Jangan lupa klik bintang di pojok kiri bawah. Sekalian, ramein cerita ini sama komennya, ya.
Selamat membaca✨
________________________
Shana termenung di balik jendela kamar yang sengaja ia buka untuk menikmati derasnya hujan dan aroma petrikor yang menguar dari tanah. Memang ya, hujan itu sangat cocok dengan secangkir teh hangat dan selingan musik alami yang berasal dari rintik hujan yang jatuh di atas atap. Shana yang katanya cewek anti menye-menye juga bisa merasa sedih. Bedanya, Shana bisa menyembunyikan rasa sedihnya sendiri dengan sangat apik dan menikmati perasaan itu sendirian.Mungkin, sebagian orang sangat iri dengan kehidupan Shana yang covernya tampak sangat bahagia. Iri dengan Kaisar yang selalu berada di sisinya, iri dengan Shana yang tidak pernah kekurangan uang. Tanpa mereka tahu, hidup Shana sama sekali tidak sesempurna itu. Faktanya, orang-orang yang selalu menaruh rasa iri pada Shana memiliki satu hal yang Shana tidak punya, seorang mama. Seseorang yang bisa mendekapnya hangat setiap hari, mendengarkan keluh kesahnya, dan menemaninya tumbuh dewasa.
Untuk sekarang, Shana lupa bagaimana rasanya sebuah dekapan hangat dari mama, lupa akan betapa hangatnya genggaman tangan yang selalu berhasil menenangkannya. Untungnya, Shana masih punya Kaisar untuk melimpahkan semua keluh kesahnya. Bukannya Shana tidak mau bercerita pada papa, ia hanya tidak ingin menambah beban papa. Bahkan, Shana juga menceritakan datang bulan pertamanya pada Kaisar, karena hanya dia yang Shana punya.
"Kai, sini deh!" Panggil Shana dengan raut paniknya.
Ekspresi Shana langsung membuat Kaisar panik, dengan langkah pasti, ia mulai melangkahkan kakinya untuk berlari menghampiri Shana yang berdiri di halaman rumahnya. "Kenapa? Ada apa?"
"Sini deh, gue bisikin." Dengan ragu Shana mengigiti bibirnya bagian bawah sebelum membisikkan sesuatu ke telinga Kaisar. "Gue ... gue ...." Shana masih enggan untuk mengatakannya. Tapi ia tidak punya pilihan lain.
"Lo kenapa? Luka? Habis jatuh lagi? Kalau gitu, sini biar gue kasih obat." Dengan pasti, Kaisar menggenggam tangan Shana untuk masuk ke rumah dan akan mengobati luka yang ada pada Shana. Kaisar urung, Shana menahan tangan Kaisar sambil menggeleng dengan bibir bawahnya yang masih ia gigit. "Kenapa, Sha? Lo bisa bilang ke gue, jangan ragu."
"Kayaknya ... gue datang bulan," ucap Shana dengan wajah yang mulai memerah.
Kaisar terdiam di tempat, mencoba mencerna kalimat Shana barusan. Ini seriusan datang bulan yang itu? Yang ada di buku-buku paket ipa itu? Wajah Kaisar juga mulai memerah, tidak tahu harus bagaimana menanggapi kalimat Shana. Bukankah itu hal yang tabu untuk dibicarakan dengan laki-laki?
"Te-terus, gue harus gimana?" tanya Kaisar bingung, juga merasa sedikit malu.
Shana ingin mengatakan sesuatu, tapi ia masih merasa sedikit malu. "Uhm ... itu, lo ... bisa beliin gue pembalut nggak?" tanya Shana sambil memejamkan matanya menahan malu.
Kaisar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena suasana aneh ini. "Pembalut itu bentukannya gimana, ya?"
"Yang kayak di iklan-iklan tv itu, loh. Beli gih," suruh Shana. "Gue malu beli pembalut ke warung," cicitnya.
"Gue tanya ke Mami aja, ya. Siapa tau, Mami punya," ucap Kaisar masih setengah bingung.
Shana mengangguk pasrah, membiarkan Kaisar berlalu pulang ke rumahnya dan menemui maminya. Shana masih berdiri mondar-mandir dengan panik sambil mengigiti jarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHANA (SELESAI)
Teen FictionShana tidak tahu jika hidup jadi manusia akan membuatnya selelah ini. Kalau dipikir, jadi bunga matahari joget-joget di dashboard mobil itu lebih seru, kayaknya nggak punya beban. Itu kata Shana dulu, saat hidupnya masih monoton, masih stuck di mas...