Jangan lupa klik bintang di pojok kiri bawah. Sekalian, ramein cerita ini sama komennya, ya.
Selamat membaca✨
__________________________
Shana lagi-lagi harus membuang waktunya lebih lama di sekolah demi nilai ekskul yang sangat diinginkan Bu Luna. Belum lagi menempelkan semua karya tulis yang sudah dibuat anggota ekskul harus ia tempel di mading terlebih dahulu sebelum pulang. Ini Shana kapan tamatnya, sih? Udah capek sekolah, mau nikah aja. Tapi belum punya calon, ups!
"Nan, lo bantuin gue lagi, kan?" tanya Shana sambil melirik Danan yang sedari tadi diam karena sangat serius dengan apa yang ditulisnya.
"Liat nanti, deh," jawab Danan seadanya.
Bosan, Shana memilih untuk izin keluar dan berniat kembali setelah semua anggota ekskulnya selesai dengan kegiatan mereka. Seperti biasa, lapangan basket ramai dengan anggota ekskul basket dan para cheerleaders di pinggir lapangan. Shana heran, ekskul bola oren yang satu itu kenapa sering kali terlihat. Tidak seperti ekskul rebutan bola hitam putih yang anggotanya Kaisar. Jarang banget keliatan batang hidungnya. Ah, mungkin karena ekskul itu tidak kompeten.
Shana duduk di pinggir lapangan sembari memejamkan mata dan menengadahkan kepalanya ke langit. Sinar jingga yang mulai menyinari langit lebih menarik bagi Shana sekarang. Ditambah lagi semilir angin yang menyapu wajahnya. Suasana seperti ini terasa menenangkan bagi Shana. Iya, Shana memang sering merasa senang di tengah kebisingan. Itu karena dia tidak merasa sendirian setelah mendengar kebisingan itu. Shana suka keramaian, eh bukan, lebih tepatnya Shana sangat-sangat suka keramaian.
"Permisi."
Suara imut khas perempuan membuat Shana membuka matanya. Setelah melihat siapa yang berdiri di dekatnya, Shana bingung sendiri. Seingatnya, ia tidak kenal dengan perempuan yang memakai baju cheers itu. Ia menoleh ke sekelilingnya, mungkin saja bukan Shana yang diajak berbicara oleh perempuan itu. Tapi, Shana tidak menemukan seorang pun selain dirinya disini. Shana menunjuk dirinya sendiri dengan bingung.
Perempuan itu langsung duduk di sebelah Shana sambil tersenyum lebar dan memperkenalkan diri. "Hai, gue Vania," ucapnya sambil mengulurkan tangan mengajak Shana untuk bersalaman.
Shana membalas uluran tangan Vania dengan sedikit bingung. "Shana," balasnya.
Vania, ah, Shana merasa mendengar nama itu sebelumnya. Tapi dimana, ya? Sumpah, rasanya nama itu sudah pernah ia dengar. Hatinya mengingat nama itu, tapi otaknya lupa siapa, apa, kapan, dan dimana ia mendengar nama itu. Tapi tunggu, Shana sekarang sudah ingat.
"Lo nggak lagi ngelabrak gue, kan?" tanya Shana sambil melirik Arion yang terus menatap ke arahnya dan Vania dari tengah lapangan.
Vania lantas tertawa dan menggeleng. "Nggak kok, gue cuma mau berteman sama lo."
"Mendadak banget? Lo mau nusuk gue dari belakang? Mau berbuat jahat ke gue gara-gara gue main bareng sama Arion?" tuding Shana.
Lagi-lagi Vania tertawa, entah kenapa, ia hanya ingin berteman dengan Shana. "Bukan, gila banget! Lagian, otak lo jalannya kenapa kayak sinetron?"
"Ya mungkinkan, gue cuma antisipasi. Kalau niat lo emang begitu, lo ambil aja Arionnya nggak pa-pa. Mau dibawa jauh sampai pluto juga nggak pa-pa."

KAMU SEDANG MEMBACA
SHANA (SELESAI)
Novela JuvenilShana tidak tahu jika hidup jadi manusia akan membuatnya selelah ini. Kalau dipikir, jadi bunga matahari joget-joget di dashboard mobil itu lebih seru, kayaknya nggak punya beban. Itu kata Shana dulu, saat hidupnya masih monoton, masih stuck di mas...