9. Jinjja Daebak!!

679 374 234
                                        

Jangan lupa klik bintang di pojok kiri bawah. Sekalian, ramein cerita ini sama komennya, ya.

Selamat membaca✨

______________________________________________

"Ya Allah, adem banget siap sholat," gumam Shana sendirian sambil melipat mukena yang barusan ia pakai.

Shana meletakkan mukena yang sudah ia lipat dan berbaring di atas kasurnya sambil menggulir layar hpnya. Shana memang manusia yang sedikit biadab, tapi kalau masalah kewajiban sama Tuhan, jangan meragukan Shana. Sholat adalah hal yang selalu diingatkan oleh mendiang mamanya dan menjadi jalan untuk Shana membantu mamanya lewat doa-doa. Shana hanya bisa menjadi anak yang berbakti melalui doa, karena apapun yang ada di dunia ini, tidak akan membantu mamanya di alam sana.

Ngomong-ngomong soal mama, Shana jadi kangen mamanya. Sudah lama sejak terakhir kali ia menatap wajah mama yang cantik dan meneduhkan. Sayangnya, kenangan terakhir yang Shana punya dengan mamanya, hanya menampilkan wajah pucat sang mama yang tersenyum pada Shana. Kalau mengingat itu, Shana yang mengaku dirinya nggak menye-menye juga nggak akan bisa nahan tangisnya.

Waktu itu, dengan wajah dan bibir pucat, mama tersenyum pada Shana sambil mengelus rambut Shana yang kala itu masih ia biarkan panjang. Di atas ranjang rumah sakit dan dihiasi suara alat rumah sakit yang waktu itu Shana belum tahu namanya apa. Mama tersenyum lembut dan mengucapkan kalimat yang saat itu belum dapat dipahami oleh Shana.

"Shana, kalau Mama nggak ada, kamu jangan rewel, ya, kasihan Papa. Kalau Mama nggak ada, kamu harus hidup sesuai kemauan kamu sendiri, jangan dengar ucapan orang lain. Shana harus kuat, Mama nggak suka anak Mama jadi cengeng."

Waktu itu, Shana langsung mengusap air matanya. Mamanya tidak suka anak yang cengeng, Shana akan buktikan pada mama kalau dia bukan anak yang cengeng. Walaupun tidak paham dengan kalimat-kalimat sebelumnya, Shana tetap mengangguk mengiyakan.

Saat itu, Shana tidak tahu itu akan jadi percakapan terakhir dengan mamanya. Shana tidak tahu bahwa itu adalah kali terakhir ia menatap mata mamanya yang menenangkan. Dan Shana juga tidak tahu bahwa itu adalah kali terakhir tangan mamanya mengelus rambut panjangnya.

Oke kita skip, Shana nggak mau jadi cewek yang menye-menye. Ia segera menghapus air mata yang sedikit keluar di sudut matanya. Shana beranjak dari tempat tidurnya dan memutuskan menampakkan keberadaannya ke dunia luar di Hari Minggu yang panas ini. Ia berjalan menuju kulkas dan mengambil buah salak yang sudah tersedia di sana.

"Shana."

"Aigo kamcagiya!" Shana sedikit terlonjak karena kedatangan papanya yang tiba-tiba. "Papa ngapain di situ?!" kesalnya.

"Kamu ada waktu? Papa mau ngomong sesuatu," ucapnya dengan sedikit ragu-ragu.

"Kalau buat dengerin Papa ngomong, aku ada waktu. Tapi kalau Papa mau nyuruh aku nguli, aku nggak punya waktu, schedule aku padat," jawab Shana sambil mengupas kulit salaknya dan duduk di salah satu kursi di meja makan.

Papa Shana ikut duduk di salah satu kursi di depan meja makan. Sambil mengunyah salak, Shana sudah menyiapkan telinga untuk mendengarkan papanya. Tapi, Papa Shana tak kunjung bersuara. Sekarang hanya ada suara mulut Shana yang mengunyah salak dengan sangat keras.

"Pa?" Shana menatap papanya sambil menampilkan raut bingung, menuntut papanya untuk segera buka suara.

"Sha, Papa mau nikah, mungkin dua minggu lagi."

Shana yang mendengar pernyataan papanya langsung tersedak buah salak yang rasanya asam itu. Membuat Shana kelimpungan mengambil minum sambil terbatuk-batuk. Setelah batuknya reda, Shana menatap papanya dengan nyalang. Bukan kalimat ini yang harapkan akan didengar telinganya di siang menjelang sore Minggu yang panas ini.

SHANA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang