Jangan lupa klik bintang di pojok kiri bawah. Sekalian, ramein cerita ini sama komennya, ya.
Selamat membaca✨
________________________
"Shana! Airin!"Suara teriakan yang menggelegar di dalam rumah sedikit mengusik tidur nyenyak Shana dan Airin. Walaupun sedikit terusik, tidak ada salah satupun dari mereka yang berniat untuk bangkit dari tidur masing-masing. Hawa dingin karena hari hujan membuat siapapun akan betah untuk berlama-lama di tempat tidur.
Suara bunda masih menggelegar di dalam rumah, memanggil nama Shana dan Airin bergantian. Shana yang sudah sangat terusik akhirnya memutuskan membuka mata dan melihat jam yang terletak di atas nakas. Masih jam delapan pagi, dan bunda sudah membuat rumah sangat hiruk. Padahal biasanya, di Hari Minggu, mau hujan mau panas, mau tsunami mau badai, tidak ada yang bisa mengusik tidur Shana.
"Shana, bangun! Kita sarapan sama-sama, habis itu bantu Bunda bersihin rumah." Bunda berbicara tepat di ambang pintu kamar Shana dengan suara yang keras.
Shana masih berbaring di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar untuk mengumpulkan kesadarannya. Dapat ia dengar juga suara bunda yang menggelegar di kamar sebelah, tepatnya kamar Airin, bunda juga mengatakan hal yang sama.
"Ya Allah, gini amat hidup punya ibu tiri, baru sehari udah menyiksa," gumam Shana.
"Nggak ada yang mau bangun?! Dalam lima detik, nggak ada yang bangun, siap-siap uang jajan kalian Bunda potong!" Tak hilang akal karena Shana dan Airin yang masih tetap bergeming di tempat tidur masing-masing, akhirnya bunda mengeluarkan jurus andalannya.
Shana langsung membuka mata lebar saat mendengar potongan uang jajan. Segera, ia bangun dan berlari untuk menghampiri bunda, dengan tampang yang masih acak-acakan. Demi uang jajan, Shana rela disuruh-suruh, jangan sampai uang jajannya sampai dipotong dua kali lipat. Bisa rugi bandar dirinya, bagaimana caranya Shana menjalani hidup hedonnya dengan uang jajan yang sudah dikurangi?
"Apa sih, lo?!"
Saking tergesa-gesanya saat hendak menghampiri bunda, Shana dan Airin saling menabrak satu sama lain. Emang ya, uang jajan adalah hal yang penting di muka bumi ini.
"Tuh, jalannya besar, kok! Ngapain nyenggol-nyenggol?!" sensi Airin yang hampir terduduk di atas lantai.
"Buta ya, lo? Liat nih, gue dari tadi jalan ngikutin pola keramik ini. Lo aja yang jalan di lintasan gue!" teriak Shana tak mau kalah.
Shana dan Airin saling menatap dengan tajam. Tidak ada yang mau mengalah. Mereka tetap berpegang teguh pada ego masing-masing, tidak ada yang mau disalahkan. Shana dapat merasakan aura permusuhan yang menguar di ruangan ini sangat pekat. Shana prediksi, ke depannya mereka akan terus bermusuhan.
"Airin, hormat sedikit, Shana itu kakakmu," peringat bunda yang langsung dihadiahi tatapan protes dari Airin.
"Shana, airin itu adik kamu loh, ngalah sama adik," peringat papa yang membuat Shana langsung membelalakkan mata saking terkejutnya karena papa lebih membela Airin, bukan dirinya.
Shana melirik tajam pada papa, mencoba memperingatkan bahwa di sini, anak papa itu adalah dirinya, Shana Fradela, bukan Airin. Ini baru semalam loh, Shana punya tambahan anggota keluarga, tapi papa sudah menelantarkannya. Mau liat Shana beneran nyusul mama kali, ya?
"Udah, kalian berdua cuci muka dulu, terus gosok gigi," perintah bunda mutlak.
Sebelum kembali ke kemarnya untuk gosok gigi dan cuci muka, Shana mengarahkan dua jarinya menunjuk mata papa dan dirinya bergantian, sebagai peringatan. Setelah kembali ke kamar, yang pertama kali Shana lakukan adalah memberi makan Kiki, kemudian baru ia melaksanakan perintah bunda tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHANA (SELESAI)
Ficção AdolescenteShana tidak tahu jika hidup jadi manusia akan membuatnya selelah ini. Kalau dipikir, jadi bunga matahari joget-joget di dashboard mobil itu lebih seru, kayaknya nggak punya beban. Itu kata Shana dulu, saat hidupnya masih monoton, masih stuck di mas...