21. It's Just Like a Joke, Right?

3.4K 521 41
                                    

"Hari ini biar papa yang anterin kamu. Kan udah lama papa nggak nganter kamu ke sekolah."

(Namakamu) melirik pria paruh baya yang sedang meminum kopinya itu dengan malas. Ia segera menyelesaikan ikatan sepatunya dan dengan cepat menyambar tasnya.

"Nggak perlu. (Namakamu) di jemput temen, kok. (Namakamu) berangkat dulu, pa, ma. Assalamualaikum." Ucap (Namakamu) yang langsung berjalan keluar dari rumah.

Sampai di depan rumah, (Namakamu) menyipitkan matanya. Ia menatap seorang wanita paruh baya berhijab yang sedang sibuk menyiram tanaman di rumah seberangnya, rumah Iqbaal. Hingga akhirnya senyuman lebar terukir di wajahnya. Dengan langkah cepat, (Namakamu) segera keluar dari halaman rumahnya dan menyeberangi jalanan komplek mendekati wanita paruh baya tersebut.

"Bunda?" (Namakamu) menatap lekat punggung wanita paruh baya itu.

Detik berikutnya, wanita itu memutar tubuh dan menatap (Namakamu) dengan antusias. Ia segera mematikan kran dan berjalan cepat menghampiri (Namakamu), kemudian memeluk gadis itu.

"Ya ampun. Bunda kangen banget sama kamu, sayang." Ucap Rike, bunda Iqbaal seraya memeluk erat (Namakamu).

Dengan pelukan yang erat juga, (Namakamu) membalasnya. "(Namakamu) juga kangen banget sama bunda." Ucapnya, kemudian keduanya saling melepaskan pelukan masing-masing.

"Bunda lama banget di Bandung. Aku kan kangen dimasakin sama bunda." (Namakamu) memeluk lengan wanita paruh baya itu dan mengikuti langkah wanita itu.

Bahkan ia lupa jika harus menunggu Devano yang akan menjemputnya lima belas menit lagi.

"Nenek nggak bisa di tinggal sama bunda. Tante juga belum bisa pulang. Jadi bunda lama di sananya. Dan baru bisa pulang sekarang karena tante udah pulang." Ucap Rike menjelaskan. Wanita paruh baya itu kembali membuka suara.

"Semalem kenapa kamu nggak ikut makan malem di rumah? Padahal bunda udah masakin makanan kesukaan kamu lho. Bunda juga udah ada oleh-oleh buat kamu. Eh... kamu nggak dateng." Rike menunjukkan wajah kecewanya, membuat (Namakamu) menggaruk tengkuknya tidak enak.

"Maaf, bunda. Semalem (Namakamu) belajar soalnya hari ini kan hari terakhir ujian. Jadi (Namakamu) nggak bisa ikut. Maaf ya, bunda. Lain kali kalo bunda undang (Namakamu) bakal dateng, kok. Bunda jangan marah."

Ucapan terakhir (Namakamu) membuat Rike sedikit tersentak dan akhirnya terkekeh pelan. Ia mengusap kepala (Namakamu) lembut. "Ngapain sih bunda marah? Kan kamu lagi belajar, jadi nggak masalah. Nanti deh, bunda bakal masakin semua makanan kesukaan kamu. Oke?"

(Namakamu) tersenyum lebar dan mengangguk cepat. "Oke, di tunggu ya, bun."

Rike hanya tersenyum, kemudian sedikit memutar tubuhnya. "Ale! Cepet, dong. Ini udah di tungguin (Namakamu), lho."

(Namakamu) langsung gelagapan. Kedua tangannya bergerak di udara dengan gerakan menolak. "Bun... anu.. nggak, aku nggak berangkat sama--"

"Sebentar ya, sayang." Setelah itu Rike bangkit.

"T-tapi bun aku nggak--"

(Namakamu) menghentikan ucapannya dan menghela nafas pasrah. Seharusnya tadi ia pura-pura tidak melihat bunda Iqbaal atau mungkin berlari saja.

"Kamu tuh pasang sepatu aja lama banget."

"Iya, maaf bun."

(Namakamu) bangkit, kemudian merapikan rok sekolahnya yang sedikit kusut. Ia hendak pergi, namun sebuah tangan menghentikan gerakannya.

"Ayo berangkat." Ucap Iqbaal seraya perlahan memasukkan jemarinya di sela jemari (Namakamu), kemudian menggenggamnya erat.

Akhirnya mau tidak mau, (Namakamu) berangkat bersama Iqbaal hari ini.

🍃🍃🍃

Suasana hening. Hari ini ia dan Iqbaal berangkat ke sekolah menggunakan mobil pria itu. Rasanya canggung setelah berminggu-minggu ia tidak berkomunikasi secara langsung dengan Iqbaal. Dan untuk pertama kalinya setelah hal itu, ia malah di hadapkan dengan keadaan hanya berdua dengan Iqbaal.

Dahi (Namakamu) berkerut. Ia segera menoleh dan menatap Iqbaal yang masih menyetir dengan santai. "Baal, ini bukan arah jalan sekolah kita. Kita mau ke mana?" Tanyanya dengan panik.

Bukan karena berpikiran Iqbaal akan melakukan hal-hal aneh, hanya saja ia tidak nyaman di dekat Iqbaal untuk saat ini. Ia juga ingin segera bertemu Devano dan meminta maaf kepada pria itu.

"Kita perlu ngomong berdua." Iqbaal membelokkan mobilnya. Pandangannya masih terfokus ke arah jalanan di depannya.

"Ngomongin apa, sih? Gue nggak butuh ngomong apapun sama lo."

"Gue yang butuh ngomong sama lo."

"Ya udah, ngomong aja sekarang."

Iqbaal mendesah pelan. "Nggak bisa."

"Apanya yang nggak bisa? Tinggal ngomong, kan?"

Iqbaal menggeram dan dengan tiba-tiba menepikan mobilnya. Ia segera menghadapkan tubuhnya ke arah (Namakamu) dan menatap lekat gadis di hadapannya itu.

"Kenapa lo jauhin gue? Gue ada salah sama lo? Kalo ada bilang. Jangan malah jauhin gue kayak gini." Ucap Iqbaal dengan tatapan yang benar-benar terfokus ke arah (Namakamu).

(Namakamu) menghela nafas. "Lo nggak ada salah apa-apa. Udah, kan? Sekarang mending kita ke sekolah."

"Nggak. Gue ada salah apa sama lo? Bilang ke gue sekarang juga." Ucap Iqbaal yang lagi-lagi membuat (Namakamu) menghela nafas panjang.

"Dan gue bilang, lo nggak ada salah apa-apa. Mending sekarang lo anter gue ke sekolah."

"Jujur sama gue, (Nam...)! Gue kesiksa lo diemin kayak gini! Lo nggak tau rasanya, kan?!"

"Dan lo nggak tau apa yang selama ini gue rasain, Baal! Jadi mending lo diem kalo lo nggak tau apa-apa!"

Iqbaal terdiam. Ia menatap kedua mata (Namakamu) yang berair. Gadis itu menyeka air matanya yang sudah berkumpul di kelopak matanya. Setelah itu, gadis itu segera keluar dari mobil Iqbaal. Dan dengan segera pula Iqbaal ikut keluar dan menyusul (Namakamu) yang sudah melangkah cepat menjauh.

Dengan sekali tarikan, Iqbaal kini memeluk (Namakamu). Ia mengusap kepala gadis itu lembut. "Gue minta maaf. Tolong jangan jauhin gue lagi. Gue nggak bisa kayak gini."

(Namakamu) mendorong Iqbaal dengan tiba-tiba, membuat pria itu mundur beberapa langkah.

"Kenapa lo selalu bikin gue--"

(Namakamu) menghentikan ucapannya. Ia menatap Iqbaal yang sedang menunggu lanjutan dari kalimat yang ia ucapkan. Namun yang bisa ia lakukan hanya berjongkok dan kemudian menangis, membuat Iqbaal berlari mendekatinya dan berjongkok di hadapannya.

"(Namakamu), kenapa?" Tanya Iqbaal khawatir.

Tidak ada jawaban.

Yang terdengar hanya suara tangis (Namakamu).

'Kenapa lo selalu kasih gue harapan? Sedangkan lo nggak pernah dan nggak akan mau ngewujudin harapan itu. Apa perasaan gue cuma lelucon buat lo?'

Tbc.

Yang punya wa gue pasti tau judulnya dari story gue. Ya semacam spoiler gituh😌

Vote komennya dong.

Btw yang suka Na Jaemin kembarannya Iqbaal Dhiafakhri bisa mampir ke akun fallslikeasnow itu cerita gue juga kok.

𝐊𝐈𝐀𝐌𝐀𝐓 𝐊𝐄𝐂𝐈𝐋 𝐇𝐀𝐓𝐈𝐊𝐔 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang