatnya terlihat manis.

Adel meringis pelan. "Yaudah, oke deh kak."

"Cowok lo yang gila itu nggak bakal marah, kan?"

"Bagas maksud kakak?"

"Iya. Hati-hati sama dia Del," peringat Fahri.

Adel hanya tertawa kecil menanggapinya, lalu menggenggam buku dan memeluknya di depan dada. "Gue ke kelas dulu ya, kak."

Fahri mengangguk cepat, "nanti gue hubungin lo."

Adel tidak berbicara lagi. Dia keluar dari ruang itu dengan perasaan risau. Entah karena apa, ia juga tidak tau.

-0-0-

Lia sedang mengaduk jus jeruknya, menyeruputnya pelan dan memperhatikan wajah Adel yang di tekuk. "Kenapa tuh, muka? Kayak nahan berak aja."

Adel semakin menekukan wajahnya. "Ini lebih dari nahan berak, tau." Ia menopang dagunya dengan kedua tangan. "Kenapa ya, kodratnya cewek itu selalu merasakan sakit hati?"

Numbness (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang