Jangan lupa klik bintang di pojok kiri bawah. Sekalian, ramein cerita ini sama komennya, ya.
Selamat membaca✨
________________________
"Awas! Geser!" Airin mendorong Shana tepat saat melewati pintu. Membuat Shana yang bertubuh mungil langsung terhempas di pinggiran pintu, tenaga Airin tidak bisa disandingkan dengan tenaga Shana."Heh! Nggak sopan ya, lo!" teriak Shana sambil memegang lengannya yang terbentur.
"Apa? Bocil diam!" sewot Airin. Sudah salah, masih saja sewot. Ciri-ciri orang nggak tahu diri banget, maunya jadi yang paling bener terus.
"Heh! Jangan mentang-mentang lo tinggi, lo ngatain gue bocil! Gue ini lebih tua dari lo, ya!" pekik Shana tidak terima saat ada yang menyinggung tubuhnya yang kecil.
"Udah-udah, kalian kenapa, sih?" heran bunda yang tidak habis pikir dengan perdebatan tak berujung Shana dan Airin. Padahal awalnya ia mengira Shana dan Airin akan akur dan kompak. Tapi, apa ini? Apa yang ia dapatkan sekarang?
Ada saja yang selalu dijadikan masalah. Seolah kalau nggak ribut sejam, mereka akan mati terkapar kekurangan asupan nutrisi. Status quo saat ini benar-benar mematahkan angan-angan bunda akan hubungan saudara yang akur. Nyatanya, Shana dan Airin tidak jauh berbeda dengan Tom and Jerry dunia nyata.
"Dia duluan kok, Bun. Dia yang dorong aku!" adu Shana.
Airin menirukan gaya bicara Shana tanpa mengeluarkan suara. Tentunya, juga diiringi gaya yang sangat menyebalkan. Membuat Shana yang melihatnya semakin dongkol pada Airin, hingga membuatnya ingin menjambak rambut Airin yang sepertinya jambak-able.
"Ai, kamu jangan cari masalah terus," tegur bunda.
Shana dan Airin saling menghunuskan tatapan tajam yang dapat menembus jantung mereka satu sama lain. Sama seperti sebelum-sebelumya, tidak ada yang mau mengalah. Padahal mereka tinggal bersama baru tiga hari, sampai saat ini, tiada hari tanpa yang namanya perdebatan.
Untuk pertama kalinya, Shana mengalah. Ia berhenti menghunuskan tatapan mata tajam pada Airin karena suara motor Kaisar yang terdengar seperti sebuah kode yang mengatakan bahwa, 'sekarang adalah waktunya untuk berangkat sekolah'.
"Bun, minta jajan, dong!" Shana menampungkan kedua tangannya dengan wajah yang sedikit diimutkan, berharap bunda lupa akan diskon uang jajan.
"Nih." Bunda memberi sejumlah uang yang memancing pancaran sendu dari mata Shana.
Dengan wajah yang sedikit ditekuk, Shana menerima uang yang diberikan bunda. Kemudian melirik papa dengan tatapan mengiba. Berharap, papa akan luluh dan memberinya uang jajan yang utuh. Tapi, yang dilirik malah membuang pandang, seolah burung-burung yang singah di ranting pohon milik tetangga lebih menarik dari masalah keuangan anaknya.
Shana menghembuskan napas kasar. "Ya udah, deh, aku pamit. Jangan kangen, sekolah bentar doang, kok. Assalamualaikum," pamit Shana dengan wajah masam sambil mencium pipi bunda dan papa bergantian. Kemudian beralih menghujani pipi Cherry yang gembul dengan ciuman bertubi.
"Hati-hati lo, bocil! Jalannya liat-liat. Jangan sampai jatuh, kasihan kaki mungil lo kalau luka!"
"Gue sumpahin, bibir lo kepentok aspal!"
Dengan napas yang memburu, Shana jalan keluar dari halaman rumahnya menuju rumah Kaisar. Kedatangan Airin ke rumahnya benar-benar dapat memancing darah tingginya. Bagaimana tidak, setiap saat setiap waktu, Airin selalu saja mencari masalah padanya. Memang, Shana dulu sangat ingin memiliki seorang adik. Tapi, kalau adiknya seperti Airin, amit-amit juga, sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHANA (SELESAI)
Ficção AdolescenteShana tidak tahu jika hidup jadi manusia akan membuatnya selelah ini. Kalau dipikir, jadi bunga matahari joget-joget di dashboard mobil itu lebih seru, kayaknya nggak punya beban. Itu kata Shana dulu, saat hidupnya masih monoton, masih stuck di mas...